(Bacaan Injil Misa Kudus, Jumat sesudah Rabu Abu, 3 Maret 2017)
Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata, “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka, “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat 9:14-15)
Bacaan Pertama: Yes 58:1-9a; Mazmur Tanggapan: Mzm 51:3-6,18-19
Apa kesan anda tentang puasa? Apakah itu sebuah cara meratapi dosa-dosa kita? Apakah anda memandang puasa sebagai suatu kewajiban keagamaan – sekadar sesuatu yang harus dijalani oleh orang-orang Kristiani? Yesus menginginkan agar puasa bagi para murid-Nya itu berbeda dengan kesan-kesan seperti tadi. Pada kenyataannya, puasa Kristiani dapat menjadi suatu peristiwa yang mengandung sukacita besar dan penuh pengharapan, bukannya peristiwa penuh kemurungan.
Yesus mengatakan, apabila Dia – sang mempelai laki-laki – diambil, maka para tamu pesta nikah – para murid – akan berpuasa. Akan tetapi, Yesus sang mempelai laki-laki juga telah berjanji untuk senantiasa bersama kita (lihat Mat 28:20)! Ia bersama kita dalam banyak cara: dalam Roh Kudus-Nya, dalam Kitab Suci, dalam Ekaristi, dalam Gereja-Nya, dalam diri para imam tertahbis-Nya, dan di tengah-tengah umat yang berkumpul bersama di dalam nama-Nya. Dalam begitu banyak cara yang riil dan berwujud, sang mempelai laki-laki ada bersama kita. Dengan demikian orang-orang Kristiani tidak boleh berpuasa sebagai suatu tanda dukacita.
Bagi anak-anak Allah – semua orang yang mengenal dan mengalami kehadiran Yesus Kristus dalam hati mereka, artinya yang percaya kepada-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat – maka puasa dimaksudkan untuk dihubungkan dengan doa. Apabila kita menyangkal diri kita sendiri dalam salah satu bentuk pengungkapannya, maka kita akan menemukan suatu vitalitas baru dalam doa-doa syafaat kita untuk kebutuhan-kebutuhan orang-orang lain. Hati kita tidak mendua lagi dan lebih terbebaskan dari cengkeraman hal-hal duniawi, dan lebih dekat rasa haus dan lapar akan Yesus yang terdapat dalam setiap hati manusia. Apabila kita mengkombinasikannya dengan doa, maka puasa dapat menolong kita mengatasi kejahatan dan menjaga agar kita tetap fokus pada hal-hal yang sungguh berarti. Segala pelanturan dapat dibuang sehingga kita dapat mendengar suara Tuhan dengan lebih jelas. Hal ini dapat membantu kita menghargai hal-hal yang telah kita miliki, sehingga kita dapat berdoa untuk mereka yang tidak memiliki seperti kita. Akhirnya, puasa dan doa dapat memimpin kita kepada pekerjaan untuk tercapainya keadilan, perdamaian, dan belas kasihan di dalam dunia ini.
Mungkinkah berpuasa dengan penuh sukacita? Ya, mungkin! Pada kenyataannya, berpuasa yang tidak bermuram-durja ini kelihatannya yang ada dalam pikiran Yesus ketika Dia memberikan “Khotbah di Bukit”: “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:16-18). Pada masa Prapaskah ini, mengapa tidak mencoba untuk bereksperimen dengan “puasa yang penuh sukacita”? Pilihlah jenis puasa yang masuk akal dan mohonlah kepada Roh Kudus untuk membimbing anda dalam menentukan ujud-ujud doamu. Namun ingatlah selalu bahwa Yesus, sang mempelai laki-laki, selalu beserta anda!
DOA: Tuhan Yesus, tolonglah aku agar dapat berpuasa dengan penuh sukacita dalam masa Prapaskah ini. Gunakanlah doaku dan puasaku untuk membawa kebaikan dalam dunia pada masa kini. Amin.
Sumber :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan