Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya,
“Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka, “Ada yang mengatakan:
Yohanes Pembaptis, yang lain mengatakan: Elia dan yang lain lagi mengatakan:
Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka,
“Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Jawab Simon Petrus, “Engkaulah Mesias,
Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya, “Berbahagialah engkau Simon anak
Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang
di surga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya,
kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini
akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di
surga.” Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada
siapa pun bahwa ia Mesias. (Mat 16:13-20)
Bacaan
Pertama: Yes 22:19-23; Mazmur Tanggapan: Mzm 138:1-3,6,8; Bacaan Kedua: Rm
11:33-36
Siapakah
Yesus? Seorang nabikah? Seorang guru moralkah? Pendiri sebuah agama barukah?
Jawabannya bervariasi, baik pada zaman Yesus maupun pada zaman modern ini.
Bagaimana dengan kita (anda dan saya)? Apakah tanggapan kita terhadap
pertanyaan Yesus kepada kita masing-masing: “Siapakah Aku ini?” (Mat 16:15).
Barangkali pertanyaan tersebut dapat dirumuskan kembali sebagai berikut:
“Bagaimana anda tahu bahwa Yesus adalah Dia yang anda katakan sebagai Dia?”
Petrus
berkata kepada Yesus, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16).
Tetapi bagaimana Petrus mengetahui tentang hal ini? Oleh perwahyuan Allah.
Yesus berkata kepada Petrus, “Berbahagialah engkau Simon anak Yunus sebab bukan
manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga” (Mat
16:17). Dalam kasus Yesus, memang manusia dan cara biasa untuk memahami hal-hal
tidaklah cukup. Rahmat perwahyuan diperlukan, yang berasal dari Bapa surgawi.
Perwahyuan
ilahi dan supernatural bukanlah sesuatu yang diberikan Allah secara
sedikit-sedikit, atau hanya sepotong-potong. Allah sangat senang untuk
mewahyukan /menyatakan Yesus kepada kita. Bayangkanlah bagaimana para orangtua
baru tidak pernah lelah bercerita tentang anak-anak mereka. Sebagai Bapa, Allah
tidak banyak berbeda dengan kita. Dia mencurahkan Roh Kudus-Nya pada kita
sehingga dengan demikian hasrat kita akan perwahyuan/pernyataan tentang Yesus
akan bertumbuh, sampai titik di mana kita akan sungguh mengharapkan dapat
melihat tindakan-tindakan Yesus dan mendengar suara-Nya dari hari ke hari.
Bahkan jika kita telah mengalami momen-momen perwahyuan di masa lampau, Allah
ingin memberikan kepada kita lebih lagi: “pengertian tentang rahasia Kristus”
(Ef 3:4), dan keyakinan untuk berjalan dalam kehadiran-Nya sepanjang hari.
Sungguh
menyemangati kita semua, ketika kita mengetahui bahwa walaupun mengalami momen
perwahyuan, Petrus masih saja agak “ngawur” – bahkan tidak sekali saja! Lebih
menyemangati kita lagi adalah ketika kita menyadari bahwa kesalahan-kesalahan
Petrus membuat dirinya haus dan lapar akan perwahyuan yang lebih lagi. Seperti
Petrus, walaupun ketika kita dengan rasa pedih menyadari akan
kelemahan-kelemahan kita, kita tetap dapat memohon lebih lagi pernyataan
tentang Yesus dari Bapa di surga. Kita tidak akan sampai kepada kepenuhan
kontemplasi wajah Kristus jika kita mengandalkan upaya kita sendiri. Kita harus
memperkenankan rahmat Allah untuk bekerja dalam diri kita.
DOA:
Bapa surgawi, nyatakanlah Putera-Mu, Yesus, kepadaku secara lebih lagi. Dengan
demikian aku akan lebih mengenal Dia lebih dalam lagi dan mengalami kuasa
kehadiran-Nya, dan kemudian dapat mensyeringkan kasih-Nya kepada orang-orang
lain. Amin.
Sdr.
F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan