Halaman

"BAPA YANG KEKAL KUPERSEMBAHKAN KEPADA-MU, TUBUH DAN DARAH, JIWA DAN KE-AILAHAN PUTERA-MU YANG TERKASIH TUHAN KAMI YESUS KRISTUS, DEMI PENEBUSAN DOSA-DOSA KAMI DAN DOSA SELURUH DUNIA" - YESUS RAJA KERAHIMAN ILAHI, AKU PERCAYA KEPADA-MU

Jumaat, September 15, 2017

FONDASI YANG KOKOH

(Bacaan Injil Misa Kudus, Peringatan S. Kornelius, Paus dan S. Siprianus, Uskup Martir – Sabtu, 16 September 2017) 
“Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. Sebab setiap pohon dikenal dari buahnya. Karena dari semak duri orang tidak memetik buah ara dan dari duri-duri tidak memetik buah anggur. Orang yang baik mengeluarkan apa yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan apa yang jahat dari perbendaharaan yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.”

“Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan? Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya – Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan – ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Akan tetapi, siapa saja yang mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya.” (Luk 6:43-49) 
Bacaan Pertama: 1Tim 1:15-17; Mazmur Tanggapan: Mzm 113:1-7 
Kita akan menyoroti Luk 6:47-49 saja. Perikop ini mengingatkan kita pada perikop Mat 7:14-27, yang membedakan dua macam orang, yaitu (1) orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya diatas batu dan  (2) orang yang bodoh, yaitu yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Bacaan yang sedang kita soroti ini menunjukkan bahwa fondasi kokoh satu-satunya untuk hidup kita adalah firman (sabda) Allah. Firman Allah ini tersedia secara istimewa bagi kita dalam Kitab Suci. Kitab Suci ini dapat bertahan terhadap segala terpaan hujan-badai dan gangguan-gangguan lain dalam kehidupan kita.
Bagaimana anda memandang Kitab Suci? Apakah di mata anda, Kitab Suci merupakan sekadar sebuah daftar yang memuat hal-hal yang harus dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan? Apakah Kitab Suci (Alkitab) bagi anda adalah textbook  yang hanya pantas digeluti oleh para pakar dan orang-orang yang berlatar-belakang pendidikan cukup tinggi saja? Apakah bagi anda Kitab Suci adalah semacam buku sejarah? Atau, apakah Kitab Suci ini merupakan perwahyuan hati dan pikiran Allah kepada setiap orang yang mengambil dan membacanya? Bagaimana kita memandang Kitab Suci itu memang penting.
Mendengarkan Roh Kudus dalam doa (prayerful listening to the Holy Spirit) adalah kunci dalam upaya membuat Kitab Suci itu menjadi hidup. Roh Kudus ini biasanya berbicara kepada hati kita dan Gereja: dengan lemah-lembut, tidak dengan cara yang sensasional atau pun spektakuler. Tanpa bimbingan Roh Kudus,  Kitab Suci dengan mudah dapat menjadi membosankan dan tidak menarik!
Saudari dan Saudaraku, Roh Kudus ingin membimbing kita masing-masing. Seperti membangun rumah di atas fondasi yang kokoh, kita juga dapat membangun hidup kita sesuai dengan berbagai wawasan yang kita peroleh dari Kitab Suci. Hal seperti ini menyenangkan hati Allah. Hal yang lebih menyemangati kita adalah: selagi kita bertindak atas dasar firman Allah, kita mengetahui bahwa kita bukanlah satu-satunya yang sedang membangun. Allah sendiri juga sedang bekerja membangun hidup-Nya dalam diri kita. Oleh karena itu kita harus percaya bahwa Allah akan menolong kita membangun hidup kita masing-masing di atas batu yang kokoh, yaitu firman-Nya. Dengan demikian kita harus mencari sebuah tempat dan menyediakan waktu yang hening, khusus di tengah rutinitas kita sehari-hari ……… untuk menggumuli firman Allah dalam Kitab Suci itu.
DOA: Tuhan Yesus, tolonglah aku membangun hidupku di atas batu yang kokoh, yaitu firman-Mu yang terdapat dalam Kitab Suci. Teristimewa dalam bulan Kitab Suci ini,  biarlah Roh-Mu mendorong daku untuk lebih mencintai firman-Mu dalam Kitab Suci. Semoga Roh hikmat-Mu membimbing daku dalam segala hal hari ini. Amin.
Sumber :

Jumaat, September 08, 2017

HARI SABAT SESUNGGUHNYA ADALAH HARI KEBEBASAN DAN SUKACITA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXII –  Sabtu, 9 September 2017)
Pada suatu hari Sabat, ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik bulir gandum, menggosoknya dengan tangan mereka dan memakannya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata, “Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Lalu Yesus menjawab mereka, “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan mengambil roti sajian, lalu memakannya dan memberikannya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam? Kata Yesus lagi kepada mereka, “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Luk 6:1-5)

Bacaan Pertama: Kol 1:21-23 Mazmur Tanggapan: Mzm 54:3-4,6,8
Lukas menulis Injilnya teristimewa bagi orang-orang dengan latar belakang Yunani, yang tidak memiliki pemahaman atau sedikit saja memiliki pemahaman tentang tradisi Yahudi. Oleh karena itu, tidak mengherankanlah apabila Lukas sering menekankan konfrontasi-konfrontasi Yesus dengan orang-orang Farisi dan para pemuka agama Yahudi lainnya yang pada umumnya berlawanan paham dengan sang Rabi dari Nazaret. Dengan demikian ketika orang-orang Farisi menuduh para murid Yesus melanggar peraturan hari Sabat, maka dengan cepat Yesus membela para murid-Nya dan menunjukkan bahwa tindakan-tindakan mereka masih tetap berada dalam batas-batas hukum. Di sini, dan juga dalam peristiwa-peristiwa lain, Yesus menunjukkan bahwa Dia datang bukan untuk menghapuskan hukum, melainkan untuk menggenapinya. Dengan tegas Yesus menyatakan kepada para lawan-Nya: “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Luk 6:5).
Yesus dapat melihat  bagaimana orang-orang Farisi berupaya untuk memegang kendali atas Allah (yang benar kebalikannya, bukan?) dengan menyusun peraturan-peraturan dan panduan-panduan ketat yang seringkali bahkan melampaui tuntutan-tuntutan hukum itu sendiri. Misalnya, tafsiran mereka atas hukum Sabat memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat itu. Sebaliknya, Yesus ingin mengindentifikasikan hakekat dari hukum itu dan mengundang umat-Nya untuk mengalami kebebasan yang dimungkinkan apabila mereka memahami tujuan sentral dari setiap hukum Allah. Allah menetapkan hari Sabat karena cintakasih-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya kebebasan dari beban-beban kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat datang menghadap hadirat-Nya dan menyembah-Nya. Memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak boleh dilakukan berarti salah sasaran. Artinya, kita kehilangan kesempatan menerima undangan untuk beristirahat dan disegarkan kembali.
Selagi mereka berjalan di ladang gandum, murid-murid Yesus mempunyai kesempatan menikmati jalan bersama dengan Yesus tanpa “gangguan” dari orang banyak. Ini adalah peluang bagi para murid untuk berada dekat Yesus. Mereka dapat berdoa bersama dengan Dia dan menyaksikan serta mengalami betapa dekat Yesus dengan Bapak-Nya. Waktu Sabat untuk beristirahat dalam keheningan merupakan suatu bagian penting dari relasi mereka dengan Yesus. Disegarkan kembali dengan Dia dengan cara ini akan memampukan mereka untuk menjawab berbagai tuntutan pelayanan yang Yesus ingin percayakan kepada mereka.
Bahkan hari ini pun, Allah ingin agar Sabat merupakan hari di mana kita dapat mengalami kebebasan-Nya yang menyelamatkan dan sukacita. Sebagaimana orang-orang Farisi, kita dapat berhenti bekerja guna memuaskan huruf-huruf yang tersurat dalam Hukum, atau  kita dapat membuat hening hati kita dan beristirahat di depan Yesus. Hari ini, selagi kita mempersiapkan Sabat, marilah kita memohon kepada Yesus agar menyatakan hati-Nya yang penuh kasih dan menyegarkan kita kembali dalam persiapan untuk pekan mendatang.
DOA: Bapa surgawi, terima kasih penuh syukur kami haturkan kepada-Mu karena paling sedikit Engkau menyediakan satu hari setiap pekan agar kami dapat bersama-Mu. Terima kasih untuk Roh Kudus yang Kauutus, yang memampukan kami untuk menjadi semakin dekat dengan diri-Mu. Amin.
Sumber :

Khamis, September 07, 2017

PESTA KELAHIRAN BUNDA YESUS KRISTUS

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Pesta Kelahiran SP Maria – Jumat, 8 September 2017)
Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi seerupa dengan gambaran Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya (Rm 8:28-30)
Bacaan Pertama alternatif: Mi 5:1-4a; Mazmur Tanggapan: Mzm 13:6; Bacaan Injil: Mat 1:1-16.18-23
Latar belakang Sejarah: Pesta Kelahiran Maria barangkali berasal-usul di Yerusalem  sekitar abad ke-6. Namun sejak sekitar abad ke-5 terdapat bukti adanya sebuah gereja yang didedikasikan kepada Santa Ana, sebelah utara Bait Suci di Yerusalem. Sophronius, Patriarkh (Beatrik) Yerusalem menyatakan pada tahun 602, bahwa gereja itu didirikan di atas tempat kelahiran S.P. Maria. Pilihan yang dijatuhkan pada sebuah hari di bulan September kiranya berasal dari kenyataan bahwa di Konstantinopel tahun penanggalan di mulai pada tanggal 1 September – yang masih berlaku di Gereja Timur. Tanggal 8 September ini kemudian menentukan tanggal “Hari Raya SP Maria Dikandung Tanpa Dosa” yang jatuh pada tanggal 8 Desember, yaitu 9 (sembilan) bulan sebelumnya. Pesta Kelahiran Maria mulai diperkenalkan di Roma menjelang abad ke-7. Sumber: Christopher O’Donnell O.Carm., AT WORSHIP WITH  MARY – A Pastoral and Theological Study. 
Lebih sempurna dari siapa saja, Maria memenuhi gambaran yang diberikan Santo Paulus tentang bagaimana Allah mengerjakan kebaikan dalam kehidupan semua orang yang “mengasihi Dia, yaitu mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya” (lihat Rm 8:28). Dalam hikmat kekal-abadi, Allah menakdirkan Maria sejak awal untuk menjadi ibu Putera-Nya. Katekismus Gereja Katolik [KGK] mengatakan: “Untuk tugas menjadi ibu Putera-Nya, Allah telah memilih sejak kekal seorang puteri Israel, seorang puteri Yahudi dari Nasaret di Galilea” (KGK, 488)Melalui sebuah mukjizat rahmat Allah, dia (Maria) “sudah ditebus sejak ia dikandung” (KGK, 491), oleh karenanya menjadi “dibenarkan” di hadapan Allah. Dan, pada akhir kehidupannya di dunia, Maria dimuliakan pada waktu dia diangkat ke surga, tubuh dan jiwanya.
Maria berdiri di atas garis pemisah antara Perjanjian Lama (=Perjanjian Pertama) dan Perjanjian Baru. Tanggapannya yang positif (“ya”=persetujuan=fiat) terhadap panggilan untuk menjadi ibu dari Putera-Nya: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38), menandakan secara resmi kepenuhan waktu yang selama itu dinanti-nantikan seluruh umat manusia.
Santo Paulus menulis: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4:4). Membawa sang Sabda yang menjadi daging, Maria melahirkan sang Juruselamat, dengan demikian menjadi baik Bunda Allah maupun “Bunda kita semua.” Konsili Vatikan II menyatakan sebagai berikut: “Sehubungan dengan penjelmaan Sabda ilahi Santa Perawan sejak kekal telah ditetapkan untuk menjadi Bunda Allah. Berdasarkan rencana Penyelenggaraan ilahi ia di dunia ini menjadi Bunda Penebus ilahi yang mulia, secara sangat istimewa mendampingi-Nya dengan murah hati, dan menjadi hamba Tuhan yang rendah hati. Dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru Selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta-kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia menjadi Bunda kita” (Lumen Gentium, 61).
Kehormatan besar yang diberikan Allah kepada Maria telah membuat dirinya menjadi “mahkota ciptaan”. Dalam dirinya kita mempunyai suatu “pengingat-ingat’ yang kelihatan akan segalanya yang Allah telah janjikan kepada kita semua. Hidup Maria bukanlah suatu kehidupan yang enak-enak, namun dia tetap setia kepada Allah dan dia terus merangkul panggilan yang telah diberikan Allah kepadanya. Sekarang Maria yang telah dimuliakan di surga senantiasa siap untuk – untuk kepentingan umat yang masih hidup di dunia – melakukan pengantaraan (syafaat) kepada Yesus, Allah Putera.
Maria adalah suatu tanda pengharapan bagi setiap anggota Gereja, karena kita semua telah dipilih dan ditakdirkan dalam Kristus. Konsili Vatikan II menyatakan: “Bunda Yesus telah dimuliakan di surga dengan badan dan jiwanya, dan menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang. Begitu pula di dunia ini ia menyinari Umat Allah yang sedang mengembara sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari Tuhan” [lihat 2Ptr 3:10] (Lumen Gentium, 68).
DOA:  Tuhan Yesus, kami berterima kasih penuh rasa syukur atas karya-Mu dalam diri Maria, bunda-Mu. Oleh karena dia bersedia bekerja sama dalam rencana penyelamatan Allah, maka dia menjadi bunda kami semua. Terima kasih untuk pemeliharaan dan perhatian keibuannya yang telah diberikannya kepada kami, anak-anaknya, yang masih berziarah di atas bumi ini; juga untuk teladannya dalam hal iman, pengharapan dan cintakasih. Amin.
Sumber :

Jumaat, September 01, 2017

BIAYA KEMURIDAN

(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI MINGGU BIASA XXII [TAHUN A], 3 September 2017) 
Sejak itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahl-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan mulai menegur Dia dengan keras, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau.” Lalu Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanhya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. (Mat 16:21-27)
Bacaan Pertama: Yer 20:7-9; Mazmur Tanggapan: Mzm 63:2-6,8-9; Bacaan Kedua: Rm 12:1-2 
Siapa saja yang ingin menekuni profesi yang membutuhkan keterampilan tertentu, mengakui bahwa ada “biaya” atau “harga” yang harus dibayar untuk memperoleh privilese tersebut. Studi, magang dan ketekunan dibutuhkan untuk mempelajari profesi, dan selama masa tersebut banyak hal lain harus dikesampingkan/dikorbankan.
Dengan cara serupa, Yesus mengajar bahwa ada “biaya” yang harus dibayar untuk mengikut Dia. Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa Dia sedang menuju Yerusalem untuk menderita dan mati (Mat 16:21). Mereka yang menjadi murid/pengikut-Nya harus memikul salib karena seorang hamba/pelayan haruslah seperti tuannya (Mat 16:24; 10:24-25).
Memikul salib bukanlah masalah dengan sedih menanggung sengsara atau kesulitan hidup, atau mendisiplinkan diri kita agar dapat melakukan hal-hal yang benar secara moral. Salib seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah instrumen kesedihan dan kematian saja, melainkan sebagai instrumen pilihan Allah sendiri untuk mengalahkan kuasa dosa. Melalui salib-lah orang-orang menerima kehidupan dan dengan demikian mampu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Memikul salib berarti mengembangkan suatu sikap hati yang …. mengikut Yesus dalam jalan kematian ke dalam kehidupan.
Kata-kata Yesus tentang membuang cara-cara duniawi mungkin terasa keras (Mat 16:25). Bagaimana pun juga kita-manusia adalah pengada spiritual (spiritual being, di samping rational being, cognitive being, emotional being, social being). Sebagai spiritual being, rumah kita yang sesungguhnya adalah di surga dan sekarang kita dipanggil oleh Yesus untuk membuang segala hal yang menjauhkan kita dari kasih Allah dan tujuan kekal kita. Hal-hal yang kita hasrati, paling sering kita pikirkan, dan memakai sebagian waktu kita untuk itu, adalah hal-hal cinta kita yang pertama. Para pengikut/murid Yesus tidak dapat disibukkan dengan hal-hal yang spiritual dan pengejaran hal-hal duniawi. Sang Guru telah mengajarkan kepada kita, bahwa kita tidak dapat melayani dua tuan.
Memang kemuridan/pemuridan menyangkut “biaya”, namun kita juga tidak boleh lupa bahwa dari salib datanglah kehidupan. Salib adalah tanda kematian, pada saat bersamaan salib adalah tanda kemenangan bagi para pengikut/murid Yesus. Salib membuka pintu bagi kita untuk memasuki kehidupan yang sejati – baik sekarang maupun dalam kekekalan. Itulah sebabnya mengapa Yesus mengajar bahwa “siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” dan bahwa Anak Manusia “… akan membalas setiap orang menurut perbuatannya” (Mat 16:25,27).
DOA: Tuhan Yesus, tanamkanlah dalam hatiku suatu hasrat mendalam untuk memikul salib sehingga dengan demikian aku dapat menerima kehidupan sesuai dengan kehendak Bapa surgawi. Semoga aku dapat seperti Engkau yang dengan bebas memikul salibku dalam kehidupan ini. Amin. 
Sumber :

MELIPAT-GANDAKAN TALENTA KITA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXI – Sabtu, 2 September 2017)
Keluarga Fransiskan: Peringatan B. Yohanes Fransiskus Burte, Severinus Girault, Apolinaris Morel, dkk. Martir Revolusi Perancis 
“Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorng lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta. Hamba yang menerima dua talenta itu pun berbuat demikian juga dan berlaba dua talenta. Tetapi hamba yang menerima satu  talenta itu pergi dan menggali lubang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya. Lama sesudah itu pulanglah tuan hamba-hamba itu lalu mengadakan perhitungan dengan mereka. Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima talenta, katanya: Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba lima talenta. Lalu kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam hal kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Sesudah itu, datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. Lalu kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam hal yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa Tuan adalah orang yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan memungut dari tempat di mana Tuan tidak menanam. Karena itu, aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan! Tuannya itu menjawab, Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu, seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya pada waktu aku kembali, aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu, ambillah talenta itu dari dia dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari dia. Sedangkan hamba yang yang tidak berguna itu, campakkanlah dia ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi.”  (Mat 25:14-30) 
Bacaan Pertama: 1Tes 4:9-11; Maznur Tanggapan: Mzm 98:1-9  
Seringkali kita dinasihati serta didorong untuk memeriksa batin kita sehingga dengan demikian kita dapat diampuni untuk dosa-dosa dalam bentuk pikiran-pikiran, kata-kata, perbuatan-perbuatan dan kelalaian-kelalaian kita, yang telah memisahkan kita dari Allah. Akan tetapi, lewat pemberian ‘perumpamaan talenta’ ini Yesus mengundang kita untuk merenungkan karunia-karunia / anugerah-anugerah kita – bukan kesalahan-kesalahan kita – dan Ia bertanya bagaimana kita menggunakan berbagai karunia/anugerah tersebut. Apakah kita mengembangkan segala karunia/anugerah yang kita terima dari Allah itu untuk memuliakan Bapa-Nya itu?
Memang perumpamaan-perumpamaan Yesus – kalau dibaca dengan serius – selalu membuat kita berpikir dan merenungkan maknanya. Misalnya, setelah membaca ‘perumpamaan talenta’  ini, kita dapat mulai berpikir-pikir apakah kita pernah seperti hamba yang menyembunyikan uang talentanya di dalam tanah? (Mat 25:18). Melalui bacaan-bacaan yang menyangkut ekonomi/keuangan, nasihat/wejangan para guru dan orangtua serta pengalaman hidup,  bukankah kita diajarkan untuk menjamin ‘keamanan keuangan’ kita? Maka kalau dilihat dari pandangan ini, bukankah si hamba dengan satu talenta itu telah memilih alternatif yang paling aman, pendekatan yang paling bebas dari risiko? [istilah keren-nya dalam bahasa teknis ilmu keuangan: most risk-free approach]. Memang hal ini dapat merupakan sebuah keputusan bidang keuangan yang bijaksana, akan tetapi sepanjang berurusan dengan Yesus sebagai murid-murid-Nya, “memendam/menguburkan/menyembunyikan talenta” bukanlah sebuah opsi bagi kita untuk mengambil keputusan.
