(Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan II Prapaskah – Selasa, 14 Maret 2017)
Lalu berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksudkan untuk dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terbaik di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil orang ‘Rabi.’ Tetapi kamu, janganlah kamu disebut ‘Rabi’; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Janganlah kamu menyebut siapa pun ‘bapak’ di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga. Janganlah kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias. Siapa saja yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (Mat 23:1-12)
Bacaan Pertama: Yes 1:10,16-20; Mazmur Tanggapan: Mzm 50:8-9,16-17,21,23
Mengapa Yesus kelihatan sedemikian “sewot” dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang selalu saja menentangnya dan dengan menggunakan berbagai cara ingin menjebak serta menjatuhkan-Nya? Apakah kecemburuan dan iri hati mereka itu disebabkan karena Yesus ingin mengubah hal-hal yang “tidak pas” dalam masyarakat Yahudi, teristimewa yang berhubungan dengan adat-istiadat dan praktek keagamaan mereka? Atau, apakah karena mereka adalah contoh dari para religius ultra-konservatif, yang terus mau berpegang pada ide-ide “Perjanjian Lama” yang sudah “kuno”? Samasekali bukan! Justru karena orang-orang inilah yang memegang peranan penting dalam masyarakat, maka Yesus menegur mereka dengan keras sekali! Kepada mereka dipercayakan Hukum Musa, batu penjuru bagi Israel sebagai bangsa dan umat. Mereka telah membaktikan seluruh hidup mereka untuk itu, dan rakyat memandang mereka sebagai orang-orang yang sungguh memahami tradisi suci Israel.
Namun sungguh sayang sekali, para ahli Taurat dan Farisi ini telah salah jalan dalam mengemban tugas mereka. Barangkali kekuasaan telah membutakan mata mereka sehingga berpikir bahwa mereka superior ketimbang orang-orang lain. Barangkali para ahli Taurat dan Farisi itu tidak melihat bahwa mereka sebenarnya telah mulai menempatkan posisi mereka yang terhormat sebagai “yang lebih utama” daripada tanggung jawab mereka untuk melayani umat Allah. Yesus tidak bermaksud memojokkan mereka karena mereka mengajar Hukum Taurat, melainkan karena kehidupan mereka sama sekali tidak mencerminkan kerendahan hati yang justru coba diajarkan oleh Hukum Taurat.
Hampir semua yang diajarkan Yesus berkisar pada hal-ikhwal kerendahan hati. Dia ingin agar para murid-Nya (termasuk kita sekarang) memahami betapa pentingnya menjadi jujur di hadapan Allah. Seperti unta yang tidak dapat melewati pintu gerbang kota, kita juga tidak akan bisa masuk ke dalam kerajaan-Nya, kalau kita tidak menolak “kekayaan” berupa “kesombongan” atau “kebanggaan palsu” kita (lihat Mat 19:24). Kalau kita tidak mengakui kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa kita, maka kita pun akan berjalan dalam kegelapan rohani (Mat 6:23), dan kita tidak akan mampu menolong para saudari dan saudara kita yang patut ditolong (lihat Mat 7:5).
Alasan sesungguhnya mengapa Yesus sangat menginginkan kita menjadi rendah hati adalah karena kita juga penting! Ia mempunyai suatu pekerjaan penting untuk kita lakukan. Rasul Paulus menulis, “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1:5), sehingga ……“boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya” (Ef 1:12). Apabila kita merangkul kerendahan-hati Yesus, maka kita akan mencerminkan rahmat-Nya dan menjadi bejana-bejana kuasa-Nya. Apabila kita memuji-muji dan menyembah Yesus dengan ketulusan hati, maka Dia pun akan memenuhi diri kita dengan cintakasih-Nya dan akan menarik orang-orang kepada-Nya melalui diri kita. Ganjaran terbesar bagi kita bukanlah memperoleh pengakuan dunia, melainkan untuk “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (Mzm 91:1), untuk mengenal dan mengalami cintakasih-Nya, serta mensyeringkan cintakasih-Nya itu dengan orang-orang lain.
DOA: Tuhan Yesus, aku datang ke hadapan hadirat-Mu sebagai apa adanya diriku, tidak sebagaimana orang-orang lain memandang diriku. Tolonglah aku untuk mengenali serta mengakui kebesaran-Mu, sehingga Engkau menjadi semakin besar, tetapi aku menjadi semakin kecil. Amin.
Sumber :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan