(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV Prapaskah – Jumat, 16 Maret 2018)
Karena angan-angannya tidak tepat maka berkatalah mereka satu sama lain: “Pendek dan menyedihkan hidup kita ini, dan pada akhir hidup manusia tidak ada obat mujarab. Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap pendidikan kita. Ia membanggakan mempunyai pengetahuan tentang Allah, dan menyebut dirinya anak Tuhan, Bagi kita ia merupakan celaan atas anggapan kita, hanya melihat dia saja sudah berat rasanya bagi kita. Sebab hidupnya sungguh berlainan dari kehidupan orang lain, dan lain dari lainlah langkah lakunya. Kita dianggap olehnya sebagai yang tidak sejati, dan langkah laku kita dijauhinya seolah-olah najis adanya. Akhir hidup orang benar dipujinya bahagia, dan ia bermegah-megah bahwa bapanya ialah Allah. Coba kita lihat apakah perkataannya benar dan ujilah apa yang terjadi waktu ia berpulang. Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya. Mari, kita mencobainya dengan aniaya dan siksa, agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya. Hendaklah kita menjatuhkan hukuman mati keji terhadapnya, sebab menurut katanya ia pasti mendapat pertolongan.”
Demikianlah mereka berangan-angan, tapi mereka sesat, karena telah dibutakan oleh kejahatan mereka. Maka mereka tidak tahu akan rahasia-rahasia Allah, tidak yakin akan ganjaran kesucian, dan tidak menghargakan kemuliaan bagi jiwa yang murni. (KebSal 2:1,12-22)
Mazmur Tanggapan: Mzm 34:17-21,23; Bacaan Injil: Yoh 7:1-2,10,25-30
Sekitar satu abad sebelum kelahiran Kristus, seorang cendikiawan Yahudi menulis sebuah kitab dalam tradisi Raja Salomo (malah mengatas namakan Salomo), raja Israel yang penuh hikmat itu. Penulis ini adalah seorang yang terdidik baik dalam hikmat alkitabiah dan juga filsafat Yunani. Dia menulis Kitab Kebijaksanaan (Salomo) ini untuk menolong komunitas Yahudi memahami iman-kepercayaan mereka di bawah tekanan untuk berkompromi dengan pandangan-pandangan kafir tentang kehidupan. Penulis ini menyalahkan orang-orang yang membuang iman-kepercayaan mereka dan kemudian memeluk budaya Yunani.
Dalam diskursus imajiner yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran orang-orang jahat sedemikian selagi mereka membuat rancangan untuk mencelakakan seorang Yahudi yang saleh, sang penulis mengamati kesalahan dan ketidakpercayaan yang melatarbelakangi kemurtadan mereka: mereka buta terhadap kebenaran mendasar bahwa Allah memberi ganjaran kepada “jiwa yang murni” (Keb 2:22).
Tradisi masa puasa atau Prapaskah Kristiani menafsirkan bacaan ini sebagai suatu meditasi kenabian (profetis) atas rencana jahat orang-orang Yahudi untuk membunuh Yesus. Mereka yang berkomplot untuk membunuh Yesus merasakan bahwa ajaran-ajaran-Nya sungguh menantang cara-cara atau jalan-jalan mereka yang bersifat legalistik: “Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita” (Keb 2:12). Mereka marah ketika mendengar Yesus menyapa/memanggil Allah sebagai Bapa-Nya (Keb 2:13). Otoritas mereka terancam oleh sikap dan perilaku terbuka Yesus yang anti kemunafikan (Keb 2:16).
Biar bagaimana pun juga, ketulusan dan kebenaran pesan Yesus membuat diri-Nya sebagai suatu teguran/celaan terhadap nurani mereka yang tidak beres. Pikiran mereka sendiri yang menuduh diri mereka, kapan dan di mana saja mereka bertemu dengan Yesus (Keb 2:14,15). Mereka “ngotot” untuk menolak kebenaran Yesus, malah memandang Yesus sebagai “gangguan dan menentang pekerjaan mereka” (lihat Keb 2:12). Dengan memelintir atau memutar-balikkan ayat-ayat Kitab Suci, para lawan/musuh Yesus mencobai-Nya dan berkata: “Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya” (Keb 2:18). Mereka mencobai kelembutan hati dan daya tahan Yesus, dan akhirnya menyiksa Dia sampai mati di kayu salib.
Pada tataran yang berbeda, diskursus ini dapat juga membimbing kita dalam memeriksa hati kita sendiri. Apakah kita menghakimi atau memperlakukan orang-orang lain dengan kekerasan, lalu merasionalisasikannya untuk membenarkan tindakan kita itu? Apakah bagi kita ajaran-ajaran Yesus itu sebagai teguran/celaan terhadap diri kita? Apakah Kristus yang berdiam dalam diri kita membuat kita menjadi tidak nyaman? Apakah wejangan/nasihat-Nya terasa sebagai teguran/celaan, sesuatu yang kita abaikan ketika tidak menyenangkan hati kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus timbul selagi kita berjuang untuk menangkap setiap pemikiran akan Kristus. Kebenaran tentang kecenderungan-kecenderungan kita untuk berdosa tidak seharusnya membuat kita menjadi tertekan dan tak berdaya, karena kita mengetahui benar bahwa Yesus mati di kayu salib untuk setiap orang, bahkan untuk para lawan/musuh-Nya juga.
Marilah kita dalam masa Prapaskah ini secara khusus membawa segala pikiran dan perbuatan kita ke hadapan “sang Kebenaran” (lihat Yoh 14:6) dan 100% percaya akan apa yang pernah disabdakan-Nya: “Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat” (Luk 15:10).
DOA: Tuhan Yesus, ampunilah segala dosaku karena kemunafikan diriku, kesombongan pribadi dan ke-sok-suci-an-ku. Terima kasih Tuhan. Amin.
Sumber :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan