(Bacaan Pertama Misa Kudus, Peringatan S. Stanislaus, Uskup Martir – Rabu, 11 April 2018)
Lalu mulailah Imam Besar dan pengikut-pengikutnya, yaitu orang-orang dari aliran Saduki, bertindak sebab mereka sangat iri hati. Mereka menangkap rasul-rasul itu, lalu memasukkan mereka ke dalam penjara umum. Tetapi pada malam hari seorang malaikat Tuhan membuka pintu-pintu penjara itu dan membawa mereka ke luar, katanya, “Pergilah, berdirilah di Bait Allah dan beritakanlah seluruh firman hidup itu kepada orang banyak.”
Setelah mendengar pesan itu, menjelang pagi masuklah mereka ke dalam Bait Allah, lalu mulai mengajar di situ. Sementara itu Imam Besar dan pengikut-pengikutnya menyuruh Mahkamah Agama berkumpul, yaitu seluruh majelis tua-tua bangsa Israel, dan mereka menyuruh mengambil rasul-rasul itu dari penjara. Tetapi ketika pejabat-pejabat itu datang ke penjara, mereka tidak menemukan rasul-rasul itu di situ. Lalu mereka kembali dan memberitahukan, katanya, “Kami mendapati penjara terkunci rapat-rapat dan semua pengawal ada di tempatnya di depan pintu, tetapi setelah kami membukanya, tidak seorang pun kami temukan di dalamnya.” Ketika kepala pengawal Bait Allah dan imam-imam kepala mendengar laporan itu, mereka bingung tentang rasul-rasul itu dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Tetapi datanglah seseorang mendapatkan mereka dengan kabar, “Lihat, orang-orang yang telah kamu masukkan ke dalam penjara, ada di dalam Bait Allah dan mereka mengajar orang banyak.” Kemudian pergilah kepala pengawal serta orang-orangnya ke Bait Allah, lalu mengambil rasul-rasul itu, tetapi tidak dengan kekerasan, karena mereka takut, kalau-kalau orang banyak melempari mereka dengan batu. (Kis 5:17-26)
Mazmur Tanggapan: Mzm 34:2-9; Bacaan Injil: Yoh 3:16-21
Berbagai peristiwa dramatis setelah Pentakosta yang terjadi dalam Gereja yang masih sangat muda itu menarik perhatian setiap orang, baik tua maupun muda, baik kaya maupun miskin, baik orang terkenal maupun orang biasa-biasa saja. Seperti kita dapat menduga sebelumnya, orang-orang yang berbeda-beda bereaksi dengan cara yang berbeda-beda pula.
Laporan-laporan tentang berbagai mukjizat dan penyembuhan serta suasana penuh sukacita yang mencirikan orang-orang Kristiani menimbulkan rasa iri hati Imam Besar dan para pengikutnya (orang-orang Saduki; lihat Kis 5:17). Mereka mencoba untuk menghalangi semakin luasnya penyebaran “kehebohan” di tengah-tengah rakyat sehubungan dengan mukjizat-mukjizat penyembuhan lewat pelayanan para rasul. Bagaimana? Dengan cara memenjarakan rasul-rasul itu. Mengapa? Karena para pemuka agama itu terperangkap oleh logika mereka sendiri, maka mereka tidak mampu melihat realitas mendasar bahwa semua kuat-kuasa sebenarnya datang dari Allah. Apabila Allah berdiam dalam diri seseorang, maka kuat-kuasa Allah juga berdiam dalam dirinya. Kekuatan manusiawi semata yang ada dalam diri si Imam Besar (yang di mata dunia dipandang sangat berkuasa) tidak mampu apa-apa dalam menghadapi kuat-kuasa Roh Kudus yang berdiam dalam diri para rasul, yang kali ini lagi-lagi tanpa rasa takut sedikit pun mewartakan firman hidup di Bait Allah setelah mukjizat pembebasan mereka dari penjara umum.
Bagaimana episode dalam Gereja yang masih sangat muda ini berbicara kepada hidup kita sendiri hari ini? Hari ini, seperti pada setiap zaman dalam sejarah Gereja, umat beriman mengalami pencobaan dan penderitaan karena iman-kepercayaan mereka. Sudan, Nigeria, India, Malaysia dan negara tercinta kita sendiri adalah segelintir bukti sejarah modern, bahwa ‘pengejaran’ terhadap para pengikut Kristus masih terus terjadi, meskipun diejawantahkan dalam wajah, skala dan kedalaman yang berbeda-beda. Patut kita camkan juga, bahwa bukanlah maksud Allah untuk sekadar menyelamatkan kita dari kesusahan/penderitaan yang sedang kita alami. Allah juga memperkenankan hal-hal seperti itu terjadi guna menciptakan karakter-Nya sendiri dalam diri kita masing-masing. Seperti telah dicontohkan oleh negara-negara Eropa Timur pada waktu Uni Soviet sangat berkuasa, ada saat-saat di mana tekanan-tekanan atas Gereja justru menyediakan jalan yang paling pasti menuju kekudusan. Selagi kita mengalami kekuatan, arahan dan damai-sejahtera pemberian Roh Kudus yang hadir dalam diri kita, kita pun dapat bergabung dengan para rasul guna memberi kesaksian tentang kebenaran, bahwa Roh yang ada di dalam diri kita, lebih besar daripada roh yang ada di dalam dunia (lihat 1Yoh 4:4). Seperti ditulis oleh Santo Paulus: “… yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia” (1Kor 1:25).
Corrie ten Boom dan Santo Maximillian Kolbe OFMConv. adalah dua orang pahlawan kamp konsentrasi Nazi Jerman pada Perang Dunia ke-II. Apabila kita amati kehidupan kedua orang ini, seorang perempuan Belanda dan seorang imam Fransiskan Conventual Polandia, maka kita melihat bahwa kekuatan dan keberanian mereka bersumber pada pemahaman mereka akan Injil dan cinta mereka yang mendalam kepada Allah serta pengandalan diri semata-mata kepada-Nya. Di tengah-tengah penderitaan mereka sendiri, masih saja mereka mampu untuk menjadi perpanjangan tangan-kasih Allah bagi teman-teman dalam kamp konsentrasi, memanifestasikan iman yang memberi kehidupan dan kemenangan kepada siapa saja yang percaya. Inilah iman yang kita telah warisi, dan iman ini dapat memberdayakan orang-orang yang paling rendah sekali pun dengan kekuatan, pengharapan dan sukacita yang lebih besar.
DOA: Yesus, Tuhanku dan Allahku. Datanglah dan penuhilah diriku dengan Roh Kudus-Mu, agar dalam kelemahanku aku menjadi kuat. Berikanlah kepadaku sukacita dan kemenangan yang menanti-nantikan mereka yang mengikuti jejak-Mu. Amin.
Sumber :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan