Lalu
seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab
dan tahu bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang
kepada-Nya dan bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?” Jawab Yesus,
“Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah
kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
Perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini.” Lalu
kata ahli Taurat itu kepada Yesus, “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu bahwa
Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan
segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan
juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada
semua kurban bakaran dan kurban lainnya.” Yesus melihat bagaimana orang itu
menjawab dengan bijaksana, dan Ia berkata kepadanya, “Engkau tidak jauh dari
Kerajaan Allah!” Sesudah itu, seorang pun tidak berani lagi menanyakan sesuatu
kepada Yesus. (Mrk 12:28-34)
Bacaan
Pertama: Hos 14:2-10; Mazmur Tanggapan: Mzm 81:6-11,14,17
Kelihatannya
ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus dalam bacaan Injil kali ini tidak
tergolong mayoritas para pemuka agama Yahudi yang ingin mempermalukan,
mencelakakan, malah menghabiskan Yesus. Ia melontarkan pertanyaan yang sama
(baca Luk 10:25 dsj.), namun terkesan tulus: “Perintah manakah yang paling
utama?” (12:28). Kebanyakan ahli Taurat memandang Yesus sebagai sebagai seorang
rabi yang merupakan saingan, … sebagai ancaman! Lain halnya dengan ahli Taurat
yang satu ini: dia memandang Yesus sebagai suatu kesempatan untuk belajar. Oleh
karena itu secara sopan dia mengajukan sebuah pertanyaan sederhana yang
mencerminkan suatu keprihatinan yang tertanam dalam-dalam di setiap hati anak
manusia.
Pertanyaan
ahli Taurat ini mencerminkan sebuah hati yang mencari – kalau mungkin, untuk
memahaminya – suatu prinsip tunggal sederhana yang mendasari kompleksitas hukum
yang berlaku. Jawaban Yesus mengacu pada apa yang tertulis dalam Ul 6:4-5 dan
Im 19:18. Dan, ahli Taurat itu menanggapi jawaban Yesus itu dengan positif:
“Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang
lain kecuali Dia. Memang mengasihi dia dengan segenap hati dan dengan segenap
pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia
seperti diri sendiri jauh lebih utama daripada semua kurban bakaran dan kurban
lainnya” (Luk 12:32-33). Yesus memuji ahli Taurat untuk pemahamannya bahwa
kasih adalah perintah Allah yang paling penting. Mengasihi Allah dan mengasihi
sesama – ini adalah perintah paling utama, kata Yesus kepadanya. Dan orang itu
pun setuju sepenuh hatinya dengan jawaban Yesus itu.
Namun
mengasihi Allah dan sesama tidaklah semudah kedengarannya. Kasih yang sejati
adalah sebuah tantangan bagi orang-orang pada umumnya, teristimewa mereka yang
tergolong menengah ke atas dan tinggal di kota-kota besar. Mereka memiliki
banyak kenikmatan materiil, dan hal ini cenderung membuat orang menjadi semakin
serakah, semakin tamak. Mereka pun tidak secara otomatis merasakan adanya
kebutuhan besar akan satu sama lain. Pengaruh iklan-iklan di media massa,
misalnya televisi, juga ada (kalau saya tidak katakan banyak) yang bersifat
negatif. Ujung-ujungnya membuat orang-orang menjadi ingin mendapat/memperoleh
saja daripada memberi. Dengan demikian cinta atau kasih hanya menjadi daya tarik
pada tingkat permukaan saja yang tidak ada hubungannya dengan kasih yang
sejati.
Sungguh
merupakan suatu tragedi, apabila seseorang memiliki sebuah rumah indah yang
dilengkapi dengan dengan segala aksesorinya seperti mebel-mebel mahal, televisi
dengan layar lebar di ruang keluarga, beberapa buah mobil dlsb., namun rumah
itu bukanlah rumah yang membahagiakan para penghuninya …… karena kasih-sejati
tidak ada dalam rumah itu. Tidak ada kasih-sejati yang tidak terbuka, penuh
kemurahan-hati, penuh pengorbanan dan berdisiplin. Allah adalah kasih (1Yoh
4:8,16), dan hanya mereka yang hidup dalam kasih sejati dapat hidup dalam
Allah. Kasih yang sejati mengalir ke luar dari diri seorang pribadi kepada
orang-orang lain. Apabila kasih yang sejati tidak bertumbuh secara aktif dan
hidup subur dalam keluarga, bagaimana kasih sejati itu mengalir ke luar kepada
orang-orang lain? Ini adalah tanggung-jawab pertama dari para orangtua: untuk
mengajar kasih sejati kepada anak-anak mereka, dan mereka sendiri harus
memiliki kasih sejati tersebut. Para orangtua itu harus belajar mengasihi agar
dapat belajar tentang Allah, karena Allah adalah kasih.
DOA:
Bapa surgawi, gerakkanlah aku dengan kasih-Mu untuk mengasihi-Mu dan sesamaku
dengan kasih-Mu yang sejati. Teristimewa pada masa Prapaskah ini, tolonglah aku
agar dapat melihat hidup imanku sebagai suatu relasi, bukan sekadar suatu
tugas. Amin.
Sdr.
F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan