(Bacaan Pertama
Misa, Peringatan S. Ireneus, Uskup-Martir – Jumat, 28 Juni 2013)
Abraham_praying_C-434Ketika
Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN (YHWH) menampakkan diri
kepada Abram dan berfirman kepadanya: “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di
hadapan-Ku dengan tidak bercela.”
Lagi firman Allah
kepada Abraham: “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan
keturunanmu turun-temurun. Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang,
perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di
antara kamu harus disunat …”
Selanjutnya Allah
berfirman kepada Abraham: “Tentang isterimu Sarai, janganlah engkau menyebut
dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari
padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku
akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja
bangsa-bangsa akan lahir dari padanya.” Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa
serta berkata dalam hatinya: “Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus
tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan
puluh tahun itu melahirkan seorang anak?” Dan Abraham berkata kepada Allah:
“Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!” Tetapi Allah
berfirman: “Tidak, melainkan isterimu Saralah yang akan melahirkan anak
laki-laki bagimu, dan engkau akan menami dia Ishak, dan Aku akan mengadakan
perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya.
Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat
beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku
akan membuatnya menjadi bangsa yang besar. Tetapi perjanjian-Ku akan Kuadakan
dengan Ishak, yang akan dilahirkan Sara bagimu tahun yang akan datang pada
waktu seperti ini juga.” Setelah selesai berfirman kepada Abraham, naiklah
Allah meninggalkan Abraham. (Kej 17:1,9-10,15-22)
Bacaan Pertama
alternatif: 2Tim 2:22b-26; Mazmur Tanggapan: Mzm 128:1-5; Bacaan Injil: Mat
8:1-4
Sungguh suatu momen
sangat istimewa dalam kehidupan Abraham! TUHAN (YHWH), Allah, telah membuat
perjanjian – suatu ikatan yang mendalam dan kekal – dengan Abraham di mana Dia
menjanjikan turunan kepadanya dan tanah yang akan menjadi miliknya. Sekarang,
Allah memberi perintah kepada Abraham: “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah
di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Abraham mendapat kehormatan
untuk hidup di hadapan hadirat Allah. Ia disenangi oleh Allah di atas
orang-orang lain untuk menerima perwahyuan ini, yaitu bahwa hasrat penuh kasih
Allah adalah agar manusia tinggal/berdiam bersama dengan diri-Nya.
Namun demikian,
kelihatannya Abraham belum sepenuhnya memahami karunia Allah. Ketika Allah
mendeklarasikan bahwa Dia akan menganugerahkan seorang anak laki-laki kepada
Abraham dan Sara – suatu karunia yang tentunya merupakan sebuah mukjizat
apabila kita mempertimbangkan usia kedua orang itu – Abraham kelihatannya
bersikap skeptis (lihat Kej 17:17). Ia mengatakan kepada Allah bahwa dirinya
puas dengan Ismael, puteranya dari perkawinanannya dengan hamba perempuan Sara
yang bernama Hagar (Kej 17:18; baca: Kej 16:1-16). Kelihatannya di sini Abraham
memandang rendah kemampuan Allah untuk memenuhi janji-Nya akan seorang anak
laki-laki melalui sarana ilahi. Abraham ternyata berhenti pada titik yang
dimungkinkan pada tingkat pemikiran manusiawi saja.
Bukankah kita (anda
dan saya) juga sering menunjukkan sikap yang sama? Kita tahu bahwa kita adalah
anak-anak Allah, yang ditebus oleh Kristus, dipisahkan dari yang lain-lain oleh
Roh Kudus yang berdiam dalam diri kita. Namun, melalui ketiadaan rasa percaya,
sinisme, atau iman yang tidak maju-maju (stagnant), kita membatasi ekspektasi
kita akan kasih dan kebaikan Allah yang tanpa batas itu sehingga dengan demikian
menghilangkan identitas kita sebagai anak-anak-Nya. Marilah sekarang kita
bertanya kepada diri kita sendiri: Ketika kita mendengar janji-janji Allah
dalam Kitab Suci atau membaca tentang mukjizat-mukjizat yang dibuat Yesus,
apakah kita bereaksi dengan mengatakan bahwa semua itu “bukan untuk aku”, atau
“kalaupun untuk aku … bukan untuk hari ini”? Apabila Roh Kudus mengungkapkan
pola-pola dosa yang sudah lama mengendap dalam diri kita atau memori-memori
yang menyakitkan hati dan tentunya membutuhkan kesembuhan, apakah kita
membiarkan diri kita tetap hidup dengan memendam akar kepahitan daripada pergi
menghadap Kristus agar Ia menyembuhkan dan mengubah kita? Jikalau kita melihat
anggota keluarga kita atau sahabat kita yang membutuhkan kesembuhan fisik atau
spiritual, apakah kita menutup diri kita terhadap kemungkinan terjadinya
mukjizat? Kita harus mengakui bahwa kelihatannya kita tidak jarang merasa puas
untuk hidup kurang daripada yang Allah ingin lakukan bagi kita.
Kita tidak pernah
boleh lupa bahwa Injil adalah pengumuman tentang kedatangan Allah yang penuh
kuat-kuasa dan belas kasih. Yesus sendiri telah memenangkan pengampunan dan
penebusan kita dari kuasa kejahatan (si jahat). Kita tidak lagi perlu ditindih
oleh rasa bersalah atau rasa putus asa apabila menghadapi dosa atau
penderitaan. Yesus telah mati dan bangkit guna menawarkan kepada kita
penyembuhan, pelepasan (pembebasan), rekonsiliasi, kuat-kuasa, dan sukacita.
Marilah kita tidak berpengharapan kurang dari semua itu.
DOA: Bapa surgawi,
ampunilah aku karena aku sering meminimalisir hidup yang Engkau telah janjikan
kepadaku. Perkenankanlah aku berjalan di dalam kehadiran-Mu dan menerima
rahmat-Mu, sehingga dengan demikian aku akan menjadi seorang saksi-Mu yang
hidup bagi dunia di sekelilingku. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan