(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXX – Kamis, 29 Oktober 2015)
Pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus, “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau. Jawab Yesus kepada mereka, “Pergilah dan katakanlah kepada si rubah itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai. Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh di luar Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi sampai pada saat kamu berkata: Terpujilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” (Luk 13:31-35)
Bacaan Pertama: Rm 8:31b-39; Mazmur Tanggapan: Mzm 109:21-22,26-17,30-31
Lukas menghubungkan bacaan Injil hari ini dengan perikop sebelumnya yang dibuka dengan sebuah peringatan, bahwa Yesus sedang berada di tengah perjalanan ke Yerusalem (lihat Luk 13:22). Nah, dalam bacaan Injil hari ini diceritakan bahwa Yesus menerima sebuah peringatan dari beberapa orang Farisi bahwa karena Herodes Antipas ingin membunuhnya, maka Yesus harus secepat mungkin meninggalkan tempat di mana sekarang Ia berada – yaitu wilayah kekuasaan Herodes Antipas.
Yesus sangat tegas dalam jawaban-Nya, dan membuat jelas bahwa Dia tidak akan pernah dapat diintimidasi oleh seorang raja-boneka Romawi seperti Herodes Antipas. Kalau pun Yesus pergi meninggalkan teritori raja-wilayah ini, maka hal itu hanyalah disebabkan karena misi-Nya menuntut diri-Nya untuk pergi ke Yerusalem. Sejarawan Yosefus mencatat bahwa Herodes adalah seorang penguasa yang sangat ingin menghindar dari konflik apa pun di daerah kekuasaannya, seorang penguasa yang lembek. Sebaliknya, Lukas di sini menghadirkan Yesus sebagai seorang tokoh yang kuat, yang menguasai diri dengan mantap, yang memegang kendali atas “nasib”-Nya sendiri, dan yang berbicara lantang di depan publik tentang rencana-rencana-Nya di masa depan.
Dari teks bacaan Injil memang tidak jelas apakah orang-orang Farisi itu datang kepada Yesus karena keprihatinan yang murni atas keamanan diri-Nya atau karena mereka hanya digunakan oleh Herodus Antipas guna menakut-nakuti Yesus agar Ia meninggalkan wilayah kekuasaannya. Yesus memberi julukan “si rubah” kepada Herodes Antipas. Menurut T.W. Manson (Sayings, hal. 276), kata “rubah” seperti digunakan oleh orang Yahudi mempunyai dua arti, yaitu “licik” sebagai lawan dari sikap terus terang dan langsung tidak berputar-putar, dan kata itu digunakan juga sebagai lawan dari “singa”, maksudnya adalah, bahwa “rubah” adalah pribadi kelas tiga yang tidak signifikan ketimbang seorang pribadi yang memiliki kuasa dan kebesaran yang riil. Menamakan Herodus Antipas sebagai “si rubah” sama saja dengan mengatakan bahwa dia bukan orang besar atau orang yang berbicara terbuka dan langsung; orang ini tidak memiliki kemuliaan atau kehormatan.
Yesus mengirim pesan kembali kepada Herodes bahwa Dia akan melanjutkan pekerjaan-Nya melawan kuasa kejahatan dan menyembuhkan segala sakit-penyakit sampai saat misi-Nya diselesaikan. Yesus merasa pasti bahwa Dia akan menyelesaikan misi-Nya di Yerusalem, bukan di dalam wilayah kekuasaan Herodes Antipas. Yerusalem dilihat sebagai “ringkasan” umat Israel, dan Yesus mengingatkan para pendengar-Nya tentang bagaimana Yerusalem memperlakukan para nabi di masa lampau: Yerusalem telah memainkan peran sebagai pembunuh, jadi layaklah bahwa kota ini pun akan memainkan peran yang sama atas diri nabi terbesar sepanjang masa, Yesus. Herodes Antipas tidak dapat memasuki drama ini sekarang dan mengubah hubungan fatal yang ada antara Yerusalem dan Yesus, antara pembunuh dan korbannya. Dan dalam hal ini, sang korban sedang melakukan perjalanan-Nya ke tempat sang pembunuh.
Dalam ratapan-Nya atas Yerusalem yang menyayat hati mereka yang mendengar-Nya, Yesus berbicara dalam bahasa Hikmat-Kebijaksanaan dan mengingat upaya-upaya yang dilakukan berulang kali oleh Allah untuk mengirim para utusan-Nya ke tengah penduduk kota itu, namun yang ada hanyalah kekerasan dan pembunuhan. Allah tergerak untuk bertindak karena keprihatinan-Nya, sedangkan penduduk Yerusalem tergerak untuk bertindak karena nafsu membunuh yang keluar dari kekerasan hati dan kebebalan. Dan, mereka akan melakukan yang sama atas diri nabi yang sekarang sedang menuju kota itu.
Ratapan Yesus berisikan suatu gambaran “seorang” Allah yang lemah lembut, “seorang” Allah seperti seorang ibu yang penuh perhatian, yang ingin mengumpulkan anak-anaknya di bawah perlindungannya. Namun anak-anaknya itu tidak berminat – barangkali mereka bukan anak-anak kecil lagi. Gambarannya adalah tentang “seorang” Allah yang ngin mengumpulkan umat-Nya ke dalam Kerajaan-Nya, namun umat-Nya itu tidak mau berurusan dengan Allah. Jadi di sini kita dapat membayangkan “seorang” Allah yang sendiri dan kesepian, yang penuh kerinduan untuk bersatu dengan anak-anak-Nya. “Seorang” Allah yang berbicara tentang kegagalan-Nya sendiri untuk mengumpulkan umat-Nya hanya dapat berbuat begitu jika Dia berharap bahwa segala sesuatunya akan menjadi lain.
Dalam kekerasannya terhadap para nabi dan Yesus, Yerusalem adalah adalah tempat di mana lebih banyak berbicara tentang absennya Allah daripada kehadiran-Nya. Hal ini bukan berarti bahwa Allah telah melupakan dan/atau mengabaikan kota ini, melainkan bahwa Dia telah dibuang secara berulang kali justru oleh penduduk Yerusalem. Hal itu akan tetap begitu sampai penduduk Yerusalem mengakui “Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Luk 13:35). Jika ini merupakan acuan pada kedatangan Mesias untuk terakhir kali, maka pengakuan tersebut akan terlambat. Seperti yang dikemukakan oleh Yesus dalam perikop sebelumnya, suatu pengakuan di depan pintu yang sudah tertutup merupakan suatu keterlambatan yang fatal (Luk 13:25-27). Jika memang masih tersedia waktu untuk memproklamasikan Yesus sebagai “Dia yang datang dalam nama Tuhan”, maka waktu itu adalah “sekarang”, “sekarang”, dan “sekarang”.
DOA: Kasihanilah aku, ya Allah, kasihanilah aku, sebab kepada-Mulah jiwaku berlindung; dalam naungan sayap-Mu aku akan berlindung, kepada Allah yang menyelesaikannya bagiku. Sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai. Amin (Mzm 57:2; 63:9).
Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Luk 13:31-35), bacalah tulisan yang berjudul “JIKALAU BUKAN TUHAN YANG ……” (bacaan tanggal 29-10-15) dalam situs/blog PAX ET BONUMhttp://catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: 15-10 PERMENUNGAN ALKITABIAH OKTOBER 2015.
Cilandak, 27 Oktober 2015
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan