( Bacaan Kedua Misa, HARI RAYA S. YUSUF, SUAMI SP. MARIA – Senin 19-3-12 )
Sebab janji kepada Abraham dan keturunannya bahwa ia akan memiliki dunia, tidak berdasarkan hukum Taurat tetapi berdasarkan pembenaran melalui iman.
Karena itu, janji tersebut berdasarkan iman supaya sesuai dengan anugerah, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham, bukan hanya bagi mereka yang hidup dari hukum Taurat, tetapi juga bagi mereka yang hidup dari iman Abraham. Sebab Abraham adalah bapak kita semua, – seperti ada tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapak banyak bangsa” – di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada. Sebab sekali pun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya bahwa ia akan menjadi bapak banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan, “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Rm 4:13,16-18)
Bacaan Pertama: 2Sam 7:4-5a, 12-14a,16; Mazmur Tanggapan: Mzm 89:2-5,27,29; Bacaan Injil: Mat 1:16,18-21,24a atau Luk 2:41-51a
Yusuf percaya kepada Allah, sebagaimana Abraham sebelum dia. Santo Paulus menulis tentang iman dan pengharapan Abraham seperti berikut: “Sekali pun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya bahwa ia akan menjadi bapak banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan, ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu’” (Rm 4:18). Yusuf juga tidak mempunyai dasar untuk berharap, namun seperti Abraham ia tetap berharap juga.
Marilah kita merenungkan situasi yang dihadapi Yusuf sekitar 2.000 tahun lalu. Dia telah dipertunangkan dengan Maria. Hal ini merupakan persetujuan yang mengikat antara mereka berdua untuk menikah. Namun kemudian ternyata Maria ditemukan telah mengandung, “sebelum mereka hidup sebagai suami istri” (Mat 1:18). Sesuai dengan hukum yang berlaku, Maria dapat dirajam dengan lemparan-lemparan batu sampai mati atau dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang telah menidurinya. Dalam dua kemungkinan itu hukum mengharapkan Yusuf untuk mematahkan persetujuannya dengan Maria dan melepaskan dia.
Namun, seperti Abraham, Yusuf juga percaya kepada Allah – Allah yang membangkitkan generasi-generasi dan yang mendirikan kerajaan-kerajaan (lihat 2Sam 7:13,16). Iman Yusuf berakar dalam Dia yang telah membangun kasih-setia-Nya untuk selama-lamanya; yang kesetiaan-Nya tegak seperti langit (lihat Mzm 89:2). Oleh karena itu, ketika malaikat Tuhan memberitahukan kepadanya untuk menikahi Maria dan bahwa dia sedang mengandung Mesias dari Allah (Mat 1:20-21), Yusuf pun percaya dan mengambil Maria sebagai istrinya.
Akan mampukah Yusus melakukan hal ini berdasarkan kemampuan manusiawi semata? Iman seperti yang ditunjukkan oleh Yusuf hanya datang sebagai anugerah Allah. Jadi, cerita mengenai Yusuf merupakan highlights dari rahmat Allah yang penuh kuasa dan keajaiban, dipandang dari segala sudut. Allah memanggil Yusuf untuk menjadi suami Maria dan ayah asuh sang Mesias. Dan Allah memberikan kepada Yusuf rahmat yang diperlukan untuk memenuhi panggilan-Nya dan mengambil tempat-Nya dalam pemenuhan rencana-rencana Allah.
Apabila kita mengkontemplasikan Maria dan Yusuf, kita pun pada suatu titik akan melihat bahwa kita sendiri juga dilingkupi oleh rahmat Allah. Oleh rahmat, Putera Allah dengan kebebasan penuh datang ke dunia untuk ikut ambil bagian dalam kemanusiaan kita. Oleh rahmat, seperti juga Maria dan Yusuf, kita pun dimampukan untuk menaruh kehidupan kita di tangan-tangan kasih Yesus. Oleh rahmat, surga pun terbuka dan kita dapat mengalami kasih Allah yang menyelamatkan. Allah telah berbuat begitu banyak bagi kita! Bagaimana seharusnya kita menanggapi semuanya itu? Untuk itu, baiklah kita meneladan Yusuf, dalam hal imannya, kepercayaannya, dan ketaatannya, bahkan ketika panggilan itu sedemikian sulit. Allah terus berbelas kasih. Ia terus mencurahkan rahmat-Nya atas diri kita.
DOA: Bapa surgawi, terima kasih penuh syukur kuhaturkan kepada-Mu karena Engkau telah memanggilku ke dalam kehidupan-Mu melalui Putera-Mu dan memberikan kepadaku kemampuan untuk percaya kepada-Nya. Bapa, Engkau tahu betapa lemah imanku dan bagaimana aku dapat menjadi ragu-ragu dalam menanggapi panggilan-Mu. Bapa, aku percaya, namun tolonglah ketidakpercayaanku. Amin.
Sdr. F.X. Indrapradja, OF
Tiada ulasan:
Catat Ulasan