( Bacaan Pertama
Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXV – Jumat, 28 September 2012 )
Keluarga Fransiskan
Kapusin: Peringatan B. Inosensius dr Bertio, Imam
Untuk segala
sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk
lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk
mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan;
ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis,
ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari; ada
waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk
mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu
untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu
untuk berdiam-diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada
waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. Apakah
untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan brerjerih payah? Aku telah
melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk
melelahkan dirinya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia
memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami
pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. (Pkh 3:1-11)
Mazmur Tanggapan:
Mzm 144:1-4; Bacaan Injil: Luk 9:19-22
“Untuk segala
sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh 3:1).
Penulis Kitab
Pengkhotbah (Ecclesiastes; Qoheleth) memiliki kepekaan mendalam terhadap siklus
ritmis dari kehidupan, dan meditasinya atas simetri dari musim-musim
(masa-masa), membuat dia mempunyai rasa ketiadaan kepenuhan. Turun-naiknya
siklus yang memperkenankan adanya “waktu untuk tertawa” dan “waktu untuk
menangis”, “waktu untuk mengasihi” dan “waktu untuk membenci” mempresentasikan
suatu sistem tertutup yang tidak dapat dipecahkan (Pkh 3:4,8). Pengamatannya
atas hal-hal fisik menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan tujuan
spiritual: Mengapa harus ada suatu masa yang tepat untuk perang, untuk membunuh
atau untuk meninggal dunia? Apakah tidak ada lagi yang eksis selain
peristiwa-peristiwa yang terjadi secara acak? Bilamana siklus itu tidak dapat
dihindari, kalau ketidakadilan dan kejahatan terjadi tanpa pandang bulu, maka
pesan apakah yang ingin disampaikan oleh hal-hal itu tentang alam semesta atau
tentang Allah?
Sebagai seorang
pencari iman, penulis Kitab Pengkhotbah tidak mau begitu saja menerima
penjelasan-penjelasan yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
provokatif, dan ketulusan dan kejujuran dirinya masih menimbulkan suatu
tanggapan yang simpatik berabad-abad setelah itu. Meditasinya atas waktu dan
eksistensi masih saja mempesona para pembaca pada zaman modern. Saya masih
ingat, bahwa sekian tahun lalu saya – sebagai dosen tamu – menggunakan bacaan
ini ketika berbicara mengenai peranan perubahan dalam penyusunan strategi
perusahaan, dalam mata kuliah “Strategi Bisnis” yang ditangani seorang
rekan-dosen di FISIP-UI. Ada juga lagu-lagu (Ingatkah anda akan lagu tahun
1960’an: “For everything there is a season!”), dan novel-novel populer yang
menggemakan kata-kata sang penulis, dan kita semua merasakan adanya tarikan
kekekalan dalam hati kita (Pkh 3:11).
Secara intuitif
sang penulis mengetahui seharusnya ada sesuatu yang lebih berkaitan dengan
eksistensi daripada sekadar siklus tanpa-akhir dari “mencari” dan “kehilangan”.
Ia mengerti bahwa masa-masa kehidupan yang bersifat variabel selalu berada di
bawah pengendalian ilahi. Pengamat yang terus-terang ini menyimpulkan bahwa
Allah melakukan hal ini agar semua harus berdiri penuh takjub di hadapan
hadirat-Nya (Pkb 3:14).
Perbandingan
menarik dapat kita buat antara meditasi sang penulis dengan kata-kata yang
ditulis oleh Santo Paulus: “… aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala
keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam
setiap keadaan dan dalam segala hal tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia
bagiku; baik dalam keadaan kenyang, maupun dalam keadaan lapar, baik dalam
keadaan berkelimpahan maupun dalam keadaan berkekurangan. Segala hal dapat
kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:11-13). Seperti
sang penulis, Paulus melihat adanya simetri kehidupan. Namun yang kelihatan
sebagai siklus tertutup dari eksistensi makhluk hidup telah dicerai-beraikan
oleh Allah yang menjadi manusia, Yesus Kristus. Paulus dapat “bersukacita
senantiasa dalam Tuhan”, karena dia memiliki jaminan penuh berkat yang sekarang
tersedia bagi semua orang yang percaya dalam Kristus (Flp 4:4).
DOA: Tuhan Allah,
ajarlah kami agar dapat mengenali tangan-tangan-Mu dalam peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan kami. Buatlah kami kaya dengan hikmat-Mu selagi
Engkau membimbing kami melalui berbagai pencobaan dan sukacita kami, dengan
demikian membawa kami lebih dekat lagi kepada persatuan akhir dengan-Mu. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan