(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI RAYA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA – Kamis, 17 Agustus 2017)
Kemudian pergilah orang-orang Farisi dan membuat rencana bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama para pendukung Herodes bertanya kepada-Nya, “Guru, kami tahu, Engkau seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata, “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa satu dinar kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka, “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka, “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:15-21)
Bacaan Pertama: Sir 10:1-8; Mazmur Tanggapan: Mzm 101:1-3,6-7; Bacaan Kedua: 1Ptr 2:13-17
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21)
Jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi yang munafik (kali ini didukung oleh sejumlah pendukung raja Herodes), yang senantiasa mencoba untuk menjebak-Nya ini merupakan sebuah jawaban yang memiliki relevansi sampai pada hari ini, khususnya dalam kehidupan bernegara. Jadi, memang cocok untuk menjadi bacaan Injil pada Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Di sini orang-orang Farisi dan kaum Herodian berupaya menjebak Yesus ke dalam suatu kontroversi atau katakanlah polemik politis. Kenyataan bahwa orang-orang Farisi (anti pemerintahan Roma) dan kaum Herodian (pendukung raja Herodes; pro pemerintahan Roma) bergabung menunjukkan bahwa memang ada “udang di balik batu” yang tersirat dalam pertanyaan mereka kepada Yesus. Yesus berhasil menghindar dari “jebakan” para lawan-Nya itu. Dia tidak menampilkan diri sebagai seorang revolusioner politik (misalnya secara eksplisit menolak pajak kepada Kaisar), melainkan mengulangi pesan dasar dari misi-Nya: “(Berikanlah) kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21).
Dalam pernyataan Yesus ini tersirat adanya masalah hak dan kewajiban, tidak sekadar hak. Hak dan kewajiban memang seyogianya berjalan seiring, seperti layaknya sisi yang berlainan dari sebuah uang logam yang sama. Kaisar (baca: Pemerintah) memang berhak menuntut sejumlah hal dari rakyat yang dipimpinnya, berupa pajak sampai kepada keikutsertaan mereka dalam pembelaan negara dan bangsa. Namun di lain pihak, Kaisar juga mempunyai kewajiban untuk mengurus negara dan mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya dalam arti seluas-luasnya. Apa yang menjadi hak Kaisar sebagai penguasa/pengurus negara dan bangsa, menjadi kewajiban bagi rakyatnya. Juga sebaliknya: hak rakyatlah untuk mempunyai pemerintahan yang kompeten, memperhatikan keadilan sosial dll. yang merupakan kewajiban Kaisar.
Kita sebagai orang Kristiani tidak hanya wajib membayar pajak kepada Kaisar, melainkan juga melibatkan diri dalam banyak aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial dll., termasuk membawa perdamaian dalam masyarakat. Umat Kristiani bukanlah musuh negara, melainkan warga-warga negara yang penuh tanggung jawab. Sebagai umat yang beriman (saya tidak mengatakan “umat yang beragama”) kepada “Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat”, dengan hati yang dipenuhi dan dibimbing oleh Roh Kudus, mereka melakukan kewajiban-kewajiban mereka sebagai warganegara tidak karena terpaksa atau dipaksa-dipaksa, atau apabila ditekan oleh “teror” dari segala arah, atau apabila diamat-amati serta diancam dengan hukuman-hukuman, melainkan atas dasar kesadaran batin. Mengapa? Karena karena dalam diri penguasa dan kekuasaan yang sah, mereka melihat para pemimpin yang dihendaki Allah guna mencapai kesejahteraan umum.
Akan tetapi, di pihak lain umat Kristiani hanya bersedia memberi kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan bukan perkara-perkara lain yang samasekali bukan hak sang Kaisar untuk turut campur tangan. Jadi, hak Kaisar tidaklah tanpa batas. Di bawah ada hak-hak pribadi dan keluarga yang tidak dapat diganggu gugat oleh Kaisar dan kekuasaannya. Di luar ada hak-hak bangsa lain. Dan terutama dari atas sana ada tuntutan dan kehendak Allah. Oleh karena itu, setiap kali pemerintahan suatu negara melampaui batas-batas kekuasaannya dan menuntut yang tidak adil, maka umat Kristiani tidak dapat taat lagi. Kalau yang dituntut Kaisar itu tidak adil, maka orang Kristiani wajib melawannya dan setuju berarti dosa. Dalam kurun waktu sekitar 300 tahun pertama sejarah Gereja banyak sekali orang Kristiani yang mati sebagai martir Kristus, karena tidak mau memberikan kepada Kaisar yang berkuasa apa yang menjadi hak Allah.
Bagian akhir jawaban Yesus sangat mendalam dan tepat mengenai hal yang paling menentukan: “(Berikanlah) kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Para lawan Yesus yang munafik, yang berpura-pura jujur dan penuh tanggung jawab itu justru tidak mau tunduk kepada Tuhan (Kyrios) segala kaisar. Mereka tidak mau mempercayai sabda Allah, tidak mau taat kepada kehendak-Nya, tidak mau memuji kemuliaan-Nya. Pertanyaan pura-pura mereka merupakan bukti dari ketidaktaatan mereka.
Manusia harus memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. Dan segala sesuatu adalah milik Allah, sebab sebagai makhluk ciptaan, manusia itu adalah milik sang Pencipta, dan sebagai yang tertebus dengan darah Kristus, dia menjadi milik sang Penebus. Kehidupan manusia berasal dari Allah, demikian pula kehendak bebasnya dan juga rahmat yang diterimanya. Demikian pula cintakasihnya yang juga berasal dari Allah sendiri yang adalah KASIH. Maka, segala sesuatu yang diberikan manusia kepada Allah hanyalah pemulangan kembali milik Allah saja. Oleh karena itu penyerahan diri kepada Allah bagi umat Kristiani bukan hanya merupakan kewajiban, melainkan karya cintakasih yang rela dan gembira. Siapa yang memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik-Nya, demi Allah juga dapat memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar. Akan tetapi, siapa yang memberikan kepada Kaisar apa yang tidak menjadi kepunyaannya, siapa yang mendewa-dewakan pimpinan pemerintahan, yang baginya kekuasaan negara adalah yang tertinggi, yang melihat tujuan terakhir dalam politik dan kebesaran nasional, dia itu menolak memberikan kepada Allah apa yang menjadi kepunyaan-Nya.
Hanya sikap yang tepat terhadap Allah sajalah yang akan mendatangkan keserasian dalam seluruh kehidupan seseorang. Maka jawaban Yesus terhadap pertanyaan menjebak para musuhnya adalah menyingsingnya fajar keseluruhan tata ciptaan, sebab semua garis bertemu pada suatu titik tertinggi, dan dari titik tertinggi tadi, jadi dari Allah, segala sesuatu diterangi. Pendewaan manusia dan negara dapat dipandang sebagai penyembahan berhala. Dan penyembahan berhala adalah pekerjaan Iblis. Siapa yang melakukan penyembahan berhala akan jatuh ke dalam kekuasaan Iblis.
DOA: Bapa surgawi, Engkau memanggil setiap orang kepada kemerdekaan dalam Yesus Kristus, Putera-Mu. Maka pada hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ini kami mohon kepada-Mu: lindungilah tanah air kami, agar tetap bebas merdeka dan aman sentosa. Anugerahkanlah kepada bangsa kami kemerdekaan sejati, agar di seluruh wilayahnya berkuasalah keadilan dan damai sejahtera, perikemanusiaan, kerukunan dan cintakasih yang sejati. Amin.
Sumber :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan