(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXIII – Jumat, 11 September 2015)
Yesus menyampaikan lagi suatu perumpamaan kepada mereka, “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang? Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, tetapi siapa saja yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya. Mengapa engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan serpihan kayu yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu.” (Luk 6:39-42)
Bacaan Pertama: 1 Tim 1:1-2,12-14; Mazmur Tanggapan: Mzm 16:1-2,5,7-8,11
“Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Luk 6:41). Kata-kata ini adalah sebagian dari instruksi-instruksi Yesus tentang perlunya kasih. Dalam berbagai kesempatan, Yesus secara tetap kembali dan kembali lagi kepada tema pengajaran ini.
Yesus tidak memaksudkan bahwa sikap dan perilaku saling menghargai harus buta terhadap dosa atau bahaya-bahaya dosa. Yang dikatakan Yesus kurang lebih adalah seperti berikut: “Marilah kita memandang diri kita sendiri dengan kritis, sebelum kita menilai orang-orang lain.” Pertanyaan-pertanyaan tertentu harus berulang-ulang datang ke dalam pikiran kita: apakah kritik-kritik saya terhadap orang-orang lain sungguh konstruktif dan kreatif, ataukah didasarkan pada iri-hati yang sempit? Apakah ketidaksabaran saya terhadap orang-orang sungguh melekat pada sifat pribadi saya? Apakah penilaian saya terhadap orang-orang lain merupakan penilaian yang matang? Apakah semangat saya dan hasil-hasilnya benar-benar superior ketimbang orang-orang lain, ataukah sudah meluntur menjadi konformisme gaya baru yang sudah nyata terlihat? Bukankah saya terlibat dalam kesalahan sama seperti yang saya tuduhkan kepada orang-orang lain?
Kita sekali-kali tidak boleh lupa bahwa ide kita sendiri pun dapat salah. Hasil-hasil terbaik akan senantiasa datang melalui kritik-diri sendiri yang jujur dan tindakan kasih kepada orang-orang lain yang dilatarbelakangi keterbukaan hati dan pikiran. Segala reformasi harus berawal dari dalam diri sendiri. Tanpa pengenalan diri sendiri dan rasa saling menghormati, maka perubahan besar-besaran akan tanpa makna, malah dapat berakibat dengan hal-hal yang lebih buruk lagi.
Tuhan Yesus sendiri, satu-satunya Pribadi yang boleh berbangga, mengatakan bahwa hanya orang-orang yang rendah hatilah yang akan ditinggikan. Betapa sering kita mendengar orang berkata: “Satu hal yang saya selalu perhatikan tentang orang-orang yang sungguh besar. Mereka selalu kelihatan sangat rendah hati juga. Tidak ada kesombongan, tidak ada rasa superior, tidak ada sikap seakan-akan mengetahui segala sesuatu.” Hal ini dapat dipahami. Mengapa? Karena siapa – selain orang-orang jenius – yang mampu melihat dengan lebih baik betapa sedikit yang sesungguhnya kita ketahui sebagai manusia.
Hikmat yang sejati selalu disertai dengan rasa hormat mendalam terhadap Allah, terhadap sesama manusia, terhadap dunia. Orang-orang besar yang sejati telah belajar untuk “takut akan Allah” dan “menghormati semua orang.”
DOA: Bapa surgawi, kasihanilah dan berkatilah kami, anak-anak-Mu. Banjirilah kami dengan kemuliaan wajah-Mu. Semoga seluruh isi bumi mencari rahmat-Mu yang menyelamatkan. Amin.
Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Luk 6:39-42), bacalah tulisan yang berjudul “BAHAYA DARI KETIDAKSADARAN AKAN KEANGKUHAN KITA” (bacaan tanggal 11-9-15) dalam situs/blog PAX ET BONUM http://catatanseorangofs.wordpdress.com; kategori: 15-09 PERMENUNGAN ALKITABIAH SEPTEMBER 2015.
Cilandak, 8 September 2015 [Pesta Kelahiran SP Maria]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan