Halaman

"BAPA YANG KEKAL KUPERSEMBAHKAN KEPADA-MU, TUBUH DAN DARAH, JIWA DAN KE-AILAHAN PUTERA-MU YANG TERKASIH TUHAN KAMI YESUS KRISTUS, DEMI PENEBUSAN DOSA-DOSA KAMI DAN DOSA SELURUH DUNIA" - YESUS RAJA KERAHIMAN ILAHI, AKU PERCAYA KEPADA-MU

Selasa, November 27, 2018

MEREKA MENYANYIKAN NYANYIAN MUSA DAN NYANYIAN ANAK DOMBA

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIV – Rabu, 28 November 2018)
OFM/OFMConv.: Pesta S. Yakobus dr Marka, Imam
 

Lalu aku melihat suatu tanda lain di langit, besar dan ajaib: tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir, karena dengan itu berakhirlah murka Allah.
Kemudian aku melihat sesuatu bagaikan lautan kaca bercampur api, dan di tepi lautan kaca itu berdiri orang-orang yang telah mengalahkan binatang itu dan patungnya dan bilangan namanya. Pada mereka ada kecapi Allah. Mereka menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian anak Domba, bunyinya, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan tidak memuliakan nama-Mu? Sebab engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu.” (Why 15:1-4) 
Mazmur Tanggapan: Mzm 98:1-3,7-9; Bacaan Injil: Luk 21:12-19
Yohanes (penulis Kitab Wahyu) mencatat penglihatan surgawinya yang luarbiasa dan penuh keajaiban: Tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir dan sesuatu bagaikan lautan kaca dengan orang-orang yang telah mengalahkan binatang buas itu dan patungnya, semua berdiri di tepi lautan kaca sambil memegang kecapi Allah. Mereka menyanyikan “Nyanyian Musa”, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba (lihat Why 15:1-3; bdk. Kel 15:1-21).

Sekilas lintas, kita mungkin saja berpikir bahwa mereka adalah orang-orang kudus yang telah dibangkitkan, umat Kristiani yang telah mati dan kemudian dibangkitkan untuk masuk ke dalam kehidupan baru. Namun sebenarnya Yohanes ingin agar kita memahami bahwa orang-orang ini adalah umat Kristiani berkemenangan, yang hidup di dunia. Melalui iman kepada Yesus dan pembaptisan ke dalam “kematian dan kebangkitan-Nya” yang menyelamatkan, mereka telah menang atas dosa dan dalam roh dibawa ke dalam alam surgawi, bahkan sementara masih di atas bumi ketika sedang menanti-nantikan panggilan terakhir.
Apakah kita memandang diri kita sebagai bagian dari orang-orang ini? Apakah kita mengetahui bahwa melalui iman dan pembaptisan kita dapat berdiri di hadapan takhta Allah, dipisahkan dari gejolak dunia yang penuh dosa? Inilah rencana Allah dari semula, yang dibuat lengkap secara total melalui SALIB YESUS KRISTUS. Oleh kuasa Roh Kudus, Yesus telah membangkitkan kita untuk ada bersama Dia di hadapan Allah. Dalam Roh, sekarang kita  dapat hidup dalam alam surgawi. Musa memproklamasikan pembebasan Allah atas umat-Nya melalui Laut Merah (lihat Kel 15:1-18; Why 15:3-4). Demikian pula  halnya dengan kita yang telah dibebaskan dari “laut pemisah” oleh kuasa Allah yang bekerja dalam Kristus.

Yesus berada di dalam surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Sebagai saudari-saudara-Nya, kita adalah pewaris posisi yang sama. Sehubungan dengan hal ini Paulus menulis, “Jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:17).
Warisan yang penuh kemuliaan ini tersedia bagi setiap orang, dan ini adalah karunia yang sangat berharga dan harus kita hargai secara sungguh-sungguh mendalam. Oleh kuasa Roh Kudus, kita dapat memperkenankan kebenaran warisan kita untuk berkembang menjadi sutu realitas penuh kuasa yang akan memberikan kepada kita pengharapan di segala waktu, teristimewa dalam saat-saat kesusahan. Kita dapat berpijak di atas kebenaran bahwa “kita lebih daripada orang-orang yang menang”, sehingga tidak ada sesuatu pun yang ‘dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm 8:37-39). Sebagaimana halnya dengan Musa, kita juga dapat menyanyikan sebuah nyanyian pembebasan yang penuh sukacita, karena kita mengalami kemenangan Yesus atas dosa dan maut, bahkan pada hari ini juga: “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! (Why 15:3).

DOA:  Bapa surgawi, bukalah mata kami agar mampu melihat apa yang dilihat oleh para kudus di surga. Semoga kami memandang keindahan dan keagungan-Mu dan diliputi oleh kasih-Mu yang tanpa batas itu. Tunjukkan kepada kami kemuliaan-Mu dengan cara-cara-Mu yang bahkan kami tidak dapat bayangkan. Kami sungguh berkeinginan untuk bergabung dengan “Gereja Berjaya” di surga dalam menyanyikan “Nyanyian Musa” dan “Nyanyian Anak Domba”, karena Engkau telah melakukan hal-hal besar dan sangat menakjubkan. Amin.

Khamis, November 22, 2018

HARUS SELALU DIBERSIHKAN

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Jumat, 23 November 2018)
Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”
Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48) 
Bacaan Pertama: Why 10:8-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 119:14,24,72,103,111,131 
Menjual hewan kurban dan menukar uang asing merupakan jasa pelayanan yang memang diperlukan untuk kepentingan para peziarah yang datang ke kota Yerusalem. Pada kenyataannya, sejumlah “pasar” itu berlokasi di dekat Bait Suci. Namun di bawah kepengurusan imam besar Kayafas, halaman bagian luar Bait Suci juga menjelma menjadi pasar yang ramai. Penyusupan tempat berdagang ini ke dalam halaman bangunan suci ini sungguh tidak berkenan di mata sejumlah orang, namun apa daya …… karena tempat itu dikelola oleh para petugas Bait Suci.
Bayangkanlah betapa hiruk-pikuknya tempat seperti itu: Domba-domba mengembik keras sambil mengeluarkan aroma yang tidak menyedapkan, burung-burung dara mengepak-ngepakkan sayap dan gemerincing uang-uang logam para penukar uang sungguh mengganggu telinga. Bayangkanlah betapa sulitnya dan tidak nyamannya “orang-orang yang takut kepada Allah” (mereka adalah non-Yahudi) yang hanya diperbolehkan masuk sampai batas itu saja, tidak boleh masuk lebih jauh lagi. Oleh karena itu Yesus mengusir para pedagang karena Dia ingin memelihara Bait Suci sebagai tempat doa bagi setiap orang. Yesus tentunya juga merasa terganggu dengan para pedagang yang mendongkrak nilai tukar mata uang atau menjual hewan-hewan kurban dengan harga “setinggi langit”. Praktek-praktek sedemikianlah yang membuat Yesus dengan geram menyatakan, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”      (Luk 19:46).
Sebagaimana halnya dengan para imam di Bait Allah dan para administratur pada zaman Yesus, kita manusia zaman modern yang adalah para anggota Gereja juga menghadapi banyak perangkap. Kepentingan diri-sendiri senantiasa ingin menguasai hati dan tindakan-tindakan kita. Di dunia Barat mereka yang dinamakan “Katolik konservatif” dan “Katolik Liberal” tergoda untuk saling mengkritisi dengan keras. Dewan paroki dapat merupakan ajang pertikaian dan konflik, juga arena clash antara pribadi-pribadi yang duduk di sana, lebih daripada hasrat yang tulus untuk membangun Gereja. “Ketiadaan doa” setiap saat dapat merampas kita dari “sukacita dan damai-sejahtera” yang senantiasa harus menjadi “tanda” dari orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Kalau begitu halnya, bagaimana kita masih tetap menyatakan, bahwa kita percaya pada Gereja yang “satu, kudus, katolik dan apostolik”? Jawabnya: Karena Gereja itu sebuah institusi yang bersifat insani dan pada saat yang sama bersifat ilahi. Dengan begitu, kekudusan Gereja adalah “riil”, namun juga “tidak sempurna” (lihat “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja”, 48). “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” (Lumen Gentium, 8).
Masing-masing kita dapat berpartisipasi dalam pembaharuan Gereja yang berkesinambungan melalui doa-doa kita, dan lewat upaya yang tulus untuk senantiasa berjalan dalam kasih Tuhan. Marilah kita bersama-sama bergabung dalam gerakan pembaharuan Gereja, “supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja” (Lumen Gentium, 15).
DOA: Tuhan Yesus, bersihkanlah hati kami dari segala hal yang merusak citra-Mu dalam diri kami. Tolonglah kami agar dapat mencerminkan kekudusan-Mu dan kebaikan-Mu kepada setiap orang yang melihat Gereja-Mu. Amin.

Rabu, November 21, 2018

ALLAH MAHAKASIH, NAMUN IA JUGA HAKIM YANG MAHAADIL

(Bacaan Injil Misa Kudus, Peringatan S. Sesilia, Perawan Martir – Kamis, 22 November 2018)
Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu, Yesus menangisinya, kata-Nya: “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau.” (Luk 19:41-44)
Bacaan Pertama: Why 5:1-10; Mazmur Tanggapan: Mzm 149:1-6,9
Betapa dalam kepedihan yang dirasakan oleh hati Yesus bagi orang-orang Yahudi di Yerusalem! Yesus akrab-familiar dengan kasih dan bela rasa Bapa-Nya, namun pada saat yang sama Dia juga mengenal keadilan Allah serta kekudusan-Nya. Hal ini memampukan diri-Nya untuk melihat jauh ke depan konsekuensi-konsekuensi kerusakan yang akan menimpa orang-orang yang tidak mau merangkul diri-Nya atau Injil yang diwartakan-Nya. Sekali pun selagi Dia menyiapkan pengorbanan-Nya yang paling besar demi keselamatan kita, Yesus mengetahui bahwa banyak orang tetap tidak mau menerima pesan-Nya dan lebih suka memilih hidup dalam dosa.
Sabda Allah yang terdapat dalam Kitab Suci berulang kali menunjukkan kepada kita bahwa Allah tidak senang melihat kita mati dalam kedosaan dan dengan demikian menjadi terpisah dari diri-Nya. Dia mengasihi kita! Namun kita harus selalu mengingat dengan baik, bahwa sementara Dia adalah Bapa kita yang sangat mengasihi anak-anak-Nya, Allah juga adalah Hakim yang adil, dan keadilan serta penghukuman-Nya tidak boleh dipandang enteng. Allah tidak begitu saja mengabaikan ketidaktaatan atau ketidaksetiaan kita. Kalau begitu halnya, maka akan merupakan kontradiksi terhadap kodrat-Nya.
Kadang-kadang, dalam upaya membenarkan diri dari kedosaan kita atau untuk menghindarkan diri dari panggilan untuk berubah, kita berpikir atau berkata kepada diri kita sendiri, “Allah adalah kasih. Ia tidak akan menghukum aku.” Atau kita terus saja mendesak dosa-dosa kita ke belakang pikiran kita, melupakan bahwa diri kita harus bertobat dan mengabaikan tuntutan bahwa kita harus kembali kepada Allah. Namun hal ini menunjukkan ketiadaan hakiki dari pemahaman akan kodrat Allah. Bahkan orang-orang Yahudi, umat pilihan-Nya sendiri yang sangat dikasihi-Nya, harus mengalami hukuman demi penyucian. Dengan demikian, tentu saja kita tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa kita dikecualikan dari keadilan Allah.

Puji Tuhan untuk frase paling akhir dari perikop Injil hari ini: “…… saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau” (lihat Luk 19:44). Syukur kepada Allah, kita masih berada dalam “masa kunjungan” suatu masa di mana  rahmat dan belas kasihan Allah ditawarkan kepada kita semua sebelum pengadilan terakhir. Setiap hari Roh Kudus “mengusik” hati kita untuk kembali kepada Allah sebelum terlambat. Setiap hari, belas kasihan dan rahmat Allah tersedia bagi siapa saja yang bertobat, berbalik kepada jalan-Nya. Santo Paulus menasihati jemaat di Efesus: “Aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, menasihatkan kamu, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef 4:1).
Sekarang kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah aku hidup sesuai dengan janji-janji baptisku? Apakah aku cepat bertobat apabila aku sampai melibatkan diri dalam dosa (dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian)? Apakah aku membawa orang-orang lain untuk mengenal Allah?
Saudari dan Saudariku yang dikasihi Kristus, setiap saat kita dapat berpaling kepada Yesus dan mengalami pembersihan oleh darah-Nya dan menerima hidup baru. Oleh karena itu, marilah kita menghadap-Nya dengan hati yang penuh pertobatan dan menerima amanat agung (Mat 28:18-20) dari Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita – untuk pergi ke tengah dunia dengan membawa pesan keselamatan-Nya kepada saudari-saudara kita yang lain.
DOA: Bapa surgawi, pada saat ini aku berdiri dengan penuh kekaguman akan perbuatan-perbuatan-Mu yang agung! Dengan tulus hati aku menundukkan diriku terhadap kekuasaan-Mu. Engkau adalah Khalik langit dan bumi, Mahakuasa, Mahaperkasa, …… Mahalain dalam hal-hal yang baik bagi kami ciptaan-Mu. Curahkanlah karunia “takut akan Allah” ke dalam diriku sebagai makhluk ciptaan-Mu. Kasihanilah bangsa kami yang sedang sakit parah ini agar dapat beriman kepada-Mu secara benar. Anugerahkanlah “hikmat-kebijaksanaan” kepada para pemimpin bangsa kami, termasuk para pemuka agamanya. Terpujilah nama-Mu selalu, ya Allah yang Mahaagung, yang kusembah dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamatku! Amin.

Isnin, November 05, 2018

SEMUANYA TERGANTUNG KEPADA KITA SENDIRI

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXI – Selasa, 6 November 2018)
Mendengar itu berkatalah salah seorang yang sedang makan itu kepada Yesus, “Berbahagialah orang yang akan dijamu dalam Kerajaan Allah.” Tetapi Yesus berkata kepadanya, “Ada seseorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang. Menjelang perjamuan itu dimulai, ia menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap. Tetapi mereka semua, satu demi satu, mulai meminta  maaf. Yang pertama berkata kepadanya: Aku telah membeli ladang dan harus pergi melihatnya, aku minta maaf. Yang lain berkata: Aku telah membeli lima pasang lembu dan harus pergi mencobanya; aku minta maaf. Yang lain lagi berkata: Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang. Lalu kembalilah hamba itu dan menyampaikan semuanya itu kepada tuannya. Tuan rumah itu pun murka dan berkata kepada hambanya: Pergilah dengan segera ke semua jalan dan lorong kota dan bawalah ke mari orang-orang miskin dan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh. Kemudian hamba itu melaporkan: Tuan, apa yang tuan perintahkan itu sudah dilaksanakan, sekalipun demikian masih ada tempat. Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lorong dan paksalah orang-orang yang ada di situ, masuk, supaya rumahku terisi penuh. Sebab Aku berkata kepadamu: Tidak ada seorang pun dari orang-orang yang telah diundang itu akan menikmati jamuan-Ku.” (Luk 14:15-24) 
Bacaan Pertama: Flp 2:5-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 22:26-32 
Yesus mulai memberi sebuah perumpamaan: “Ada seseorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang” (Luk 14:16). Pada waktu makan tiba, orang itu menyuruh hambanya mengatakan kepada para undangan: “Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap” (Luk 14:17). Kata-kata Yesus dalam perumpamaan ini terutama mengacu pada panggilan umat pilihan kepada Kerajaan Allah dan pada panggilan orang non-Yahudi (baca: kafir) juga, ketika banyak orang Israel menolak undangan-Nya. Namun demikian, kita dapat menerapkannya pada diri kita sendiri juga.

Kita (anda dan saya) juga telah diundang oleh Tuhan Yesus ke sebuah perjamuan besar, untuk ikut ambil bagian dalam suatu persahabatan intim dengan diri-Nya. Bahkan pada saat ini pun Yesus memanggil kita kepada suatu perjumpaan, suatu dialog dengan Dia dalam doa. Apakah kita telah menanggapi undangan-Nya dengan serius?
Sejumlah orang yang diundang dalam perumpamaan Yesus ini berdalih macam-macam: “Aku telah membeli ladang dan harus pergi melihatnya”, “Aku telah membeli lima pasang lembu dan harus pergi mencobanya”, “Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang” (Luk 14:18,19,20). Tuan rumah itu pun menjadi murka karena berbagai macam dalih yang diungkapkan oleh para undangan tersebut. Langsung saja tuan rumah itu menyuruh hambanya untuk pergi ke berbagai tempat untuk menemukan orang-orang dan “memaksa” mereka datang ke perjamuannya supaya rumahnya terisi penuh (Luk 14:21-23).
Sekarang, bagaimana dengan kita? Apakah kita secara teratur menerima undangan Tuhan untuk berdoa? Atau, apakah kita mengemukakan berbagai dalih untuk menghindar dari waktu hening bersama Tuhan, sampai habis waktu? Apabila kita sedang berdoa, apakah kita juga dibebani dengan berbagai urusan duniawi yang menutup kemungkinan Tuhan berbicara kepada kita, untuk memberikan makanan kepada kita dengan sabda-Nya?

Relasi kasih kita secara pribadi, relasi persahabatan kita dengan Yesus tidak dapat bertumbuh, jika kita tidak memenuhi undangan-Nya untuk menyediakan waktu sehari-hari bersama Dia …… sendiri.
Tidak seorang pun akan ditolak untuk ikut serta dalam perjamuan besar yang diselenggarakan oleh Tuhan. Semuanya tergantung kepada kita sendiri apakah kita mau datang atau tidak. Terserah kepada kita apakah kita mau mengesampingkan keprihatinan dan kepentingan materiil kita untuk sementara waktu setiap hari, atau menaruh semuanya itu di tangan-tangan-Nya, dan memperkenankan-Nya berbicara kepada kita, mengasihi kita, mendengar kita, membuat kita menjadi milik-Nya sendiri.
DOA: Tuhan Yesus, kami berterima kasih penuh syukur kepada-Mu karena dalam doa kami Engkau telah memanggil kami ke dalam persahabatan dengan diri-Mu. Berbicaralah, ya Tuhan. Kami ada di sini untuk mendengarkan Engkau. Buatlah kami utuh dengan sabda-Mu. Amin.

Sabtu, November 03, 2018

PERINTAH MANAKAH YANG PALING UTAMA?

(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI MINGGU BIASA XXXI [TAHUN B] – 4 November 2018)
Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?”  Jawab Yesus, “Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini.”  Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus, “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban bakaran dan kurban lainnya.”  Yesus melihat bagaimana orang itu menjawab dengan bijaksana, dan Ia berkata kepadanya, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!”  Sesudah itu, seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus. (Mrk 12:28-34) 
Bacaan Pertama: Ul 6:2-6; Mazmur Tanggapan: Mzm 18:2-4,47,51; Bacaan Kedua: Ibr 7:23-28 
“Perintah manakah yang paling utama?” (Mrk 12:28)
Literatur Yahudi bercerita tentang seseorang yang pada suatu hari bertanya kepada Rabbi Hillel untuk meringkas 613 peraturan Perjanjian Lama selagi dia berdiri atas satu kakinya, artinya secara singkat saja! Hillel menjawab: “Apa yang kamu benci bagi dirimu sendiri, janganlah lakukan kepada sesamamu. Ini adalah keseluruhan hukum; selebihnya adalah tafsir/komentar” (lihat Tob 4:15a; bdk. Mat 7:12).
Rupanya ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus dalam bacaan Injil kali ini tidak tergolong mayoritas para pemuka agama Yahudi yang ingin mempermalukan, mencelakakan, malah menghabiskan Yesus. Ia melontarkan pertanyaan yang sama (baca Luk 10:25 dsj.), namun terkesan tulus: “Perintah manakah yang paling utama?” (12:28). Kebanyakan ahli Taurat memandang Yesus sebagai sebagai seorang rabbi yang merupakan saingan, … sebagai ancaman! Lain halnya dengan ahli Taurat yang satu ini: dia memandang Yesus sebagai suatu kesempatan untuk belajar. Oleh karena itu secara sopan dia mengajukan sebuah pertanyaan sederhana yang mencerminkan suatu keprihatinan yang tertanam dalam-dalam di setiap hati anak manusia.
Pertanyaan ahli Taurat ini mencerminkan sebuah hati yang mencari – kalau mungkin, untuk memahaminya – suatu prinsip tunggal sederhana yang mendasari kompleksitas hukum yang berlaku. Perintah mendasar mana yang dapat memberikan arti kepada pelbagai ketetapan dan peraturan tentang hidup keagamaan yang lebih kecil? Apakah ada kunci yang dapat membongkar teka-teki kehidupan kita dan membimbing kita melalui kompleksitas baik di sekeliling kita maupun di dalam diri kita sendiri? Kita semua merindukan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas.

Perintah untuk mengasihi Allah dan sesama bukan sekadar suatu perintah atau tugas. Bagaimana pun juga tidak ada orang yang dapat mengasihi hanya karena dia diperintahkan untuk melakukan begitu! Akhirnya, mengasihi Allah adalah suatu privilese, suatu relasi yang dimulai oleh Allah sendiri (lihat 1Yoh 4:19) pada saat kita dibaptis dan yang bertumbuh sementara kita menerima  sabda Allah dan membuka hati kita untuk mengalami kasih-Nya. Hal ini bertumbuh sementara kita berupaya terus untuk menyelaraskan kehendak-kehendak kita dengan perintah Allah yang paling utama ini, membuat keputusan-keputusan harian untuk meminta Allah mengajarkan kepada kita bagaimana mengasihi dan taat kepada-Nya.
Allah selalu mau berada dekat dengan kita, dan setiap kali kita berpaling kepada-Nya, kita dapat menerima kasih-Nya dengan lebih mendalam lagi. Pengalaman akan kasih-Nya kemudian  kita untuk mengasihi-Nya dan untuk membagikan kasih ini dengan sesama kita. Benarlah, bahwa kita harus memutuskan mencari Allah dan menanggapi sapaan-Nya, namun keputusan-keputusan ini dimaksudkan mengalir dari relasi penuh cintakasih yang dikehendaki Allah dengan kita, suatu relasi yang bertumbuh seiring dengan cinta kasih yang disyeringkan.
DOA: Bapa surgawi, gerakkanlah aku dengan kasih-Mu untuk mengasihi-Mu dan sesamaku dengan kasih-Mu. Teristimewa pada masa Prapaskah ini, tolonglah aku agar dapat melihat hidup imanku sebagai suatu relasi, bukan sekadar suatu tugas. Amin.