(Bacaan Injil Misa
Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XVII – Selasa, 30 Juli 2013)
Sesudah itu Yesus meninggalkan orang banyak itu, lalu pulang.
Murid-murid-Nya datang dan berkata kepada-Nya, “Jelaskanlah kepada kami
perumpamaan tentang lalang di ladang itu.” Ia menjawab, “Orang yang menaburkan
benih baik ialah Anak Manusia; ladang ialah dunia. Benih yang baik itu
anak-anak Kerajaan sedangkan lalang anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan
benih lalang ialah Iblis. Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu
malaikat. Jadi, seperti lalang itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian
juga pada akhir zaman. Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan
mereka akan mengumpulkan segala sesuatu yang menyebabkan orang berdosa dan
semua orang yang melakukan kejahatan dari dalam Kerajaan-Nya. Semuanya akan
dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan
gigi. Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam
Kerajaan Bapa mereka. Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mat
13:36-43)
Bacaan Pertama: Kel
33:7-11;34:5-9,28; Mazmur Tanggapan: Mzm 103:6-13
Banyak dari
perumpamaan-perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Surga menyangkut persoalan
“kebaikan dan kejahatan”, dan bagaimana Allah ingin agar keduanya (baik dan
jahat) ada dalam kehidupan kita, namun pada akhirnya harus dipisahkan. Dalam
perumpamaan ini gandum harus diselamatkan karena satu-satunya yang bernilai. Di
lain pihak lalang harus dicabut dan dibakar. Waktu panen/tuain adalah waktu
untuk mengambil keputusan, waktu penghakiman, pada waktu mana yang baik harus
dipisahkan dari yang jahat.
Dapatkah kita
memandang masalah ini secara sempit: gandum itu adalah orang-orang baik,
sedangkan lalang adalah orang-orang jahat? Apakah pandangan ini sejalan dengan
kebanyakan pengalaman kita? Apakah memang kita menemukan orang-orang yang
sepenuhnya baik dan di sisi lain orang-orang yang sepenuhnya jahat? Atau,
apakah kita melihat dalam diri kita masing-masing, bahwa kita adalah
kedua-duanya: gandum dan lalang, baik dan jahat? Kalau memang demikian halnya,
maka cepat atau lambat – sebelum kita menikmati kebahagiaan sejati dan ganjaran
surgawi – maka semua lalang atau apa saja yang jahat harus dicabut dari diri
kita dan kemudian dibakar habis!
Sayangnya, memang kita masing-masing bertumbuh sebagai
tumbuhan mendua, tumbuhan ganda yang terdiri dari gandum yang baik yang
bercampur dengan lalang yang jahat. Lalang harus dibakar sebelum gandum itu
menjadi cukup baik agar dapat disimpan dalam lumbung kebahagiaan di masa
mendatang. Itulah sebabnya mengapa Allah memperkenankan kita menderita, itulah
sebabnya mengapa kita harus banyak berkorban, menyangkal diri kita, dan
memperbaiki diri dari berbagai kesalahan yang kita buat, termasuk kelalaian
kita untuk mematuhi perintah-perintah-Nya. Lalang bertumbuh dan berkembang-biak
dalam kebun atau ladang yang tak terurus. Jadi, lalang yang dimaksudkan oleh
Yesus dalam perumpamaan ini adalah kejahatan-kejahatan yang bertumbuh-kembang
dalam sebuah jiwa yang tak terurus, tak karuan arahnya.
Satu lagi realitas
yang kita lihat: banyak dari kita, sayangnya tidak menyelesaikan pekerjaan
memotong lalang sebelum Allah memanggil kita dan berkata: “Waktumu sudah
habis!” Itulah sebabnya kita percaya akan keberadaan purgatorio – api pencucian
– sebuah “tempat” pemurnian. Kita berharap akan adanya sebuah cara di mana sisa
lalang yang belum dicabut dapat dibakar habis, agar hanya gandum yang baik
sajalah yang tertinggal. Kebahagiaan sempurna adalah bagi orang-orang yang
sempurna, sehingga dengan demikian tidak tersisa apa pun yang jahat.
Jadi, ada kebutuhan
yang mendesak bagi kita untuk melakukan kebaikan; agar kita dapat mengalami
proses pemurnian itu sebanyak mungkin selama kita masih hidup di dunia. Allah
menciptakan kita untuk saling menolong. Orang-orang lain juga adalah anak-anak
Allah, jadi mereka adalah saudari-saudara kita yang harus ditolong ketika
mereka mengalami kesusahan. “Model” sempurna bagaimana caranya melakukan
kebaikan adalah Yesus Kristus sendiri, Saudara tua kita semua. Dengan demikian
janganlah kita pernah lupa – teristimewa pada waktu kita berada dalam posisi
nyaman – untuk bermurah hati, lemah-lembut, dan tidak “mikiran diri sendiri
melulu”. Janganlah kita lupa juga untuk mendoakan orang-orang lain …… termasuk
mereka yang telah mendzolimi diri kita. Hidup yang terselamatkan lewat
perbuatan baik kita boleh jadi adalah hidup kita sendiri!
DOA: Tuhan Yesus,
selagi kami berjalan kembali kepada-Mu, sembuhkanlah hati kami dan
perbaharuilah hidup kami. Terpujilah nama-Mu selama-lamanya. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan