(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXIII – Jumat, 23 November 2018)
Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”
Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48)
Bacaan Pertama: Why 10:8-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 119:14,24,72,103,111,131
Menjual hewan kurban dan menukar uang asing merupakan jasa pelayanan yang memang diperlukan untuk kepentingan para peziarah yang datang ke kota Yerusalem. Pada kenyataannya, sejumlah “pasar” itu berlokasi di dekat Bait Suci. Namun di bawah kepengurusan imam besar Kayafas, halaman bagian luar Bait Suci juga menjelma menjadi pasar yang ramai. Penyusupan tempat berdagang ini ke dalam halaman bangunan suci ini sungguh tidak berkenan di mata sejumlah orang, namun apa daya …… karena tempat itu dikelola oleh para petugas Bait Suci.
Bayangkanlah betapa hiruk-pikuknya tempat seperti itu: Domba-domba mengembik keras sambil mengeluarkan aroma yang tidak menyedapkan, burung-burung dara mengepak-ngepakkan sayap dan gemerincing uang-uang logam para penukar uang sungguh mengganggu telinga. Bayangkanlah betapa sulitnya dan tidak nyamannya “orang-orang yang takut kepada Allah” (mereka adalah non-Yahudi) yang hanya diperbolehkan masuk sampai batas itu saja, tidak boleh masuk lebih jauh lagi. Oleh karena itu Yesus mengusir para pedagang karena Dia ingin memelihara Bait Suci sebagai tempat doa bagi setiap orang. Yesus tentunya juga merasa terganggu dengan para pedagang yang mendongkrak nilai tukar mata uang atau menjual hewan-hewan kurban dengan harga “setinggi langit”. Praktek-praktek sedemikianlah yang membuat Yesus dengan geram menyatakan, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Luk 19:46).
Sebagaimana halnya dengan para imam di Bait Allah dan para administratur pada zaman Yesus, kita manusia zaman modern yang adalah para anggota Gereja juga menghadapi banyak perangkap. Kepentingan diri-sendiri senantiasa ingin menguasai hati dan tindakan-tindakan kita. Di dunia Barat mereka yang dinamakan “Katolik konservatif” dan “Katolik Liberal” tergoda untuk saling mengkritisi dengan keras. Dewan paroki dapat merupakan ajang pertikaian dan konflik, juga arena clash antara pribadi-pribadi yang duduk di sana, lebih daripada hasrat yang tulus untuk membangun Gereja. “Ketiadaan doa” setiap saat dapat merampas kita dari “sukacita dan damai-sejahtera” yang senantiasa harus menjadi “tanda” dari orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Kalau begitu halnya, bagaimana kita masih tetap menyatakan, bahwa kita percaya pada Gereja yang “satu, kudus, katolik dan apostolik”? Jawabnya: Karena Gereja itu sebuah institusi yang bersifat insani dan pada saat yang sama bersifat ilahi. Dengan begitu, kekudusan Gereja adalah “riil”, namun juga “tidak sempurna” (lihat “Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja”, 48). “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” (Lumen Gentium, 8).
Masing-masing kita dapat berpartisipasi dalam pembaharuan Gereja yang berkesinambungan melalui doa-doa kita, dan lewat upaya yang tulus untuk senantiasa berjalan dalam kasih Tuhan. Marilah kita bersama-sama bergabung dalam gerakan pembaharuan Gereja, “supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja” (Lumen Gentium, 15).
DOA: Tuhan Yesus, bersihkanlah hati kami dari segala hal yang merusak citra-Mu dalam diri kami. Tolonglah kami agar dapat mencerminkan kekudusan-Mu dan kebaikan-Mu kepada setiap orang yang melihat Gereja-Mu. Amin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan