(Bacaan Pertama
Misa Kudus, Peringatan S. Yosafat, Uskup-Martir – Selasa, 12 November 2013)
Sebab Allah telah
menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya
sendiri. Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi
milik setan mencari maut itu.
Tetapi jiwa orang
benar ada di tangan Allah, dan siksaan tiada menimpa mereka. Menurut pandangan
orang bodoh mereka mati nampaknya, dan pulang mereka dianggap malapetaka, dan
kepergiannya dari kita dipandang sebagai kehancuran, namun mereka berada dalam
ketenteraman. Kalaupun mereka disiksa menurut pandangan manusia, namun harapan
mereka penuh kebakaan. Setelah disiksa sebentar mereka menerima anugerah yang
besar, sebab Allah hanya menguji mereka, lalu mendapati mereka layak bagi
diri-Nya. Laksana emas dalam dapur api diperiksalah mereka oleh-Nya, lalu
diterima bagaikan korban bakaran. Maka pada waktu pembalasan mereka akan
bercahaya, dan laksana bunga api berlari-larian di ladang jerami. Mereka akan
mengadili para bangsa dan memerintah sekalian rakyat, dan Tuhan berkenan
memerintah mereka selama-lamanya, Orang yang telah percaya pada Allah akan
memahami kebenaran, dan yang setia dalam kasih akan tinggal pada-Nya. Sebab
kasih setia dan belas kasihan menjadi bagian orang-orang pilihan-Nya. (Keb
2:23-3:9)
Mazmur Tanggapan:
Mzm 34:2-3,16-19; Bacaan Injil: Luk 17:7-10
“Orang yang telah
percaya pada Allah akan memahami kebenaran, dan yang setia dalam kasih akan
tinggal pada-Nya” (Keb 3:9).
“Setia kepada Allah
begitu sulit sekarang. Apakah sungguh ada artinya kesetiaan itu ketimbang upaya
kita yang jatuh-bangun seperti ini?” Ini adalah sebuah pertanyaan yang
seringkali timbul dalam sebuah dunia yang didominir oleh kemajuan-kemajuan
teknologi yang bersifat dramatis namun disertai dengan suatu kemerosotan tajam
dalam nilai-nilai moral dan disintegrasi dalam kehidupan keluarga yang terus
berlangsung. Umat beriman telah berjuang dengan isu ini selama ribuan tahun
lamanya. Jadi, hal ini bukanlah sekadar suatu gejala zaman modern.
Para pembaca Kitab
Kebijaksanaan – orang-orang Yahudi yang tinggal di Mesir pada abad pertama S.M.
– juga bukan kekecualian. Kesetiaan senantiasa akan memperoleh ganjaran. Bahkan
dalam pencobaan-pencobaan, bencana serta musibah lainnya seperti kematian, maka
“jiwa orang benar ada di tangan Allah” (Keb 3:1) dan “dalam kasih akan tinggal
pada-Nya” (Keb 3:9).
Memang cukup
mudahlah untuk menjadi setia selama segala sesuatu berjalan menurut apa yang
kita inginkan. Namun bagaimanakah halnya ketika kita sedang mengalami kesulitan
hidup? Bagaimana kita bereaksi – walaupun sudah berupaya dengan sebisa-bisanya
– ketika si Jahat kelihatannya memenangkan semua pertempuran? Akan tetapi,
ketika menyadari bahwa perkara-perkara yang kita hadapi jauh lebih besar
daripada yang dapat kita tangani sendiri, maka kita pun dapat berdoa tidak
seperti sebelum-sebelumnya. Kita dapat mulai melihat berbagai tantangan dan
kesulitan hidup sebagai kesempatan-kesempatan untuk mengandalkan Allah yang sangat
setia pada sabda-Nya. Bila kita dapat melihat pencobaan-pencobaan yang kita
alami sebagai sedikit pendisiplinan atas diri kita dalam perjalanan kita menuju
perolehan anugerah yang besar dalam bentuk kehidupan kekal (Keb 3:5), maka kita
dapat membuat pilihan-pilihan sulit yang “bodoh” di mata orang, andaikata Jesus
tidak bangkit dari antara orang mati (lihat 1Kor 15:14).
Pertimbangkanlah keputusan-keputusan yang telah diinspirasikan oleh iman
yang sedemikian dalam diri orang-orang Kristiani lainnya. Santo Paulus
melepaskan segala sesuatu yang dahulu dipandangnya sangat berharga demi
mengikuti Kristus, walaupun “Ya”-nya menyebabkan dirinya mengalami penolakan,
penyiksaan, kapal yang karam, dijebloskan ke dalam penjara dlsb. (lihat 2Kor 11:16-33).
Pilihan-pilihan
“bodoh” seperti ini bukanlah sekadar diperuntukkan bagi para pahlawan iman
seperti Paulus. Banyak orang Kristiani memeluk “kebodohan salib” (lihat 1Kor
1:18) lewat cara-cara yang kelihatannya biasa-biasa saja. Pikirkanlah mereka yang
telah kehilangan pekerjaan, namun secara teratur masih memberi kolekte yang
diperuntukkan bagi kaum miskin, dan mereka dengan/dalam iman masih menaruh
kepercayaan pada penyelenggaran ilahi. Bagaimana kiranya seseorang yang telah
disakiti hatinya oleh seorang sahabatnya sendiri (atau oleh seorang
saudari/saudara sekomunitas dengannya), misalnya lewat gosip dan fitnah, namun
ia menanggapinya dengan doa-doa dan pengampunan, bukan dengan rasa benci dan
kepahitan? Ada banyak contoh dari umat yang menjalani hidup yang merangkul
salib Kristus. Setiap kasus kelihatan sebagai “kebodohan murni”, namun bagi
mereka semua itu adalah berdasarkan janji-janji Kristus sendiri.
Kita menghadapi
pilihan-pilihan serupa pada setiap tahap kehidupan kita. Dapatkah kita cukup percaya
akan kebangkitan, sehingga kita memilih logika kasih Allah daripada logika
dunia?
DOA: Bapa surgawi,
aku menaruh kepercayaan kepada-Mu dan menyerahkan setiap kebutuhanku ke dalam
tangan-tangan kasih-Mu. Curahkanlah hikmat-Mu ke dalam hidupku dan tolonglah
aku agar mau dan mampu membuat pilihan-pilihan yang keras demi Engkau saja.
Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS