– Jumat, 7 September 2012 )
Orang-orang Farisi
itu berkata lagi kepada Yesus, “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan
sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan
dan minum.” Jawab Yesus kepada mereka, “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki
disuruh berpuasa pada waktu mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang
waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka
akan berpuasa.”
Ia menyampaikan
juga suatu perumpamaan kepada mereka, “Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain
dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian,
yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain
penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun
menuang anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian,
anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang
dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam
kantong yang baru pula. Tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin
minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.” (Luk
5:33-39)
Bacaan Pertama:
1Kor 4:1-5; Mazmur Tanggapan: Mzm 37:3-6,27-28,39-40
Dalam masyarakat
Israel kuno, berpuasa yang disertai doa dan pemberian sedekah merupakan
karakteristik dari orang-orang yang paling saleh (lihat Dan 9:3). Sejarawan
Romawi Tacitus menulis bahwa puasa adalah tanda dari orang-orang Yahudi
(Histories, 4). Para pengikut Yohanes Pembaptis jelas mengikuti aturan puasa
ini, demikian pula orang-orang Farisi (Luk 5:33). Orang-orang Farisi bertanya
kepada Yesus, mengapa para murid-Nya tidak berpuasa?
Jawaban Yesus
mengidentifikasikan diri-Nya sebagai sang mempelai laki-laki, sebuah lambang
yang mengandung makna teramat signifikan bagi umat Israel, baik dilihat dari
sudut alkitabiah maupun budaya. Tulisan-tulisan profetis dalam Kitab Suci
Ibrani (Perjanjian Lama) sering membuat acuan kepada persatuan Allah dengan
umat-Nya sebagai hubungan perkawinan (lihat Hos 2:19-20 dan Yes 54:5-8). Orang-orang
Yahudi menghargai benar seorang mempelai laki-laki karena Yudaisme bertumpu
pada kehidupan keluarga yang kokoh, di mana seorang bapa keluarga berfungsi
sebagai instruktur pelajaran agama yang utama dalam keluarga. Delapan abad
setelah kehidupan Yesus, seorang rabi Yahudi terkenal, Rabi Eliezer, menyatakan
bahwa seorang mempelai laki-laki harus diperlakukan sebagai seorang raja. Pada
masa Yesus dari Nazaret hidup di muka bumi ini dan mewartakan kerajaan Allah
dan menyerukan pertobatan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, Ia
sebenarnya memainkan peranan terutama sebagai seorang guru agama dan membawa
sukacita kepada keluarga-Nya yang terdiri dari para murid. Sukacita ini akan
berkelanjutan sampai sang mempelai laki-laki meninggalkan mereka, suatu acuan
pada perpisahan Yesus secara fisik karena kematian, kebangkitan dan
kenaikan-Nya ke surga (Luk 5:35).
Kemudian Yesus
melanjutkan pengajaran-Nya dengan menyampaikan dua buah perumpamaan: “Menambal
baju yang tua dengan kain dari baju yang baru” dan “menuang anggur yang baru ke
dalam kantong kulit yang tua” (Luk 5:36-38). Dua perumpamaan ini menunjukkan
nilai dan kelengkapan dari ajaran Yesus, bahkan sementara Dia mengakui nilai
luhur dari karya Allah di Israel. Ajaran Yesus tidak boleh direduksi sebagai
kain tambalan baru pada baju yang lama, dan baju yang lama itu (Israel) pun
tidak boleh dibuang begitu saja. Demikian pula ajaran Yesus tidak boleh
ditempatkan dalam batasan/kendala kantong anggur yang lama. Dan sementara
orang-orang lebih menyukai anggur yang lama (Luk 5:39), mereka tidak boleh
memandang anggur yang baru sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja.
Apabila kita
mengakui karya Allah di Israel dan dalam diri Yesus, maka kita memperoleh
pandangan sekilas tentang misteri yang ada dalam relasi antara Israel dan
Gereja. Dalam ceramahnya di depan komunitas Yahudi di Mainz, Jerman pada tahun
1980, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Allah tidak pernah membatalkan
Perjanjian Lama (Rm 11:29). Kemudian pada tahun 1986, pada waktu memberi
ceramah di depan komunitas Yahudi di Australia, Paus Yohanes Paulus II
mengatakan: “Adalah ajaran Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) dan Kitab Suci
Kristiani, bahwa orang-orang Yahudi adalah kekasih Allah, yang telah memanggil
mereka dengan panggilan yang tak dapat diubah.”
DOA: Allah, Bapa
yang Mahapengasih, dari abad ke abad Engkau menghimpun sebuah umat bagi
diri-Mu. Dengan demikian, walaupun kami sangat bergembira penuh syukur atas
karya penyelamatan-Mu melalui Yesus Kristus, ingatkanlah kami selalu bahwa
karya penyelamatan-Mu itu dimulai dalam dan melalui umat Israel yang sangat
Kaukasihi. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan