( Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Pekan II Prapaskah, Sabtu 10-3-12 )
Bacaan Pertama: Mi 7:14-15,18-20; Mazmur Antar-bacaan: Mzm 103:1-4.9-12Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, semuanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Lalu bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya, “Orang ini menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. Lalu Ia menyampaikan perumpamaan ini kepada mereka, “Ada seseorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh
bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang warga negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Lalu bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Ambillah anak lembu yang gemuk itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Lalu mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar suara musik dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu yang gemuk, karena ia mendapatnya kembali dalam keadaan sehat. Anak sulung itu marah ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan membujuknya. Tetapi ia menjawab ayahnya, Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala milikku adalah milikmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk 15:1-3,11-32).
Bacalah dengan seksama “Perumpamaan tentang Anak yang Hilang” di atas sekali lagi walaupun anda sudah sangat familiar dengan perumpamaan tersebut, lalu bayangkanlah dirimu sebagai salah seorang “karakter” dalam kisah itu – barangkali sebagai seorang hamba/pelayan yang bekerja dalam rumah tangga sang ayah. Anda berada di dekat TKP pada saat si anak bungsu menuntut bagian warisan dari sang ayah, sehingga dia dapat meninggalkan rumah. Anda memang kaget melihat bagaimana si anak bungsu itu tega-teganya meminta hal seperti itu kepada ayahnya. Terasa ada rasa kurang hormat di pihak si anak bungsu itu. Gambaran saat perpisahan mereka tetap ada dalam hati anda untuk jangka waktu yang lama.
Beberapa bulan setelah itu, anda sedang berada bersama sang tuan rumah ketika dia melihat anak bungsunya dari kejauhan, lalu berlari mendapatkan anak bungsunya itu dan merangkul serta menciumnya. Walaupun baju anak itu compang-camping tak keruan dan memancarkan aroma yang tidak sedap, sang ayah menangis haru dan penuh sukacita selagi dia merangkul si anak bungsu. Anda mendengar si anak bungsu mengaku kepada sang ayah, bahwa dirinya telah berdosa dan tidak layak disebut anak oleh sang ayah. Apakah anda berpikir, bahwa anak bungsu ini bahkan tidak pantas menjadi orang upahan seperti diri anda? Atau anda merasa lega, bahwa si anak bungsu sudah kembali baik-baik ke rumah?
Cobalah menggambarkan sukacita dan rasa lega sebagaimana kelihatan pada wajah sang ayah. Ia begitu berbahagia, sehingga langsung saja dia mengajak orang-orangnya untuk menyiapkan perjamuan besar-besaran dengan menyembelih lembu, dan kemudian merayakannya bersama seluruh isi rumah. Selagi sang ayah membawa anaknya yang sudah bertobat itu ke dalam rumah, dan dia memerintahkan anda menyiapkan air untuk mandi si anak bungsu dan mencari pakaian yang terbaik baginya; apakah anda pikir anda akan tersenyum kepada si anak bungsu (tanpa terpaksa) seperti yang telah ditunjukkan oleh ayahnya? Kemudian ketika anda pergi ke luar untuk membuang air kotor bekas mandi si anak bungsu, anda berpapasan dengan anak yang sulung. Si anak sulung itu menjadi marah ketika dia mendengar tentang kembalinya adik laki-lakinya dan diselenggarakannya pesta makan-minum untuk kehormatan si adik. Anda tentu memahami kemarahan si anak sulung, namun anda pun mulai mengerti pengampunan sang ayah. Anda masuk ke ruang pesta perjamuan dan membisikkan informasi penting kepada sang ayah, yaitu bahwa anak sulungnya marah besar terhadap segala sesuatu yang telah terjadi dan tengah berlangsung pada saat itu.
Sang ayah langsung pergi ke luar dan merangkul anak sulungnya. Dapatkah anda melihat kasih yang terpancar keluar dari wajah sang ayah? Bagaimana kiranya adegan terakhir ini menyentuh anda? Sampai meluluhkan hati andakah?
Kita semua merobek-robek atau mencabik-cabik hati Bapa kita di surga pada saat kita pergi meninggalkan Dia seperti yang dilakukan si anak bungsu. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah kita mengatakan kepada Bapa surgawi bahwa tidak mungkinlah kita diampuni karena sudah sedemikian “gilanya” terjerumus ke dalam kedosaan. Ataukah kita memperkenankan Dia merangkul kita erat-erat dengan belas kasih-Nya? Hidup ini adalah sebuah pilihan – LIFE IS A CHOICE !!!
DOA: Bapa surgawi, terima kasih penuh syukur kuhaturkan kepada-Mu untuk kasih-Mu kepadaku yang tanpa syarat dan juga pengampunan-Mu atas segala dosa-dosaku, baik melalui pikiran, perbuatan, perbuatan maupun kelalaian – teristimewa kelalaian untuk mengasihi sesamaku tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada: status sosial-ekonomi, ras/bangsa, suku, bahasa, agama. Apabila aku berada dalam keadaan yang tidak benar di mata-Mu, tolonglah aku agar mau dan mampu berlari mendapati-Mu dan jatuh ke dalam pelukan-Mu yang penuh kasih dan pengampunan. Amin.
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan