(Bacaan Pertama
Misa Kudus, Hari Biasa Pekan IV – Jumat, 4 April 2014)
Karena
angan-angannya tidak tepat maka berkatalah mereka satu sama lain: “Pendek dan
menyedihkan hidup kita ini, dan pada akhir hidup manusia tidak ada obat
mujarab. Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi
gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum
dituduhkannya kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap
pendidikan kita. Ia membanggakan mempunyai pengetahuan tentang Allah, dan
menyebut dirinya anak Tuhan, Bagi kita ia merupakan celaan atas anggapan kita,
hanya melihat dia saja sudah berat rasanya bagi kita. Sebab hidupnya sungguh
berlainan dari kehidupan orang lain, dan lain dari lainlah langkah lakunya.
Kita dianggap olehnya sebagai yang tidak sejati, dan langkah laku kita dijauhinya
seolah-olah najis adanya. Akhir hidup orang benar dipujinya bahagia, dan ia
bermegah-megah bahwa bapanya ialah Allah. Coba kita lihat apakah perkataannya
benar dan ujilah apa yang terjadi waktu ia berpulang. Jika orang yang benar itu
sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari
tangan para lawannya. Mari, kita mencobainya dengan aniaya dan siksa, agar kita
mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya. Hendaklah kita
menjatuhkan hukuman mati keji terhadapnya, sebab menurut katanya ia pasti
mendapat pertolongan.”
Demikianlah mereka
berangan-angan, tapi mereka sesat, karena telah dibutakan oleh kejahatan
mereka. Maka mereka tidak tahu akan rahasia-rahasia Allah, tidak yakin akan
ganjaran kesucian, dan tidak menghargakan kemuliaan bagi jiwa yang murni. (Keb
2:1a,12-22)
Mazmur Tanggapan:
Mzm 34:17-21,23; Bacaan Injil: Yoh 7:1-2,10,25-30
Kitab Kebijaksanaan
(Salomo) adalah sebuah kitab yang relatif belakangan dimasukkan ke dalam Kitab
Suci. Kapan? Tanggal/waktu yang banyak diterima sehubungan dengan munculnya
Kitab Kebijaksanaan ini adalah sekitar tahun 50 S.M. Hanya versi dalam bahasa
Yunani saja yang berhasil diketemukan, walaupun ada pakar-pakar yang percaya
bahwa sebagian dari Kitab ini mungkin disusun dalam bahasa Ibrani. Tidak adanya
suatu versi dalam bahasa Ibrani adalah salah satu alasan mengapa sejumlah
tradisi iman telah menolak dimasukkannya Kitab Kebijaksanaan ini dalam kanon
Kitab Suci.
Dalam Kitab ini ada
suatu proklamasi kenabian tentang bagaimana orang akan bereaksi terhadap “orang
yang baik” di mana ketidakbersalahannya akan mengungkap dosa-dosa mereka (Keb
2:12). Dengan memproklamasikan dirinya sebagai anak Tuhan/Allah (Keb 2:13,16),
maka orang-orang memandang-Nya sebagai suatu beban “sebab hidupnya sungguh
berlainan dari kehidupan orang lain, dan lain dari lainlah langkah laku-Nya”
(Keb 2:15). “Orang benar” ini akan mengalami aniaya dan siksa (Keb 2:19), dan
dirinya pun akan dijatuhi hukuman mati keji (Keb 2:20). Sungguh suatu “ramalan”
yang jitu bagaimana orang-orang akan bereaksi terhadap Yesus!
Dua ribu tahun
kemudian, kita dapat bertanya apakah sikap-sikap manusia telah banyak berubah,
dengan catatan bahwa sekarang kita telah mempunyai banyak kesaksian tentang
siapa “orang benar” itu sebenarnya. Bukankah sekarang masih ada banyak orang
yang memandang jalan-jalan/cara-cara Yesus sangat tidak nyaman, malah seperti
beban saja? Bukankah banyak orang merasa takut bahwa diri mereka akan dilihat
oleh orang-orang lain sebagai “orang aneh” jika mereka mencoba untuk hidup
seturut ajaran-ajaran-Nya? Tentunya anda sekalian masih ingat bagaimana Santo
Fransiskus dari Assisi diolok-olok dan diejek-diejek serta dipermalukan pada
saat-saat dia memutuskan untuk mengikuti jejak Yesus Kristus? Demikian pula
dengan banyak orang kudus lainnya. Memang mengikuti jejak Yesus mengandung
“biaya pemuridan/kemuridan” yang tidak kecil. Atas dasar alasan inilah tidak
sedikit orang yang meninggalkan diri-Nya atau batal mengikuti jejak-Nya.
Ada suatu peristiwa
kecil yang saya alami sendiri di bandara Surabaya di tahun 1990an, ketika saya
mau pulang ke Jakarta dari sebuah perjalanan dinas yang melelahkan. Di tempat
itu saya berjumpa dengan beberapa teman anggota direksi sebuah bank milik
keluarga Cendana. Kami ngobrol ke sana ke mari sambil jalan karena ternyata
akan berada dalam flight yang sama. Ketika mereka mau masuk “lounge” khusus
penumpang “business class” saya meneruskan jalan saya untuk menuju ruang tunggu
penumpang kelas ekonomi yang ramai seperti pasar itu. Seorang dari mereka
berseru dengan suara keras kira-kira begini: Kenapa naik economy class, kan lu
direktur bank? Apakah bank elu mau bangkrut? Menanggapi “teriakan” itu saya
hanya tersenyum dan melanjutkan jalan saya. Tidak sedikit orang yang mendengar
teriakan sombong dari teman saya itu. Sebagai direktur-eksekutif sebuah bank
swasta nasional, memang saya berhak untuk naik “business class” atau “first
class”, tapi saya berupaya untuk mengikuti teladan kesederhanaan yang diberikan
oleh Yesus dan orang-orang kudus-Nya, seperti bapak rohani saya, Santo
Fransiskus. Waktu berjalan terus sampai saat datang krisis ekonomi. Bank teman
saya itu ditutup, tetapi bank di mana saya bekerja masih tetap ada sampai hari
ini. Pengalaman serupa tapi tak sama saya alami beberapa kali di tempat dan
waktu yang berbeda.
Hikmat-kebijaksanaan
khusus apakah yang dimiliki Yesus, sehingga memampukan diri-Nya untuk hidup
secara berbeda dengan kebanyakan orang lain? Yesus begitu yakin akan kasih dan
perlindungan Bapa-Nya, sehingga Dia mampu menemui orang-orang dan memberikan
kasih Allah Bapa kepada mereka semua – bahkan mereka yang menentang-Nya,
melawan-Nya, memusuhi-Nya, mendzolimi-Nya. Yesus adalah puncak kepenuhan nubuat
sang nabi: “Aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu” (Yes 50:7). Hikmat-Nya
adalah buah dari pengenalan-Nya akan kasih Bapa surgawi, menaruh kepercayaan
pada kasih itu, dan berkeinginan untuk membagikan kasih itu dengan setiap
orang. Yesus tidak pernah goyah dalam menjalani panggilan-Nya untuk mewujudkan
penebusan bagi kita semua.
Selagi kita semakin
mengenal kasih Bapa surgawi bagi kita yang diwujudkan dalam kematian Yesus di
kayu salib, kita semakin penuh menanggapi kehadiran Roh Kudus yang berdiam
dalam diri kita, kita pun akan mulai mengenakan “pikiran Kristus” (1Kor 2:16;
bdk. Flp 2:5). Diberdayakan oleh Roh Allah sendiri, kita pun akan mampu
bertumbuh dalam keserupaan dengan Yesus, Tuhan kita, sang “Orang benar”.
DOA: Tuhan Yesus,
kami berterima kasih penuh kepada-Mu karena Engkau sudi mati di kayu salib demi
kami, sehingga kami dapat menerima kasih Bapa surgawi. Melalui Roh Kudus-Mu,
penuhi diri kami dengan hikmat-Mu, ya Tuhan, karena kami sungguh ingin menjadi
serupa dengan diri-Mu. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan