(Bacaan Injil Misa
Kudus, Peringatan S. Yohanes Krisostomos, Uskup-Pujangga Gereja – Jumat, 13
September 2013)
Yesus menyampaikan lagi suatu perumpamaan kepada mereka,
“Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam
lubang? Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, tetapi siapa saja yang
telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya. Mengapa engkau melihat
serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri
tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu:
Saudara, biarlah aku mengeluarkan serpihan kayu yang ada di dalam matamu,
padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik,
keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas
untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu.” (Luk 6:39-42)
Bacaan Pertama:
1Tim 1:1-2,12-14; Mazmur Tanggapan: Mzm 16:1,2,5,7-8,11
Terutama dalam masa
ketidakpastian seperti sekarang ini, tidak mengherankanlah apabila jumlah
“guru-guru kebijaksanaan”, “guru-guru spiritual” dan teristimewa para
“motivator” menjadi semakin banyak saja yang beroperasi dalam masyarakat kita
untuk menawarkan jasa-jasa “baik” dan mengajarkan “kiat-kiat” menuju “sukses”
kehidupan, menurut versi mereka masing-masing tentunya. Di Pulau Dewata,
misalnya, ada seorang guru spiritual yang berasal dari India yang mengajar dan
mempunyai sekelompok murid.
Di lain pihak, ada
juga iklan-iklan di TV dan media massa lainnya dan tulisan-tulisan dalam
berbagai surat-kabar yang mencoba mempengaruhi kita, tidak hanya berkaitan
dengan barang/jasa apa yang harus kita beli melainkan juga bagaimana seharusnya
kita berpikir, memilih dan berelasi satu sama lain. Dalam keadaan hiruk-pikuk
seperti ini siapakah yang dapat kita percayai? Di manakah kita dapat menemukan
bimbingan spiritual yang sejati? Guru manakah yang sungguh qualified? Yesus
melontarkan sebuah pertanyaan sangat relevan yang harus membuat kita berpikir
dan menanggapinya: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya
akan jatuh ke dalam lubang?” (Luk 6:39).
Dalam hal
ini Santo Paulus memberikan sebuah petunjuk penting. Ia menyebut dirinya
sendiri sebagai seorang “rasul Kristus Yesus menurut perintah Allah” (1Tim
1:1), namun kualifikasi dirinya yang ditulisnya untuk pelayanannya sebagai
rasul mengejutkan juga. Bukannya suatu “litani” dari berbagai gelar akademis
yang berhasil diraihnya dan juga berbagai capaian lainnya selama hidupnya,
Paulus memberi gelar kepada dirinya sebagai seorang penghujat, penganiaya dan
ganas yang telah menerima belas kasih dan rahmat dari Tuhan (1Tim 1:13-14).
Sebagaimana Paulus melihatnya, satu-satunya orang yang qualified sebagai
seorang pengurus (steward) dari belas kasih Allah adalah orang yang telah
mengalami belas kasih itu. Pengalaman akan Allah/Yesus (experience of
God/Jesus) memang merupakan suatu hal yang bersifat hakiki dalam hidup
Kekristenan yang sejati. Lihatlah riwayat hidup para kudus seperti S.
Augustinus dari Hippo [354-430], S. Fransiskus dari Assisi [1181-1226], S.
Bonaventura [1221-1274], S. Thomas More [1478-1535], S. Ignatius dari Loyola
[1491-1556], S. Teresa dari Lisieux [1873-1897] dan begitu banyak lagi para
kudus lainnya.
Hal-hal yang
membuat orang banyak merasa tertarik kepada Paulus adalah dedikasinya,
kejujurannya, integritasnya, dan kemampuannya untuk menjadi segalanya bagi
semua orang. Bukankah pembimbing spiritual seperti ini yang menarik dan sungguh
kita butuhkan? Bukannya mereka yang pergi ke sana ke mari hanya untuk tebar
pesona dan membingungkan kita dengan rupa-rupa gelar akademis serta janji-janji
yang tidak realistis, atau menyerang orang-orang lain dengan kata-kata tajam
yang tidak membangun. Kita ditarik untuk mendekat kepada mereka yang berjalan
bersama-sama dalam perjalanan kita, mereka yang menyemangati dan mendorong kita
untuk bertekun, dan mengatakan kepada kita bagaimana sang Gembala Baik telah
mendampingi mereka melalui “lembah-lembah kekelaman” (lihat Mzm 23). Pemberian
semangat dan dorongan positif ini lebih meyakinkan lagi, teristimewa jika Allah
juga belum selesai dengan perkara mereka sendiri, namun mereka sangat menyadari
bahwa Allah belum menyerah dalam perkara mereka dan terus menyembuhkan,
mengampuni dan mentransformasikan mereka dalam Kristus. Inilah orang-orang yang
dinamakan oleh P. Henri Nouwen sebagai wounded healer, “penyembuh yang terluka”.
Orang-orang seperti
ini tidak akan banyak berbicara mengenai kelemahan-kelemahan kita (“serpihan
kayu”; Luk 6:41-42). Sebaliknya, mereka akan banyak syering tentang bagaimana
Allah sedang bekerja mengampuni dan mengatasi “balok-balok” dalam hidup mereka.
Mereka tidak menunjuk-nunjuk dosa kita, melainkan dengan lemah lembut berbicara
berkaitan dengan hal-hal yang berada di bawah permukaan, yaitu rasa haus dan
lapar kita akan Allah, kerinduan kita akan kasih-Nya yang tanpa syarat,
pengampunan-Nya, serta suatu awal yang baru dan menyegarkan. Orang-orang itu
adalah pemimpin-pemimpin sejati dalam Tubuh Kristus, dan pemimpin-pemimpin
seperti itulah yang menjadi murid-murid Kristus “yang sama dengan Gurunya”
(lihat Luk 6:40).
DOA: Bapa surgawi,
Engkau adalah Allah yang berbelas kasih. Kami telah menerima bela-rasa dan
pengampunan dari-Mu. Buatlah kami kembali menjadi seturut citra-Mu. Apabila
kami tergoda untuk mengkritisi atau menghakimi orang-orang lain, bukalah mata
kami agar mampu melihat kedalaman cintakasih-Mu – bagi mereka dan bagi kami.
Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan