Halaman

"BAPA YANG KEKAL KUPERSEMBAHKAN KEPADA-MU, TUBUH DAN DARAH, JIWA DAN KE-AILAHAN PUTERA-MU YANG TERKASIH TUHAN KAMI YESUS KRISTUS, DEMI PENEBUSAN DOSA-DOSA KAMI DAN DOSA SELURUH DUNIA" - YESUS RAJA KERAHIMAN ILAHI, AKU PERCAYA KEPADA-MU

Khamis, Mac 22, 2018

JANGANLAH KITA SAMPAI KEHILANGAN KESEMPATAN

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan V Prapaskah – Jumat, 23 Maret 2018)
Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka, “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” Jawab orang-orang Yahudi itu, “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menjadikan diri-Mu Allah. Kata Yesus kepada mereka, “Bukankah ada tertulis dalam kitab Tauratmu: Aku telah berfirman: Kamu adalah ilah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut ilah – sedangkan Kitab Suci tidak dapat dibatalkan – masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” Sekali-kali mereka mencoba menangkap Dia, tetapi Ia luput dari tangan mereka.
Kemudian Yesus pergi lagi ke seberang Yordan, ke tempat Yohanes membaptis dahulu, lalu Ia tinggal di situ. Banyak orang datang kepada-Nya dan berkata, “Yohanes memang tidak membuat satu tanda mukjizat pun, tetapi semua yang pernah dikatakan Yohanes tentang orang ini memang benar.” Lalu banyak orang di situ percaya kepada-Nya. (Yoh 10:31-42) 
Bacaan Pertama: Yer 20:10-13; Mazmur Tanggapan: Mzm 18:2-7 
Bagaimana mungkin orang-orang Yahudi, bangsa-Nya sendiri, sampai melawan Yesus  dengan sedemikian hebatnya? Bukankah lebih mudah bagi mereka untuk menerima Dia dan ajaran-Nya? Di sisi lain, kita tidak boleh menolak kenyataan bahwa ajaran Yesus sangatlah susah dan keras, teristimewa bagi orang-orang bagi orang-orang yang bangga (sombong?) akan posisi mereka sebagai umat pilihan Allah. Sebelum pertobatannya, Santo Paulus kiranya tidak dapat menerima kenyataan bahwa Injil diwartakan oleh Petrus dan para rasul – walaupun mereka semua berkebangsaan Yahudi. Kita bisa saja berpikir bahwa Paulus adalah pemenuhan sejati dari pengharapan-pengharapan segenap bangsa Israel.
Memang cukup mengherankanlah kalau ada begitu banyak orang Yahudi yang menolak Dia, namun kita selalu harus mengingat kenyataan bahwa oposisi terhadap Yesus terletak dalam setiap hati manusia, termasuk hati kita masing-masing. Orang-orang Yahudi  telah menyaksikan sendiri begitu banyak mukjizat Yesus dan mendengar khotbah-khotbah-Nya dan perumpamaan-perumpamaan-Nya yang sedemikian membumi, akan tetapi bilamana mereka dikonfrontasikan dengan dosa mereka sendiri dan kebutuhan akan pertobatan, menjadi susahlah untuk menerima Dia. Berapa banyak mukjizat yang kita saksikan sendiri, semua itu tidak akan pernah cukup untuk meyakinkan diri kita. Ada sesuatu dalam hati kita masing-masing yang harus berubah.
Allah ingin agar kita semua mengenali apa saja perlawanan kita terhadap Yesus dan ajaran-Nya, sehinga melalui pertobatan kita akan berbalik kepada-Nya dan mengenal serta mengalami kemerdekaan yang sejati. Allah menginginkan agar kita memeriksa hati nurani kita dan melihat perlawanan terhadap Allah yang kita “bawa-bawa” terus dalam hati kita. Kita dapat memohon kepada Roh Kudus untuk menyelidiki hati kita dan menolong kita melihat kekerasan hati kita. Kekerasan hati dapat mengejawantah dalam kemarahan atau kepahitan. Barangkali ketidaksabaran dan sifat cepat marah. Atau yang terasa lebih halus, adalah kita berpikir bahwa diri kita lebih baik daripada orang-orang lain, atau …… kita bersikap “sombong rohani” (“Aku kan berdoa Ibadat Harian secara teratur?”; “Aku kan berdoa rosario setiap hari”; “Aku kan berdoa Kerahiman Ilahi dengan teratur?”) , kita merasa “better than thou” setiap kali berhadapan dengan orang lain. Apa pun dosa-dosa kita yang spesifik, semua menunjuk pada satu realitas sentral: oposisi terhadap Yesus dan Injil-Nya.
Itulah sebabnya mengapa Gereja menyediakan Sakramen Rekonsiliasi. Allah ingin menunjukkan kepada kita dosa-dosa kita, bukan untuk menghukum kita, melainkan untuk memberikan kepada kita hidup baru dan kebebasan/kemerdekaan. Kemerdekaan yang kita dapat alami manakala kita mengakui dosa-dosa kita memampukan kita untuk berjalan lebih dekat dengan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, janganlah sampai kita kehilangan kesempatan untuk berjalan lebih dekat dengan-Nya.
DOA: Roh Kudus Allah, selidikilah hatiku dan tunjukkanlah kepadaku cara-caraku yang salah dalam upayaku membenarkan diriku dan gagal mengakui dosa-dosaku. Aku mengakui bahwa aku adalah seorang pendosa, dan aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Berdayakanlah diriku untuk dapat berjalan bersama-Nya dan mengalami kasih-Nya yang memerdekakan. Amin. 
Sumber :

Rabu, Mac 21, 2018

PERJANJIAN YANG KEKAL ANTARA ALLAH DAN ABRAHAM

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan V Prapaskah, Kamis 22-3-18)
 

Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya: “Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham, karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya; dan Aku akan menjadi Allah mereka.”
Lagi firman Allah kepada Abraham: “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun.” (Kej 17:3-9) 
Mazmur Tanggapan: Mzm 105:4-9; Bacaan Injil: Yoh 8:51-59
“Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” (Kej 17:7)
Dengan kata-kata yang disabdakan-Nya kepada Abraham ini, Allah menyatakan secara sekilas betapa Dia rindu untuk menjalin hubungan/relasi dengan umat-Nya. Perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham adalah sebuah perjanjian yang kekal, artinya tidak berhenti pada Abraham melainkan melalui Ishak dan segenap keturunannya. Perjanjian ini meresmikan suatu relasi baru dengan Allah – bahwa Dia akan menjadi Allah kita, bukan Allah yang berdiri jauh-jauh, tetapi Allah yang mempribadi dan akrab dengan umat-Nya. Perjanjian ini juga berbicara mengenai hidup berkelimpahan yang Allah ingin curahkan ke atas umat-Nya. Nama Abram bahkan diubah menjadi Abraham, yang berarti “bapak dari banyak sekali orang.”
Akan tetapi, perjanjian ini bukanlah perjanjian sepihak karena namanya saja  sudah “perjanjian”. Perjanjian ini menyangkut kebersamaan (mutualitas) dan tanggapan. Allah memanggil Abraham dan semua keturunannya untuk mentaati perjanjian ini dan mengasihi-Nya. Dari kelanjutan teks Kitab Suci tentang Abraham ini kita dapat membaca bahwa Allah menginstruksikan kepada Abraham untuk mempraktekkan “sunat” sebagai suatu tanda kasih dan ketaatan tersebut (lihat Kej 17:9-14).
Sepanjang sejarah Israel, Allah mewahyukan secara kian mendalam berkaitan dengan niat-Nya lewat perjanjian yang dibuat-Nya dengan Abraham dan keturunannya melalui Ishak.  Melihat ketidaksetiaan Israel, kemudian Allah menjanjikan suatu “perjanjian baru”, sebuah “perjanjian hati”, di mana Dia akan mengampuni dosa-dosa umat-Nya dan mengajar mereka secara intim dengan menuliskan hukum-hukum-Nya dalam hati mereka (Yer 31:31-34). Demikian pula, Allah menjanjikan sebuah perjanjian baru pengampunan dan pembersihan dari dosa-dosa, berkaitan dengan suatu hati baru yang bersifat paripurna dan kehadiran Roh-Nya: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yeh 36:26-27).

Dalam Kristus Yesus, kita telah dibuat ikut-serta dalam janji-janji Allah ini dan menjadi umat-Nya. Santo Paulus menulis: “Jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan ahli waris menurut janji Allah” (Gal 3:29). Melalui iman dalam janji-janji “perjanjian”, kita dibersihkan dari kesalahan dosa (lihat Ibr 9:14). Allah menuliskan hukum-hukum-Nya dalam hati kita, menempatkan Roh Kudus-Nya dalam diri kita (lihat Yoh 14:26; Rm 8:15-17), dan membuat kita menjadi “ciptaan baru” (lihat 2Kor 5:17) untuk memberi kesaksian tentang pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah. Janji-janji Allah kepada Abraham dalam perjanjian yang dibuat-Nya mengungkapkan warisan yang adalah milik kita melalui iman dan ketaatan.
DOA: Bapa surgawi, Allah yang Mahapengasih, kuduslah nama-Mu. Bebaskanlah kami dari noda dosa dan tolonglah kami agar tetap setia pada suatu cara hidup yang kudus. Bimbinglah kami juga kepada warisan yang telah Kaujanjikan bagi kami. Kami berdoa demikian, dalam nama Yesus, Tuhan dan Juruselamat kami, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam persekutuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Sumber :

Selasa, Mac 20, 2018

DITRANSFORMASIKAN KE DALAM KESERUPAAN DENGAN ALLAH

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan V Prapaskah – Rabu, 21 Maret 2018)
Lalu kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang telah percaya kepada-Nya, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Jawab mereka, “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?” Kata Yesus kepada mereka, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tinggal dalam rumah selama-lamanya. Jadi, apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.”
“Aku tahu bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu. Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapakmu.” Jawab mereka kepada-Nya, “Bapak kami ialah Abraham.” Kata Yesus kepada mereka, “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi sekarang kamu berusaha membunuh Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham. Kamu mengerjakan pekerjaan bapakmu sendiri.” Jawab mereka, “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah.” Kata Yesus kepada mereka, “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku datang dari Allah dan sekarang Aku ada di sini. Lagi pula Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. (Yoh 8:31-42) 
Bacaan Pertama: Dan 3:14-20,91-92,95, Mazmur Tanggapan: Dan 3:52-56 
Ketika Yesus mempertanyakan perlawanan mereka terhadap diri-Nya, para pemuka agama Yahudi membenarkan diri mereka dengan membangga-banggakan garis keturunan mereka: “Kami adalah keturunan Abraham ……Bapak kami ialah Abraham” (Yoh 8:33,39). Melalui Abraham, mereka percaya,  bahwa mereka dan semua orang Yahudi adalah anak-anak Allah, yang secara istimewa dipilih-Nya menjadi umat milik-Nya. Yesus menjawab dengan “ya” dengan suatu catatan: “Aku tahu bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu” (Yoh 8:37). Ada ketiadaan kesinambungan antara garis keturunan dan tindakan-tindakan mereka, dan inilah yang dikemukakan oleh Yesus kepada orang-orang itu.

Menjadi seorang anak Abraham, atau seorang anak Allah, lebih daripada sekadar garis keturunan. Setiap anak dilahirkan dengan ciri-ciri genetik orangtuanya. Namun apabila anak itu tidak hidup dengan orangtuanya dan tidak mengambil-oper pandangan dan falsafah hidup mereka, maka suatu unsur yang hakiki sudah hilang. Yesus menyatakan kepada para lawannya, bahwa apabila mereka sungguh-sungguh anak-anak Abraham dalam artian seperti ini, maka mereka akan menunjukkannya dengan percaya kepada-Nya. Penolakan mereka untuk melakukan hal ini mengungkapkan kegagalan untuk mewujudkan pikiran dan hati yang seharusnya mencerminkan seorang turunan Abraham.
Penerapannya pada kehidupan kita jelas. Kita menjadi anak-anak Allah pada waktu pembaptisan, namun Bapa surgawi menginginkan agar kita mulai mengambil gambar dan rupa-Nya – kebiasaan-kebiasaan-Nya, nilai-nilai-Nya dan pandangan-Nya tentang hidup. Bukankah Yesus datang dan kemudian wafat bagi kita? Yesus tidak hanya datang untuk membuang dosa-dosa kita. Dia hidup di antara kita dan mati di dunia, sehingga kita dapat ditransformasikan ke dalam keserupaan dengan Allah, Bapa kita.
Bagaimana kita dapat mencapai keserupaan itu? Hal ini akan terjadi apabila kita taat dan melayani Allah dengan kasih yang ditanam-Nya dalam hati kita. Hari demi hari kita mempunyai kesempatan atau peluang yang tak terbilang banyaknya untuk mengenakan pikiran Bapa surgawi. Hal ini memang tidak terjadi sekaligus, namun sementara kita menyerahkan diri kita ke bawah pelatihan oleh Allah dan mengadopsi pandangan-Nya, maka kita diubah secara bertahap – dan sedikit demi sedikit akan memancarkan sinar terang yang semakin cemerlang sebagai saksi dari kemuliaan Bapa surgawi.
DOA: Bapa surgawi, aku memberikan kepada-Mu pikiran-pikiranku, tindakan-tindakanku, dan kehidupanku hari ini. Aku ingin dikenal sebagai anak-Mu. Ubahlah aku, transformasikanlah aku, sehingga aku dapat memandang dan bertindak sebagai seorang anggota keluarga-Mu. Amin.
Sumber :

Jumaat, Mac 16, 2018

BELUM PERNAH SEORANG PUN BERKATA-KATA SEPERTI YESUS

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Sabtu, 17 Maret 2018)
Beberapa orang di antara orang banyak, yang mendengarkan perkataan-perkataan itu, berkata: “Dia ini benar-benar nabi yang akan datang.” Yang lain berkata, “Ia ini Mesias.” Tetapi yang lain lagi berkata, “Bukan, Mesias tidak datang dari Galilea! Bukankah Kitab Suci mengatakan bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari desa Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal?” Lalu timbullah pertentangan di antara orang banyak karena Dia. Beberapa orang di antara mereka mau menangkap Dia, tetapi tidak ada seorang pun yang menyentuh-Nya.
Kemudian penjaga-penjaga itu kembali kepada imam-imam kepala dan orang-orang Farisi, yang berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak membawa-Nya?” Jawab penjaga-penjaga itu, “Belum pernah seorang pun berkata seperti orang itu!” Lalu jawab orang-orang Farisi itu kepada mereka, “Apakah kamu juga disesatkan? Adakah seorang di antara pemimpin-pemimpin yang percaya kepada-Nya, atau seorang di antara orang-orang Farisi? Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!” Nikodemus, salah seorang dari mereka, yang dahulu datang kepada-Nya, berkata kepada mereka, “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dilakukan-Nya?” Jawab mereka, “Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea.” Lalu mereka pulang ke rumah masing-masing, tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. (Yoh 7:40-53) 
Bacaan Pertama: Yer 11:18-20; Mazmur Tanggapan: Mzm 7:2-3,9-12
Apakah Yesus itu Mesias? Apakah Ia sang nabi yang telah dinubuatkan dalam Kitab Ulangan? Apabila Yesus berasal dari Galilea, bagaimana mungkin Ia adalah seorang nabi sejati? Ini adalah berbagai reaksi orang-orang Yahudi setelah Yesus masuk ke dalam Bait Suci terhadap apa yang dikatakan-Nya pada hari terakhir pesta penting itu: “Siapa saja yang haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Siapa saja yang percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup” (Yoh 7:37-38).
Setelah mendengar kata-kata Yesus ini, beberapa di antara orang banyak mulai berpikir jangan-jangan Dia memang benar-benar nabi yang akan datang, malah sang Mesias yang dinanti-nantikan. Namun ada juga yang meragukan hal itu karena Dia berasal dari Nazaret di Galilea (lihat Yoh 7:40-42). Maka timbullah pertentangan di antara orang banyak, malah ada yang mau menangkap Dia, namun tidak seorang pun yang menyentuh-Nya (lihat Yoh 7:43-44). Sosok pribadi Yesus mengingatkan orang banyak akan gambaran seorang nabi seperti dinubuatkan oleh Musa: “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN (YHWH), Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan. Lalu berkatalah YHWH kepadaku: Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini;  Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban” (Ul 18:15,17-19).
Berkaitan dengan argumentasi tentang asal-usul seorang nabi dari Nazaret di Galilea, kita diingatkan kembali kepada komentar Natanael kepada Filipus yang mengajaknya pertama kali bertemu dengan sang Rabi dari Nazaret itu: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh 1:46). Komentar Natanael itu mengindikasikan kesulitan yang dihadapi banyak orang, jikalau mereka tidak mengetahui bahwa Yesus sebenarnya lahir di Betlehem, sehingga dengan demikian memenuhi nubuatan-nubuatan tentang asal-usul Mesias (Mi 5:2; Mat 2:4-6).
Seringkali orang-orang ini hanya melihat asal-usul manusiawi Yesus dan luput  melihat asal-usul ilahi-Nya yang diperlihatkan melalui kata-kata dan perbuatan-perbuatan-Nya, teristimewa berbagai mukjizat dan tanda heran yang dibuat-Nya. Sang Pemazmur mencatat ungkapan yang kiranya cocok dalam hal ini (sebenarnya kita daraskan/nyanyikan setiap kali kita mengawali Ibadat Harian setiap pagi: “Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun”  (Mzm 95:7-8). Kata-kata sang Pemazmur ini dapat kita jadikan kata-kata kita sendiri pada hari ini, sehingga dengan demikian kita tidak akan menolak kebenaran yang diproklamasikan oleh Yesus. Kita akan akan terbuka dan memperkenankan kebenaran-Nya mentransformasikan diri kita. Itulah tantangan yang kita hadapi dan tanggapi, baik dalam masa Prapaskah maupun hari-hari lainnya dalam kehidupan kita.
DOA: Bapa surgawi, oleh Roh Kudus-Mu bimbinglah kami senantiasa dalam belas kasih-Mu. Tolonglah kami untuk mendengar suara-Mu, karena kami tidak ingin mengeraskan hati kami terhadap apa saja yang Engkau ingin katakan kepada kami. Kami sungguh ingin menjadi murid-murid yang baik dan berbuah dari Putera-Mu, Yesus Kristus. Amin.
Sumber :

Khamis, Mac 15, 2018

TELAH DIBUTAKAN OLEH KEJAHATAN MEREKA

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Jumat, 16 Maret 2018)
Karena angan-angannya tidak tepat maka berkatalah mereka satu sama lain: “Pendek dan menyedihkan hidup kita ini, dan pada akhir hidup manusia tidak ada obat mujarab. Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap pendidikan kita. Ia membanggakan mempunyai pengetahuan tentang Allah, dan menyebut dirinya anak Tuhan, Bagi kita ia merupakan celaan atas anggapan kita, hanya melihat dia saja sudah berat rasanya bagi kita. Sebab hidupnya sungguh berlainan dari kehidupan orang lain, dan lain dari lainlah langkah lakunya. Kita dianggap olehnya sebagai yang tidak sejati, dan langkah laku kita dijauhinya seolah-olah najis adanya. Akhir hidup orang benar dipujinya bahagia, dan ia bermegah-megah bahwa bapanya ialah Allah. Coba kita lihat apakah perkataannya benar dan ujilah apa yang terjadi waktu ia berpulang. Jika orang yang  benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya. Mari, kita mencobainya dengan aniaya dan siksa, agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya. Hendaklah kita menjatuhkan hukuman mati keji terhadapnya, sebab menurut katanya ia pasti mendapat pertolongan.”
Demikianlah mereka berangan-angan, tapi mereka sesat, karena telah dibutakan oleh kejahatan mereka. Maka mereka tidak tahu akan rahasia-rahasia Allah, tidak yakin akan ganjaran kesucian, dan tidak menghargakan kemuliaan bagi jiwa yang murni. (KebSal 2:1,12-22) 
Mazmur Tanggapan: Mzm 34:17-21,23; Bacaan Injil: Yoh 7:1-2,10,25-30
Sekitar satu abad sebelum kelahiran Kristus, seorang cendikiawan Yahudi menulis sebuah kitab dalam tradisi Raja Salomo (malah mengatas namakan Salomo), raja Israel yang penuh hikmat itu. Penulis ini adalah seorang yang terdidik baik dalam hikmat alkitabiah dan juga filsafat Yunani. Dia menulis Kitab Kebijaksanaan (Salomo) ini untuk menolong komunitas Yahudi memahami iman-kepercayaan mereka di bawah tekanan untuk berkompromi dengan pandangan-pandangan kafir tentang kehidupan. Penulis ini menyalahkan orang-orang yang membuang iman-kepercayaan mereka dan kemudian memeluk budaya Yunani.
Dalam diskursus imajiner yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran orang-orang jahat sedemikian selagi mereka membuat rancangan untuk mencelakakan seorang Yahudi yang saleh, sang penulis mengamati kesalahan dan ketidakpercayaan yang melatarbelakangi kemurtadan mereka: mereka buta terhadap kebenaran mendasar bahwa Allah memberi ganjaran kepada “jiwa yang murni” (Keb 2:22).
Tradisi masa puasa atau Prapaskah Kristiani menafsirkan bacaan ini sebagai suatu meditasi kenabian (profetis) atas rencana jahat orang-orang Yahudi untuk membunuh Yesus. Mereka yang berkomplot untuk membunuh Yesus merasakan bahwa ajaran-ajaran-Nya sungguh menantang cara-cara atau jalan-jalan mereka yang bersifat legalistik: “Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita” (Keb 2:12). Mereka marah ketika mendengar Yesus menyapa/memanggil Allah sebagai Bapa-Nya (Keb 2:13). Otoritas mereka terancam oleh sikap dan perilaku terbuka Yesus yang anti kemunafikan (Keb 2:16).
Biar bagaimana pun juga, ketulusan dan kebenaran pesan Yesus membuat diri-Nya sebagai suatu teguran/celaan terhadap nurani mereka yang tidak beres. Pikiran mereka sendiri yang menuduh diri mereka, kapan dan di mana saja mereka bertemu dengan Yesus (Keb 2:14,15). Mereka “ngotot” untuk menolak kebenaran Yesus, malah memandang Yesus sebagai “gangguan dan menentang pekerjaan mereka” (lihat Keb 2:12). Dengan memelintir atau memutar-balikkan ayat-ayat Kitab Suci, para lawan/musuh Yesus mencobai-Nya dan berkata: “Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya” (Keb 2:18). Mereka mencobai kelembutan hati dan daya tahan Yesus, dan akhirnya menyiksa Dia sampai mati di kayu salib.
Pada tataran yang berbeda, diskursus ini dapat juga membimbing kita dalam memeriksa hati kita sendiri. Apakah kita menghakimi atau memperlakukan orang-orang lain dengan kekerasan, lalu merasionalisasikannya untuk membenarkan tindakan kita itu? Apakah bagi kita ajaran-ajaran Yesus itu sebagai teguran/celaan terhadap diri kita? Apakah Kristus yang berdiam dalam diri kita membuat kita menjadi tidak nyaman? Apakah wejangan/nasihat-Nya terasa sebagai teguran/celaan, sesuatu yang kita abaikan ketika tidak menyenangkan hati kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus timbul selagi kita berjuang untuk menangkap setiap pemikiran akan Kristus. Kebenaran tentang kecenderungan-kecenderungan kita untuk berdosa tidak seharusnya membuat kita menjadi tertekan dan tak berdaya, karena kita mengetahui benar bahwa Yesus mati di kayu salib untuk setiap orang, bahkan untuk para lawan/musuh-Nya juga.
Marilah kita dalam masa Prapaskah ini secara khusus membawa segala pikiran dan perbuatan kita ke hadapan “sang Kebenaran” (lihat Yoh 14:6) dan 100% percaya akan apa yang pernah disabdakan-Nya: “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat” (Luk 15:10).
DOA: Tuhan Yesus, ampunilah segala dosaku karena kemunafikan diriku, kesombongan pribadi dan ke-sok-suci-an-ku. Terima kasih Tuhan. Amin.
Sumber :

Selasa, Mac 13, 2018

DALAM KEHARMONISAN LENGKAP DENGAN BAPA-NYA

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Rabu, 14 Maret 2018)
Tetapi Ia berkata kepada mereka, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” Sebab itu, para pemuka Yahudi makin berusaha untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia melanggar peraturan Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah.
Lalu Yesus menjawab mereka, “Sesungguhnya Aku berkata, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau Ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak. Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi daripada pekerjaan-pekerjaan itu, sehingga kamu menjadi heran. Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa. Siapa saja yang tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa yang mengutus Dia.
Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Saatnya akan tiba dan sudah tiba bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup. Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri. Ia telah memberikan kuasa kepada-Nya untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia. Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.
Aku tidak dapat berbuat apa pun dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku. (Yoh 5:17-30) 
Bacaan Pertama: Yes 49:8-15; Mazmur Tanggapan: Mzm 145:8-9,13-14,17-18
Yesus telah melakukan penyembuhan pada hari Sabat beberapa kali. Orang-orang Yahudi tidak dapat menerima hal ini dan mulai berusaha untuk membunuh-Nya. Pertama-tama Yesus menjawab dengan mengajukan pertanyaan, mengapa Ia sebagai Putera Bapa tidak dapat bekerja pada hari Sabat, karena Bapa-Nya tentu saja bekerja. Tindakan kreatif Allah senantiasa berlangsung setiap hari. Pertanyaan sekaligus pernyataan Yesus ini malah membuat orang-orang itu menjadi lebih marah  karena sekarang Yesus berbicara mengenai Allah sebagai Bapa-Nya, jadi membuat diri-Nya setara dengan Allah sendiri.

Yesus menjawab dengan berbicara tentang relasi antara Putera dengan Bapa. Seperti yang dilakukan oleh Bapa demikian pula Putera akan melakukan. Bapa mengasihi Putera. Bapa akan menunjukkan kepada Putera karya-karya yang lebih besar, bahkan lebih besar daripada sekadar menyembuhkan orang-orang yang menderita berbagai sakit-penyakit. Ia akan membangkitkan orang dari alam maut dan menjadikannya hidup kembali, sebuah karya yang telah dilakukan Bapa dalam setiap tindakan penciptaan manusia.
Sepanjang bacaan Injil hari ini Yesus mengindikasikan relasi kasih antara Bapa dan Putera. Yesus sang Putera mengatakan bahwa Dia tidak bertindak dari diri-Nya sendiri, melainkan melakukan apa yang dilihat-Nya dilakukan oleh Bapa-Nya. Putera hanya bertindak seturut kehendak Bapa. Putera berada dalam keharmonisan lengkap dengan Bapa.
Pada waktu berumur 12 tahun Yesus telah mengatakan kepada ibu dan ayah-Nya, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku” (Luk 2:49). Kira-kira juga dapat dibaca begini: “Bukankah aku mengerjakan bisnis Bapa-Ku?” Setelah dikenal sebagai rabi dari Nazaret yang suka berkhotbah berkeliling, Yesus juga menunjukkan bahwa walaupun Ia semakin dimusuhi, Dia tetap akan mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya, pekerjaan-pekerjaan Bapa-Nya yang diberikan Bapa-Nya untuk dilakukan oleh-Nya. Yesus bersabda: “Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”  (Yoh 5:30).
Kita pun mempunyai pekerjaan atau bisnis yang harus dilakukan. Kita semua mempunyai sebuah misi untuk dilaksanakan. Kita tidak dapat mencari kehendak kita sendiri, melainkan mencari kehendak Allah. Seperti Yesus yang setia dalam melakukan pekerjaan-Nya walaupun semakin banyak menghadapi perlawanan, kita pun harus setia dalam melakukan pekerjaan kita, walaupun menghadapi berbagai kesulitan, oposisi atau ketiadaan penghargaan/respek dari orang-orang lain. Atas dasar inilah tergantung relasi kasih personal kita dengan Allah.
DOA: Tuhan Yesus, tolonglah kami agar mampu mendengar sabda-Mu dan memiliki iman-kepercayaan akan Dia yang mengutus Engkau, dengan demikian kami akan memiliki hidup yang kekal. Terima kasih, Tuhan Yesus. Terpujilah nama-Mu selama-lamanya. Amin.
Sumber :

JADUAL PENGAKUAN MUSIM PRAPASKA

PAROKI OUR LADY OF FATIMA, BELURAN

Tarikh     :       15/03/2018 (Khamis)
Tempat   :       Gereja Paroki OLOF, Beluran
Masa      :       3.00 petang-6.00 petang
                       (6.00 petang Misa Kudus)

Tarikh     :       16/03/2018 (Jumaat)
Tempat   :       1. St. Paul, Ulu Dusun
                       2. St. Anthony, Bukit Garam
Masa      :       3.00 petang-5.00 petang
                       (1 dan 2—5.00 petang Misa Kudus)

Tarikh     :       17/03/2018 (Sabtu)
Tempat   :       St. Emmanuel, Jaya Bakti
Masa      :       3.00 petang-5.00 petang

Isnin, Mac 12, 2018

AIR YANG MEMBAWA KEHIDUPAN DAN KESEMBUHAN

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Selasa, 13 Maret 2018)
Ordo Fratrum Minorum (OFM): Peringatan B. Ludovikus dr Casoria, Imam
Kemudian ia membawa aku kembali ke pintu Bait Suci, dan sungguh, ada air keluar dari bawah ambang pintu Bait Suci itu dan mengalir menuju ke timur, sebab Bait Suci juga menghadap ke timur; dan air itu mengalir dari bawah bagian samping kanan dari Bait Suci itu, sebelah selatan mezbah. Lalu diiringnya aku ke luar melalui pintu gerbang utara dan dibawanya aku berkeliling dari luar menuju pintu gerbang luar yang menghadap ke timur, sungguh, air itu membual dari sebelah selatan.
Sedang orang itu pergi ke arah timur dan memegang tali pengukur di tangannya, ia mengukur seribu hasta dan menyuruh aku masuk dalam air itu, maka dalamnya sampai di pergelangan kaki. Ia mengukur seribu hasta lagi dan menyuruh aku masuk sekali lagi dalam air itu, sekarang sudah sampai di lutut; kemudian ia mengukur seribu hasta lagi dan menyuruh aku ketiga kalinya masuk ke dalam air itu, sekarang sudah sampai di pinggang. Sekali lagi ia mengukur seribu hasta lagi, sekarang air itu sudah menjadi sungai, di mana aku tidak dapat berjalan lagi, sebab air itu sudah meninggi sehingga orang dapat berenang, suatu sungai yang tidak dapat diseberangi lagi.
Lalu ia berkata kepadaku: “Sudahkah engkau lihat, hai anak manusia?” Kemudian ia membawa aku kembali menyusur tepi sungai. Dalam perjalanan pulang, sungguh, sepanjang tepi sungai itu ada amat banyak pohon, di sebelah sini dan di sebelah sana. Ia berkata kepadaku: “Sungai ini mengalir menuju wilayah timur, dan menurun ke Arab-Yordan, dan bermuara di Laut Asin, air itu menjadi tawar, sehingga ke mana saja sungai itu mengalir, segala makhluk hidup yang berkeriapan di sana akan hidup. Ikan-ikan akan menjadi sangat banyak, sebab ke mana saja air itu sampai, air laut  di situ menjadi tawar dan ke mana saja sungai itu mengalir, semuanya di sana hidup.
Pada kedua tepi sungai itu tumbuh bermacam-macam pohon buah-buahan, yang daunnya tidak layu dan buahnya tidak habis; tiap bulan ada lagi buahnya yang baru, sebab pohon-pohan itu mendapat air dari tempat kudus itu. Buahnya menjadi makanan dan daunnya menjadi obat (Yeh 47:1-9,12) 
Mazmur Tanggapan: Mzm 46:2-3,5-6,8-9; Bacaan Injil: Yoh 5:1-16 
Visi nabi Yehezkiel tentang Bait Suci di Yerusalem yang sudah direstorasi melukiskan air mengalir yang kemudian menjadi sungai yang airnya membawa kehidupan dan kesembuhan. Suatu gambaran yang indah tentang kehidupan yang ingin diberikan Yesus kepada kita.
Bayangkanlah bagaimana jadinya dunia tanpa air. Tidak akan ada kehidupan samasekali, tidak ada tetumbuhan, tidak ada hewan, dan yang tentunya tidak ada manusia! Vitalnya air bagi kehidupan fisik kita sama saja dengan vitalnya kehadiran Allah bagi kehidupan spiritual kita. Sakramen Baptis adalah salah satu tanda yang paling penuh kuasa tentang  kebenaran ini, namun tanda-tanda lainnya juga ada di sekeliling kita. Kesegaran dari air hujan yang turun dari langit, daya tarik sebuah sungai, bahkan bejana air suci di gereja-gereja kita, semua menunjuk pada kuasa dan pembersihan yang Yesus ingin berikan kepada kita.
Dalam visi Yehezkiel, tingkat permukaan air meningkat secara dramatis setiap saat dia mengukurnya (lihat Yeh 47:3-5). Dan inilah sebenarnya yang Allah inginkan untuk terjadi di dalam diri kita. Allah ingin agar sungai kasih-Nya dan berkat-Nya bertumbuh dalam kuasa dan kedalaman dalam diri kita selagi kita sujud menyembah-Nya. Dia menginginkannya agar menjadi begitu penuh kuat kuasa sehingga satu-satunya hal yang kita dapat lakukan adalah menyerah terhadap alirannya dan membiarkannya mengangkat kita dan membawa kita ke dalam lautan kasih Allah yang tanpa henti. Dia ingin mencurahkan kepada kita setiap hari dengan kehadiran-Nya dan memperkenankan kita mengenal dan mengalami sukacita besar dan rasa lega-bebas yang berasal dari kenyataan bahwa kita telah dibersihkan oleh belas kasih-Nya.
Namun semuanya itu belumlah segala-galanya. Allah tidak hanya ingin menyegarkan kita dalam sungai hidup-Nya. Dia ingin membuat kita masing-masing berbuah secara ajaib. Ia ingin membalikkan area-area yang stagnant dan mati dalam diri kita menjadi hutan-hutan yang lebat dan berbuah limpah. Ia ingin mengirim kita pergi ke tengah-tengah dunia sehingga kita dapat membawa kehidupan dan kesembuhan kepada siapa saja yang kita jumpai. Dia ingin membuat kita menjadi saluran-saluran sungai-Nya, mengundang setiap orang untuk terjun kedalamnya dan mengenal serta mengalami kuasa kasih-Nya yang mengalir deras melalui mereka. Marilah kita memperkenankan air keselamatan untuk terkumpul dalam diri kita dan kemudian mengalir ke luar dari diri kita dalam segala hal yang kita katakan dan lakukan.
DOA: Tuhan Yesus, aku datang kepada-Mu memohon agar diberikan air kehidupan. Ajarlah aku bagaimana menyerahkan diriku kepada kekuatan sungai-Mu. Aku percaya, dengan melakukan hal itu, akupun dapat menjadi suatu ciptaan baru. Amin.
Sumber :

Jumaat, Mac 09, 2018

DIBENARKAN OLEH ALLAH

(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan III Prapaskah – Sabtu, 10 Maret 2018)
Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus menyampaikan perumpamaan ini. “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezina dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul dirinya dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah sedangkan orang lain itu tidak. Sebab siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Luk 18:9-14) 
Bacaan Pertama: Hos 6:6:1-6; Mazmur Tanggapan: Mzm 51:3-4,18-21
Bayangkan situasi yang digambarkan Yesus dalam perumpamaan-Nya ini. Waktu berdoa sang pemungut cukai berdiri di belakang orang-orang lain, dengan kepala tertunduk dan mata yang memandang ke bawah dengan tangan yang memukul-mukul dadanya, karena dia sadar akan ketidaklayakannya. Dirinya dipenuhi rasa penyesalan mendalam dan dia datang ke Bait Allah untuk berdamai dengan Allah dan mohon pengampunan dari-Nya. Di depannya berdirilah seorang Farisi, seorang pengunjung tetap Bait Allah. Orang Farisi ini jelas “merasa nyaman dan senang” dengan dirinya sendiri dan dia mengharapkan Allah juga senang. Sebagai doanya orang Farisi ini mempersembahkan segala hal yang telah dicapainya dalam bidang kerohanian. Dia berterima kasih kepada Allah bahwa pekerjaannya telah menempatkan dirinya di atas orang-orang lain – teristimewa di atas sang pemungut cukai yang penuh dosa itu.
Akan tetapi Yesus mengatakan bahwa juga sang pemungut cukai itulah yang pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah (Luk 18:14). Apa yang membuat Yesus begitu senang pada “orang berdosa” ini?
Seperti anda masih ingat, sekali peristiwa ketika Yesus dikritik karena Dia makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa,  Yesus mengatakan bahwa bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit (Luk 5:31-32). Tentunya ada begitu banyak yang sakit secara rohani dan sungguh membutuhkan pertolongan Yesus.  Akan tetapi hanya mereka yang rendah hati dan datang dengan hati yang penuh penyesalan akan mengenali dan mengakui dosa-dosa mereka. Orang-orang seperti orang Farisi itu memandang diri mereka sehat secara rohani – dan semua itu dicapai melalui upaya mereka sendiri! Mereka berada dalam bahaya terkena penghakiman Allah karena mereka percaya bahwa upaya-upaya mereka telah membuat mereka layak di mata Allah. Mereka gagal melihat kekosongan rohani dalam diri mereka, dengan  demikian tidak melihat adanya kebutuhan akan rahmat dan kerahiman Allah.
Bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita memandang diri kita sebagai pendosa yang sangat membutuhkan rahmat dan pengampunan Allah? Ataukah kita memandang diri kita begitu sucinya dan selalu benar di mata Allah (apalagi karena kolekte kita setiap kali bukanlah kecil-kecilan) sehingga hanya memerlukan perbaikan karakter sedikit saja dan sesekali saja?
Memang kelihatannya aneh bahwa kita menjadi sehat justru ketika kita mengakui adanya kebutuhan kita, tetapi memang inilah jalan satu-satunya. Kalau kita mengandalkan diri sepenuhnya pada Kristus dan bukan pada kebaikan-kebaikan menurut persepsi kita sendiri, maka kita dapat sampai kepada suatu kesadaran bahwa “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:10). Sebaliknyalah yang akan terjadi kalau kita menaruh kepercayaan sepenuhnya pada kemandirian kita.
Dalam Perayaan Ekaristi Kudus, teristimewa pada masa Prapaskah yang penuh rahmat ini, perkenankanlah darah Yesus membasuh kita dan memenuhi kita dengan kerahiman-Nya. Dengan penuh kerendahan hati marilah kita mengakui dosa-dosa kita, seraya percaya bahwa Allah akan sangat senang dalam mengangkat kita dan  mengirim kita pulang ‘dibenarkan’ oleh-Nya.
DOA: Tuhan Yesus, kasihanilah aku karena aku sungguh sangat membutuhkan-Mu. Aku melihat dosa-dosaku dan mau dilepaskan dari dosa-dosa itu selamanya. Bersihkanlah aku ya Tuhan, agar aku dapat melakukan kehendak-Mu. Aku cinta pada-Mu, ya Tuhan Yesus. Amin. 
Sumber :