Halaman

"BAPA YANG KEKAL KUPERSEMBAHKAN KEPADA-MU, TUBUH DAN DARAH, JIWA DAN KE-AILAHAN PUTERA-MU YANG TERKASIH TUHAN KAMI YESUS KRISTUS, DEMI PENEBUSAN DOSA-DOSA KAMI DAN DOSA SELURUH DUNIA" - YESUS RAJA KERAHIMAN ILAHI, AKU PERCAYA KEPADA-MU

Jumaat, September 13, 2013

PESTA SALIB SUCI

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Pesta Salib Suci – Sabtu, 14 September 2013)

Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp 2:6-11)

Bacaan Pertama Alternatif: Bil 21:4-9; Mazmur Tanggapan: Mzm 78:1-2,34-38; Bacaan Injil: Yoh 3:13-17

Pada Pesta Salib Suci ini, marilah kita bersukacita atas karya salib Kristus dan dengan penuh keyakinan masuk ke dalamnya. Salib Kristus masih memiliki kuat-kuasa bagi kita pada hari ini, dan Allah memaksudkan salib itu agar membawa hidup dan pertolongan bagi kita.

Karya salib Kristus adalah dasar kebenaran di atas mana Gereja dan setiap orang yang dibaptis “dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus” (Mat 28:19) berdiri. Seluruh hidup Yesus diarahkan kepada salib (Mrk 8:31); kematian-Nya pada kayu salib adalah bagian dari rencana Allah bagi umat-Nya (Kis 13:28-30). Salib Kristus membebaskan kita dari dosa (Rm 8:3) dan merekonsiliasikan kita dengan Allah (Kol 1:20). Salib Kristus membangun kembali damai-sejahtera dan merupakan sumber kehidupan kita (Yoh 3:14-15). Efek salib Kristus bersifat abadi dan universal.

Keajaiban salib Kristus adalah bahwa salib itu juga menjangkau kehidupan kita sehari-hari. Seperti para kudus di surga yang mengenal serta mengalami kemenangan salib Kristus (Why 12:10-11), demikian juga Allah ingin agar kehidupan sehari-hari para anggota Gereja-Nya memanifestasikan kemenangan dan kuat-kuasa salib Kristus. Karena kemenangan salib Kristus, maka segenap ciptaan menjadi subjek dari otoritas Yesus: “Dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:10-11).

Gereja dengan kokoh berdiri dalam suatu posisi mulia penuh kemenangan atas kegelapan yang mengelilinginya karena darah Kristus yang dicurahkan bagi kita di atas kayu salib. Kita perlu percaya akan kebenaran ini dan bertindak dalam iman atasnya. Konflik-konflik dalam hidup perkawinan, perpecahan dalam keluarga, sikap masa bodoh terhadap Kristus dan Gereja-Nya dlsb.: semua ini adalah masalah-masalah yang harus dihadapi oleh keluarga-keluarga Kristiani. Dikumpulkan bersama, masalah-masalah seperti ini bersama-sama dengan banyak masalah lain membentuk apa yang kelihatan hampir seperti kegelapan yang menyelimuti Gereja.

Namun kita tidak boleh bergetar menghadapi semua masalah itu. Sebaliknya, kita harus memproklamasikan kebenaran: Darah salib Kristus telah mengalahkan semua kejahatan! Bahaya riil yang dihadapi Gereja adalah bahwa kita tidak lagi percaya bahwa salib Kristus telah berkemenangan. Namun apakah kita mengakuinya atau tidak, kebenarannya adalah bahwa Kristus – melalui salib-Nya – telah mengalahkan kejahatan dan kita perlu memeluk karya salib Kristus dalam iman.

DOA: Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, di sini dan di semua gereja-Mu yang ada di seluruh dunia; dan kami memuji Engkau, sebab dengan salib suci-Mu Engkau telah menebus dunia. Amin.


Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Khamis, September 12, 2013

SATU-SATUNYA ORANG YANG QUALIFIED

(Bacaan Injil Misa Kudus, Peringatan S. Yohanes Krisostomos, Uskup-Pujangga Gereja – Jumat, 13 September 2013)

Yesus menyampaikan lagi suatu perumpamaan kepada mereka, “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang? Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, tetapi siapa saja yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya. Mengapa engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan serpihan kayu yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu.” (Luk 6:39-42)

Bacaan Pertama: 1Tim 1:1-2,12-14; Mazmur Tanggapan: Mzm 16:1,2,5,7-8,11

Terutama dalam masa ketidakpastian seperti sekarang ini, tidak mengherankanlah apabila jumlah “guru-guru kebijaksanaan”, “guru-guru spiritual” dan teristimewa para “motivator” menjadi semakin banyak saja yang beroperasi dalam masyarakat kita untuk menawarkan jasa-jasa “baik” dan mengajarkan “kiat-kiat” menuju “sukses” kehidupan, menurut versi mereka masing-masing tentunya. Di Pulau Dewata, misalnya, ada seorang guru spiritual yang berasal dari India yang mengajar dan mempunyai sekelompok murid.

Di lain pihak, ada juga iklan-iklan di TV dan media massa lainnya dan tulisan-tulisan dalam berbagai surat-kabar yang mencoba mempengaruhi kita, tidak hanya berkaitan dengan barang/jasa apa yang harus kita beli melainkan juga bagaimana seharusnya kita berpikir, memilih dan berelasi satu sama lain. Dalam keadaan hiruk-pikuk seperti ini siapakah yang dapat kita percayai? Di manakah kita dapat menemukan bimbingan spiritual yang sejati? Guru manakah yang sungguh qualified? Yesus melontarkan sebuah pertanyaan sangat relevan yang harus membuat kita berpikir dan menanggapinya: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang?” (Luk 6:39).

Dalam hal ini Santo Paulus memberikan sebuah petunjuk penting. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang “rasul Kristus Yesus menurut perintah Allah” (1Tim 1:1), namun kualifikasi dirinya yang ditulisnya untuk pelayanannya sebagai rasul mengejutkan juga. Bukannya suatu “litani” dari berbagai gelar akademis yang berhasil diraihnya dan juga berbagai capaian lainnya selama hidupnya, Paulus memberi gelar kepada dirinya sebagai seorang penghujat, penganiaya dan ganas yang telah menerima belas kasih dan rahmat dari Tuhan (1Tim 1:13-14). Sebagaimana Paulus melihatnya, satu-satunya orang yang qualified sebagai seorang pengurus (steward) dari belas kasih Allah adalah orang yang telah mengalami belas kasih itu. Pengalaman akan Allah/Yesus (experience of God/Jesus) memang merupakan suatu hal yang bersifat hakiki dalam hidup Kekristenan yang sejati. Lihatlah riwayat hidup para kudus seperti S. Augustinus dari Hippo [354-430], S. Fransiskus dari Assisi [1181-1226], S. Bonaventura [1221-1274], S. Thomas More [1478-1535], S. Ignatius dari Loyola [1491-1556], S. Teresa dari Lisieux [1873-1897] dan begitu banyak lagi para kudus lainnya.

Hal-hal yang membuat orang banyak merasa tertarik kepada Paulus adalah dedikasinya, kejujurannya, integritasnya, dan kemampuannya untuk menjadi segalanya bagi semua orang. Bukankah pembimbing spiritual seperti ini yang menarik dan sungguh kita butuhkan? Bukannya mereka yang pergi ke sana ke mari hanya untuk tebar pesona dan membingungkan kita dengan rupa-rupa gelar akademis serta janji-janji yang tidak realistis, atau menyerang orang-orang lain dengan kata-kata tajam yang tidak membangun. Kita ditarik untuk mendekat kepada mereka yang berjalan bersama-sama dalam perjalanan kita, mereka yang menyemangati dan mendorong kita untuk bertekun, dan mengatakan kepada kita bagaimana sang Gembala Baik telah mendampingi mereka melalui “lembah-lembah kekelaman” (lihat Mzm 23). Pemberian semangat dan dorongan positif ini lebih meyakinkan lagi, teristimewa jika Allah juga belum selesai dengan perkara mereka sendiri, namun mereka sangat menyadari bahwa Allah belum menyerah dalam perkara mereka dan terus menyembuhkan, mengampuni dan mentransformasikan mereka dalam Kristus. Inilah orang-orang yang dinamakan oleh P. Henri Nouwen sebagai wounded healer, “penyembuh yang terluka”.

Orang-orang seperti ini tidak akan banyak berbicara mengenai kelemahan-kelemahan kita (“serpihan kayu”; Luk 6:41-42). Sebaliknya, mereka akan banyak syering tentang bagaimana Allah sedang bekerja mengampuni dan mengatasi “balok-balok” dalam hidup mereka. Mereka tidak menunjuk-nunjuk dosa kita, melainkan dengan lemah lembut berbicara berkaitan dengan hal-hal yang berada di bawah permukaan, yaitu rasa haus dan lapar kita akan Allah, kerinduan kita akan kasih-Nya yang tanpa syarat, pengampunan-Nya, serta suatu awal yang baru dan menyegarkan. Orang-orang itu adalah pemimpin-pemimpin sejati dalam Tubuh Kristus, dan pemimpin-pemimpin seperti itulah yang menjadi murid-murid Kristus “yang sama dengan Gurunya” (lihat Luk 6:40).

DOA: Bapa surgawi, Engkau adalah Allah yang berbelas kasih. Kami telah menerima bela-rasa dan pengampunan dari-Mu. Buatlah kami kembali menjadi seturut citra-Mu. Apabila kami tergoda untuk mengkritisi atau menghakimi orang-orang lain, bukalah mata kami agar mampu melihat kedalaman cintakasih-Mu – bagi mereka dan bagi kami. Amin.

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Jumaat, September 06, 2013

KETEKUNAN

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXII – Sabtu, 7 September 2013)

Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan menjadi musuh-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya. Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak berguncang dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya. (Kol 1:21-23)

Mazmur Tanggapan: Mzm 54:3-4,6,8; Bacaan Injil: Luk 6:1-5

“Kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak berguncang dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil” (Kol 1:23).

Ketekunan praktis harus dimiliki oleh setiap orang, apakah dia seorang inventor, seorang mahasiswa atau akademisi, seorang usahawan, seorang rohaniwan, seorang biarawati atau biarawan, seorang ayah, seorang ibu, dlsb. Untuk berhasil mencapai tujuan kita – walaupun menghadapi banyak rintangan – ketekunan sangat dibutuhkan.

Melalui pengorbanan Yesus di kayu salib, semua dosa kita telah diampuni, dan persahabatan penuh dengan Allah telah dipulihkan pula. Sekarang, Yesus berjanji bahwa Dia akan mempersatukan kita dengan diri-Nya sendiri di surga. Yang diminta-Nya hanyalah bahwa kita “bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak berguncang dan tidak mau digeser dari pengharapan Injil” (Kol 1:23). Dengan perkataan lain, Yesus ingin agar kita bertekun. Ia ingin agar kita tidak pernah menyerah dan membuang Dia.

Ketekunan dapat merupakan keutamaan yang paling menantang. Namun ketekunan itulah yang membuat perbedaan! Lihatlah misalnya peran orangtua dalam keluarga. Membangun suatu lingkungan rumah tangga yang memberikan rasa aman-nyaman dan penuh kasih bagi anak-anak mereka menyangkut kerja keras dan banyak pengorbanan. Sayangnya ada orangtua yang tidak bertekun. Mereka kemudian meninggalkan tanggungjawab mereka dan hal sedemikian berakibat negatif pada diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Pada zaman modern – teristimewa di dunia barat – kelihatan adanya peningkatan dalam angka perceraian yang terjadi dalam masa ekonomi sulit. Dalam situasi sulit seperti itu, kesaksian para pasutri yang tetap hidup bersama dengan setia dan menikmati ganjaran dari komitmen mereka sungguh menyentuh hati.

Kristus yang berdiam dalam diri kitalah yang memberdayakan kita untuk melanjutkan hidup iman kita dan bertekun dalam melakukan tugas-tugas kita. Jika kita pernah berhenti menggantungkan diri pada-Nya, maka banyak tujuan kita akan menjadi beban yang sangat berat dan tidak mungkin lagi sanggup terpikul. Akan tetapi apabila kita menempatkan pengharapan kita dalam kasih Allah bagi kita dalam Kristus, maka tidak hanya kegigihan atau keuletan kita saja yang mendukung kita, melainkan juga kuasa kehidupan yang tak dapat dihancurkan dari Yesus sendiri. Kita harus senantiasa mengingat bahwa Allah tidak sekadar memberi ganjaran atas ketekunan kita dengan memberikan kita Roh Kudus-Nya. Dia juga memberikan kepadakita Roh Kudus-Nya agar kita dapat bertekun. Dan dengan Roh-Nya di dalam hati kita, bagaimana mungkin kita gagal?

DOA: Tuhan Yesus, aku ingin tetap teguh berdiri di atas pengharapan Injil. Tolonglah aku agar dapat mengerjakan sampai tuntas segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku untuk kulakukan dalam hidup ini, sehingga dengan demikian aku dapat mengenal dan mengalami berkat-berkat secara penuh dari penebusan yang telah Engkau menangkan bagi diriku. Amin.


Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

SETIAP HARI ALLAH MENAWARKAN ANGGUR BARU KEPADA KITA

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXII – Jumat, 6 September 2012)

Orang-orang Farisi itu berkata lagi kepada Yesus, “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.” Jawab Yesus kepada mereka, “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa pada waktu mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”
Ia menyampaikan juga suatu perumpamaan kepada mereka, “Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun menuang anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.” (Luk 5:33-39)

Bacaan Pertama: Kol 1:15-20; Mazmur Tanggapan: Mzm 100:2-5

Lewi, seorang pemungut cukai sedang duduk di “kantor”-nya (tempat pemungutan cukai) ketika Yesus memanggilnya (Luk 5:27-28). Lewi langsung bangkit dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia sebagai murid-Nya. Entusiasme Lewi begitu besar sehingga dia mengadakan suatu perjamuan besar untuk Yesus di rumahnya dan sejumlah besar pemungut cukai dan orang-orang lain diundangnya juga agar dapat berjumpa dengan Dia serta turut makan bersama-sama dengan-Nya (lihat Luk 5:29). Ini adalah setting dari perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi yang kita baca dalam Injil hari ini

Yesus makan bersama dengan para pemungut pajak dan “orang-orang berdosa” lainnya, jenis-jenis orang yang justru dihindari oleh orang-orang Farisi. Mereka mencoba menjebak Yesus dengan melontarkan pertanyaan kepada para murid-Nya sambil bersungut-sungut: “Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Luk 5:30). Yesus langsung menjawab mereka, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat” (Luk 5:31-32).

Lalu orang-orang Farisi itu melontarkan lagi pertanyaan-jebakan yang berkaitan dengan puasa dan doa, bahkan dengan membanding-bandingkan para murid-Nya dengan murid-murid Yohanes Pembaptis dan murid-murid orang Farisi sendiri: “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum” (Luk 5:33). Yesus menjawab bahwa waktu ini adalah waktu untuk bergembira karena Allah baru saja mendatangkan suatu kunjungan baru kuasa-Nya, rahmat-Nya, dan kasih-pemeliharaan-Nya bagi Lewi dan kawan-kawannya. Yesus tidak datang untuk menghancurkan hukum-hukum dan tradisi-tradisi yang berlaku. Berpuasa dan berdoa memang suatu keharusan, namun Yesus – sang mempelai laki-laki – sedang berada bersama mereka. Ini adalah waktu untuk bergembira penuh sukacita dalam kehadiran-Nya dan merangkul segala berkat yang diberikan oleh-Nya.

Kenyataan bahwa Lewi menerima Yesus menunjukkan bahwa untuk minum anggur baru yang ditawarkan Yesus, kita perlu memiliki hati yang baru. Kita perlu berjalan melalui suatu perubahan dalam pemikiran dan tindakan kita. Mengapa bagi orang-orang Farisi kelihatannya begitu sulit untuk mengalami perubahan seperti yang dialami Lewi? Memang sulit, karena kita dapat dengan mudah merasa nyaman dalam cara-cara kita melakukan segala sesuatu, bahkan dalam cara kita mengikuti Yesus. Memang sedih kalau kita memikirkan bahwa ada banyak orang yang bahkan mencicipi anggur baru saja mereka tidak mau, karena mereka mengatakan “anggur yang lama” sudah cukup baik.

Setiap hari Allah menawarkan “anggur baru” kepada kita melalui kehadiran Roh Kudus-Nya dalam hati kita masing-masing. Setiap hari Roh Kudus memberikan kepada kita kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang yang segar kepada kita agar kita dapat bertumbuh dalam pemahaman dan devosi kita kepada Allah. Pada hari ini, marilah kita mencari Yesus dengan segenap hati kita dan percaya pada kehadiran Roh Kudus dalam diri kita. Selagi kita melakukannya, maka pernyataan kasih Allah bagi kita akan menjadi suatu realitas yang hidup. Kita akan menjadi seperti kantong anggur baru yang diisi dengan anggur baru, yang dapat semakin matang menjadi anggur yang istimewa dan sungguh menyenangkan hati-Nya.

DOA: Bapa surgawi, aku masuk melalui pintu gerbang-Mu dengan nyanyian syukur (Mzm 100:4)! Penuhi diriku dengan anggur baru dari kuasa-Mu dan kehadiran-Mu sehingga dengan demikian aku dapat mengikuti jejak Yesus Kristus, Putera-Mu terkasih, dengan lebih setia lagi. Terima kasih untuk kasih-Mu dan berkat-berkat-Mu dalam kehidupanku. Amin.


Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Rabu, September 04, 2013

YESUS MEMANGGIL KITA MENJADI PENJALA MANUSIA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXII – Kamis, 5 September 2013)

Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai Danau Genesaret, sementara orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia mendorong perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon, “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab, “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena perkataan-Mu itu, aku akan menebarkan jala juga.” Setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Mereka pun datang, lalu bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun sujud di depan Yesus dan berkata, “Tuhan, pergilah dari hadapanku, karena aku ini seorang berdosa.” Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Sesudah menarik perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus. (Luk 5:1-11)

Bacaan Pertama: Kol 1:9-14; Mazmur Tanggapan: Mzm 98:2-6

“Tuhan, pergilah dari hadapanku, karena aku ini seorang berdosa” (Luk 5:8).

Pernahkah anda merasa seperti yang dirasakan Simon Petrus, yaitu anda merasa tidak tahan ketika menyadari Allah memandang anda seperti apa adanya dirimu sendiri? Seringkali memang justru ketika kita melihat siapakah Allah sesungguhnya, maka kita juga melihat kondisi penuh dosa dari diri kita sendiri, dan kita pun merasa mau mati saja karena rasa malu yang begitu mendalam. Dari waktu ke waktu, kita semua merasakan sakitnya kedosaan kita, dan kita dapat mulai bertanya-tanya dalam hati apakah masih mungkin Yesus mengasihi kita dalam keadaan tidak karuan seperti itu? Inilah yang membuat bacaan Injil hari ini menjadi istimewa penting bagi kita.

Pada saat Petrus meminta kepada Yesus agar pergi meninggalkan dirinya karena dia adalah seorang berdosa, maka Yesus menanggapi permintaan Petrus itu dengan sederhana sekali, “Jangan takut” (Luk 5:8,10). Yesus sangat mengetahui segala kedosaan Petrus, namun kelihatannya Dia samasekali tidak berminat untuk membicarakan hal itu. Sebaliknya, Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa murid-Nya ini sekarang akan menjadi penjala manusia, artinya seseorang yang ikut ambil bagian dalam misi Yesus di dunia. Secara sederhana, Yesus kurang peduli dengan masa lalu Petrus ketimbang masa depannya. Dan Yesus juga lebih berprihatin terhadap masa depan kita juga.

Kita dapat membuang-buang banyak waktu “menikmati” rasa bersalah kita dan juga merasa bahwa diri kita tidak berharga samasekali, dan kita berpikir bahwa tidak mungkinlah bagi Yesus untuk mengampuni diri kita. Namun Yesus ingin agar kita mengetahui bahwa Dia telah mengambil keputusan untuk mengampuni setiap dosa yang telah kita komit, lewat pikiran kita, perkataan yang kita ucapkan, perbuatan kita dan juga kelalaian kita. Keprihatinan Yesus sekarang adalah terlebih-lebih dalam hal mencabut rasa takut kita terhadap diri-Nya dan memberikan kepada kita penerangan atas tujuan dan panggilan diri-Nya bagi kehidupan kita.

Yesus ingin membuat Petrus menjadi pemimpin kelompok murid pilihan-Nya dan juga misionaris-misionaris-Nya di masa depan. Sekarang, apa yang ingin dilakukan-Nya dengan kita (anda dan saya)? Apakah Yesus mencoba untuk memberikan kepada kita damai-sejahtera-Nya sehingga kita dapat menjadi saksi-saksi-Nya? Apakah Dia memimpin kita untuk mengunjungi mereka yang sedang sakit atau sedang meringkuk di dalam penjara? Apakah Dia ingin menganugerahkan kepada kita karunia-karunia baru, misalnya agar kita dapat menjadi orangtua yang lebih baik, seorang istri atau suami yang lebih baik, atau seorang sahabat yang lebih setia?

Apapun panggilan anda, maka ketahuilah bahwa Yesus memandang anda dengan pandangan kasih tanpa pamrih, tak bersyarat, dan Ia melihat potensi anda yang begitu luarbiasa. Jikalau anda membuka hati anda bagi Yesus dan menaruh kepercayaan dalam kasih-Nya, maka Dia akan menunjukkan kepada anda hal-hal yang agung dan indah.

DOA: Tuhan Yesus, terima kasih penuh syukur kuhaturkan kepada-Mu karena Engkau telah mengampuni diriku bahkan sebelum aku berpaling kepada-Mu. Aku percaya, ya Tuhan, bahwa Engkau ingin menunjukkan kepadaku rencana-Mu yang sempurna bagi hidupku. Bukalah hatiku agar dapat menerima pengampunan-Mu dan kasih-Mu, dan pimpinlah aku dalam melayani-Mu lewat pelayananku kepada orang-orang lain. Amin.


Sdr. F.X. Indrapradja, OFS