Merasa susah dan khawatir akan kegagalan atau penolakan tidak akan dipuji oleh Guru kita. Dia memberikan kepada kita sejumlah karunia dan talenta yang ‘pas’ bagi kita masing-masing, ada yang banyak – ada juga yang tidak banyak. Bisa saja kita bergumul dalam hati: “Koq lain-lain ya, ada yang banyak – ada yang sedikit? Kalau gitu Dia tidak adil donk! Katanya, Dia Mahaadil? Semua ini adalah urusan Tuhan Allah, yang menciptakan kita, nggak usah dipikirin!” Pada titik ini kita harus ingat, bahwa di mata Allah yang penting bukanlah berupa-rupa macam karunia dan talenta yang kita punya, melainkan bagaimana kita menggunakan segala karunia dan talenta itu. Allah menghendaki agar kita mengidentifikasikan berbagai karunia dan talenta kita yang bersifat unik dan ‘menginvestasikan’ semua itu dalam kerajaan-Nya. Mungkin saja anda diberikan olehnya ‘talenta sebagai pendengar yang baik’. Dapatkah anda ‘melebarkan sayapmu’ dan mengunjungi seseorang yang sedang mengalami kesendirian, yang merasa telah dibuang oleh komunitasnya? Apakah anda memiliki talenta dalam pekerjaan membuat alat-alat dari kayu? Bersediakah anda mempertimbangkan untuk membuat main-mainan yang terbuat dari kayu dengan menggunakan sisa-sisa kayu, khususnya untuk dihadiahkan kepada anak-anak dari keluarga sangat miskin yang sedang dirawat di rumah sakit atau mereka yang tinggal di panti asuhan?
Jikalau kita menginvestasikan talenta yang telah dianugerahkan Allah kepada kita, maka dividennya pun tidak sedikit. Bahkan kalau kita tidak menggunakan talenta secara langsung untuk membangun kerajaan-Nya, misalnya hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan manusiawi kita, maka hal sedemikian memuliakan Allah juga. Adalah suatu testimoni kuat atas kreavitas Allah, apabila kita sungguh mengembangkan bakat manusiawi kita, maka kita cenderung untuk bertumbuh secara rohani juga. Mengapa? Karena seluruh keberadaan kita – tubuh, jiwa dan roh – saling terjalin dengan erat, sehingga kalau salah satunya diperkuat, maka yang lainnya juga diperkuat. Dengan demikian, janganlah pernah takut untuk menginvestasikan talenta-talenta anda. Allah ingin membuat anda menjadi seorang hamba/pelayan yang “berbuah” dalam segala hal yang anda lakukan! Kita semuanya seharusnya merindukan bahwa pada  suatu hari kelak, Bapa surgawi berkata kepada kita seperti sang Tuan kepada dua orang hambanya yang telah menunjukkan kemauan serta kemampuan untuk melipat-gandakan talenta yang mereka miliki masing-masing: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam hal yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam hal yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:23; bdk. 25:21).
DOA: Bapa surgawi, bukalah mataku agar dapat melihat bagaimana aku dapat memuliakan Dikau dengan talenta-talenta yang telah Kau anugerahkan kepadaku. Aku menghaturkan puji-pujian dan syukur kepada-Mu untuk segala karunia dan talenta  yang telah Engkau percayakan kepadaku untuk dimanfaatkan demi pembangunan kerajaan-Mu lewat perbuatan-perbuatan baik bagi orang-orang yang ku jumpai dalam hidup di dunia ini. Amin.
Sumber :