Oleh karena itu, hendaklah para anggota Ordo
Fransiskan Sekular mencari Diri Kristus, yang hidup dan berkarya di dalam
Gereja dan di dalam perayaan-perayaan liturgis. Inspirasi mereka dan pedoman
penghayatannya terhadap Ekaristi hendaknya iman kepercayaan Fransiskus yang
pernah berkata “Dari Putera Allah yang mahatinggi sendiri tidak kulihat sesuatu
pun secara badaniah di dunia selain Tubuh dan Darah-Nya yang mahakudus”.
(Anggaran Dasar OFS, Pasal II Artikel 5)
Ekaristi adalah satu dari lima pilar penunjang
spiritualitas Fransiskan, empat lainnya adalah Inkarnasi, Sengsara Yesus, Kitab
Suci dan Maria. Ekaristi adalah karunia/anugerah Allah yang terbesar, dalam
arti memperkenankan umat untuk ikut ambil bagian dalam perjamuan untuk makan
tubuh-Nya dan minum darah-Nya. Pendekatan terhadap Ekaristi yang saya usulkan
adalah membayangkan diri kita seperti Simon Petrus yang berkata kepada Yesus
beberapa saat setelah banyak dari murid Yesus pergi meninggalkan-Nya karena
tidak sanggup mendengar ajaran-Nya yang keras: “Tuhan, kepada siapakah kami
akan pergi? Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya
dan tahu bahwa Engkaulah yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:68-69).
MENIMBA DARI KITAB SUCI
Renungkanlah beberapa nas Kitab Suci berikut
ini. Percayakah anda, bahwa “baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat,
maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang.,
atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu
makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam
Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm 8:38-39)? Percayakah anda bahwa jalan menuju
Allah selalu terbuka? Percayakah anda bahwa Roh Kudus “bergabung” dengan anda
pada saat anda berdoa, selalu meyakinkan anda bahwa anda adalah seorang anak
Allah yang sangat dikasihi-Nya (Rm 8:16)? Percayakah anda bahwa Roh Kudus ada
dalam diri anda, menunjukkan kepada anda bagaimana mengasihi Yesus dan
menyenangkan-Nya (Yoh 16:13)? Percayakah anda bahwa Allah ada dalam diri anda,
menolong anda berpikir dan memilih dan bertindak secara benar (Flp 2:13)?
Nas-nas Kitab Suci di atas menunjukkan kepada
kita betapa Allah mengasihi kita. Nas-nas itu menunjukkan bagaimana Allah
secara tetap bekerja untuk kepentingan kita, setiap hari Dia mengirimkan begitu
banyak pemikiran-pemikiran yang mendorong, menyemangati, memberi inspirasi
kepada kita. Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa kerja Allah demi kepentingan
kita.
Menjelang akhir hidup pelayanan-Nya, Yesus
berkata kepada para murid-Nya, “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan
menarik semua orang datang kepada kepada-Ku” (Yoh 12:32). Dalam artian
tertentu, janji ini dipenuhi setiap saat kita menerima Komuni Kudus (Ekaristi).
Bilamana kita makan Roti Kehidupan, Allah Bapa kita menarik kita kepada
Putera-Nya. Bagaimana Yesus menarik kita kepada diri-Nya? Dengan kasih tanpa
syarat, belas kasih (kerahiman) tanpa batas, dan hikmat surgawi.
EMAUS
Perwahyuan (pewahyuan) adalah sepatah kata
yang digunakan untuk menggambarkan karya Allah dalam memberi pencerahan pada
pikiran kita dan memenuhi hati kita. Allah memiliki hasrat untuk memberi makan
kepada kita dengan hikmat-Nya dan rahmat-Nya. Demikian pula hasrat-Nya untuk
menyatakan/mewahyukan diri-Nya kepada kita dapat ditarik kembali ke awal-awal
penciptaan. Peristiwa makan malam bersama di Emaus adalah sebuah contoh yang
baik dalam hal ini.
Kisahnya adalah seperti berikut ini. Dalam
perjalanan dari Yerusalem ke Emaus (berjarak 11 kilometer), Yesus berjalan
bersama dua orang murid, namun mereka tidak sadar bahwa Dia adalah sang Guru
karena mereka tidak mengenali Dia. Hanya setelah Ia melakukan pemecahan roti di
sebuah rumah di Emaus, akhirnya Yesus menyatakan diri-Nya kepada mereka (Luk
24:30-31). Pada awalnya, Yesus berada bersama mereka, namun tetap tersembunyi:
tak dapat dikenali. Seringkali, inilah kasusnya dengan kita. Kita mencari
Yesus, namun kita tidak dapat melihat-Nya. Kita mencari Dia, namun kita tidak
dapat menemukan-Nya. Kita mendengarkan sabda-Nya, namun kita tidak dapat
mendengar Dia.
Kedua murid itu mempunyai keragu-raguan
tentang kebangkitan dan Yesus mulai mengkonfrontir keragu-raguan itu. Yesus
menggunakan Kitab Suci – mulai dari Musa – untuk menjelaskan bahwa segala
sesuatu yang ditulis tentang Kristus akan menjadi kenyataan. Selagi Dia
mengajar mereka, Yesus menarik kedua murid itu kepada-Nya. Kedua murid melihat
Yesus, mereka menyentuh-Nya, dan mereka mendengar Dia berbicara/mengajar.
Bahkan hati mereka pun berkobar-kobar ketika Yesus berbicara dengan mereka dan
menerangkan Kitab Suci kepada mereka (Luk 24:32). Namun demikian, mata dua
orang murid itu baru terbuka ketika Yesus memberkati roti dan
memecah-mecahkannya (Luk 24:31).
Yesus ingin mengajar kita semua. Ia ingin
agar segalanya yang telah diajarkan-Nya kepada para rasul dan para murid-Nya
yang awal, juga diajarkan kepada kita, melalui Roh Kudus. Yesus ingin
memberikan kepada kita hikmat rahasia Allah, agar kita dapat memperoleh
“pikiran Kristus” seperti dikatakan Paulus (1Kor 2:16). Kisah Emaus sungguh
menakjubkan, namun tidak kurang menakjubkannya hari ini ketika mata kita dapat
terbuka selagi roti biasa diubah menjadi tubuh Kristus dan dipecah-pecah untuk
dibagikan kepada kita. Santo Fransiskus dari Assisi telah berjumpa dengan
Kristus dalam Ekaristi sehingga dia dapat menulis dalam Wasiat-nya seperti
dikutip dalam Anggaran Dasar OFS di atas (disahkan oleh Paus Paulus VI pada
tahun 1978 dengan Bulla “Seraphicus Patriarca”): “Di dunia ini aku sekali-kali
tidak melihat Putera Allah yang Mahatinggi itu secara jasmaniah, selain tubuh
dan darah-Nya yang mahakudus” (Wasiat, 10).
BEKERJA UNTUK ALLAH
Setelah dikenali oleh kedua murid itu, Yesus
menghilang: “Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Luk 24:31). Kemudian, apa
yang terjadi dengan kedua murid itu? Kita tahu bahwa mereka baru saja melakukan
perjalanan jauh yang penuh dengan pembicaraan yang penuh dengan tantangan pula.
Tentunya mereka letih-lelah. Namun setelah Yesus menyatakan diri-Nya, dua orang
murid itu malah tidak pergi tidur untuk beristirahat. Mereka justru langsung
pergi kembali ke Yerusalem …… di tengah malam buta dan tanpa jaminan keamanan.
Mereka bertemu dengan Simon Petrus dan para rasul/murid yang lain, lalu
menceritakan apa yang terjadi di tengah jalan ke Emaus dan bagaimana mereka
mengenali Yesus pada waktu Dia memecah-mecahkan roti (Luk 24:33-35).
Perjalanan kembali kedua murid di tengah
kegelapan malam itu mengilustrasikan salah satu karya besar dari Ekaristi,
yaitu mendesak dan memberdayakan kita untuk melayani Yesus. Setelah pemecahan
roti di Emaus, kedua murid itu sedemikian penuh dengan sukacita sehingga mereka
merasakan dorongan dan desakan untuk langsung pergi ke Yerusalem dan
menceritakan kepada saudari-saudara mereka apa yang telah mereka alami. Yesus
ingin meyakinkan kita semua bahwa Dia adalah Tuhan yang bangkit – teristimewa
ketika kita menerima Hosti Kudus (Ekaristi). Bilamana mata kita terbuka dan
kita melihat Yesus sebagaimana apa adanya Dia, kita pun dapat merasakan adanya
desakan untuk melayani Dia.
Bilamana kita menerima dan makan daging-Nya
sendiri yang diberikan oleh Yesus (lihat Yoh 6:25-59), maka kita akan merasakan
desakan untuk pergi ke luar dari “zona kenyamanan” kita untuk mensyeringkan
Yesus itu kepada orang-orang lain seturut bimbingan-Nya sendiri. Yesus ingin
agar kita menjumpai berbagai macam orang, tanpa membeda-bedakan – baik miskin
maupun kaya, baik berpendidikan maupun buta huruf, baik muda maupun tua usia.
Ia ingin agar kita membawa setiap orang kepada-Nya, dengan penuh keyakinan bahwa
Dia selalu beserta kita, membimbing kita dan memberdayakan kita, bahkan sampai
akhir zaman (Mat 28:19-20).
MENJADI PENDENGAR YANG BAIK
Marilah kita membayangkan kembali kedua murid
yang sedang dalam perjalanan mereka menuju Emaus dan Yesus (yang telah bangkit)
bergabung dengan mereka. Andaikan Yesus menjelaskan Kitab Suci, namun mereka
tidak tertarik. Mungkin salah seorang dari mereka sangat ingin untuk sampai ke
rumah secepatnya dan yang lainnya sedang memikirkan sebuah tugas pekerjaan yang
belum terselesaikan. Kalau begitu, apakah yang akan terjadi? Peristiwa ini
mungkin tidak akan tercatat dalam Injil Lukas, karena tidak ada sesuatu yang
istimewa telah terjadi.
Apabila kita tidak mendengarkan dengan penuh
perhatian, maka kita tidak akan melihat Allah. Kita tidak akan mampu mengenali
Dia – bahkan setelah kita memakan Roti Kehidupan itu. Jika kita tidak
menghindarkan diri dari distraksi-distraksi (pelanturan-pelanturan), maka kita
mengisi pikiran kita dengan urusan-urusan duniawi, bahkan dengan berbagai
godaan yang datang menyerang. Dengan demikian kita membatasi apa yang ingin
Yesus lakukan melalui diri kita, karena kita tidak menaruh perhatian atas
bagaimana cara tubuh dan darah-Nya dapat mentransformir kita.
Hal negatif ini tidak terjadi pada dua orang
murid yang sedang dalam perjalanan menuju Emaus. Mengapa? Mereka menaruh
perhatian dengan benar, mereka mendengarkan dengan serius dan mereka taat.
Yesus ingin melakukan hal yang sama pada diri kita semua. Ia ingin menyatakan
diri-Nya selagi kita makan Roti Kehidupan, dan Ia ingin melihat kita memberikan
segalanya kepada orang-orang lain yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita.
SANTO THOMAS MORE SANG PENCINTA YESUS DALAM
EKARISTI
Santo Thomas More [1480-1535] yang kita
peringati pada tanggal 22 Juni hari ini bersama Santo [Uskup] John Fisher
adalah martir Inggris pada zaman pemerintahan raja Henry VIII, dan ia adalah
Lord High Chancellor (semacam Perdana Menteri) dalam pemerintahan Inggris.
Devosinya kepada Ekaristi dikenal banyak orang dan karya-karya karitatifnya pun
luar biasa. Kecintaannya kepada Yesus dalam Ekaristi memang dapat dimaklumi
karena petinggi pemerintahan ini adalah seorang anggota Ordo Ketiga Sekular
dari Santo Fransiskus dari Assisi. Thomas More sangat senang apabila dia
berkesempatan membantu dalam perayaan Misa Kudus sebagai seorang pelayan Misa,
walaupun nota bene dia adalah seorang pejabat tinggi negara.
Kritik-kritik tajam dilontarkan oleh
orang-orang yang mengatakan, bahwa sebagai seorang awam tidak mungkinlah bagi
dirinya melaksanakan tugas-tugas dunia yang sedemikian banyak dan kompleksnya,
dan pada saat yang sama menekuni hidup rohani guna mencapai kesucian.
Menanggapi kritik-kritik itu, Thomas More mengatakan bahwa Komuni Kudus-lah
yang membuat dirinya tetap fokus dan untuk meringankan beban-beban
pekerjaannya, dia akan mendekat kepada sang Juruselamat, meminta nasihat dan
pencerahan dari-Nya. Yesus Kristua adalah tempat pelarian sang Perdana Menteri.
Pada suatu hari, ketika Thomas More sedang
menghadiri Misa Kudus, seorang petugas istana raja mendekati dirinya dan
berbisik kepadanya: “Tuanku, Sri Paduka Raja menginginkan agar Tuanku
menghadapnya dengan segera.” Thomas More menjawab: “Aku tidak dapat menghadap
sekarang. Katakanlah kepada Sri Baginda, bahwa aku sedang menghadap seorang
Raja yang lebih besar dari beliau. Begitu tugas-kewajibanku kepada Raja yang
lebih besar ini selesai, aku akan segera menghadap Sri Baginda.” Petugas istana
itu pun pergi dan Thomas More, sang Lord High Chancellor, melanjutkan
doa-doanya dengan khusyuk sampai Misa Kudus berakhir.
Santo Thomas More tetap setia kepada Kristus
dengan cara hidupnya, bukan sekadar lewat kata-katanya. Ia bertindak seperti
apa yang dikerjakan dan diajarkan Yesus (lihat Kis 1:1). Keseluruhan
pribadinya, sikap dan perilakunya menunjukkan bahwa dia adalah milik Kristus.
Dia mengatakan: “Ada banyak orang yang membeli neraka dengan upaya yang begitu
banyak, padahal dengan upaya yang separuh banyaknya sudah bagi mereka untuk
memperoleh surga.” Seperti dikatakan di atas, Thomas More juga mengasihi
Kristus lewat devosinya kepada Sakramen Mahakudus, menghadiri Misa Kudus secara
harian dan melayani imam dalam Perayaan Ekaristi, dan tentunya dengan menerima
Komuni Kudus secara teratur. Santo Thomas More berjumpa dengan Yesus dalam Ekaristi
dan dia setia kepada Yesus Kristus lewat kesetiaannya kepada Gereja (lihat Ef
5:25 dsj.). Thomas More tidak mau mundur sedikit pun dalam kesetiaannya kepada
Kristus, sikap dan perilaku ini membawanya ke dalam kegelapan ruang penjara dan
akhirnya kematian sebagai martir Kristus. Inilah “biaya kemuridan” (cost of
discipleship) dalam arti sesungguh-sungguhnya.
CATATAN PENUTUP
Kita sudah mencari Yesus Kristus, dan kita
sudah bertemu dengan Dia dalam Ekaristi. Sebagai catatan penutup, marilah kita
menyinggung sedikit pernyataan bahwa kita semua harus menjadi Ekaristi!
Setiap anggota Gereja adalah imam dan pada
saat yang sama juga kurban. Hal ini disebabkan karena Yesus kepada siapa kita
mempersatukan diri kita adalah imam dan sekaligus juga kurban. Persembahan diri
kita dan Gereja tidak ada artinya tanpa Kristus; tidak kudus dan tidak pula
dapat diterima oleh Allah. Akan tetapi persembahan Yesus tanpa persembahan
Gereja, Tubuh-Nya, tidak akan mencukupi. Kebenaran pernyataan ini dikukuhkan
dengan kata-kata Santo Paulus, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh
menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam tubuhku apa yang kurang pada
penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24).
Ekaristi membentuk Gereja. Ekaristi bukan
hanya merupakan sumber dan penyebab dari kekudusan Gereja, namun juga merupakan
model-nya. Umat Kristiani tidak dapat membatasi diri mereka sekadar untuk
merayakan Ekaristi dan menjadi suci-suci sendiri, mereka juga harus menjadi
Ekaristi bersama Yesus. Menjadi Ekaristi berarti siap memecah-mecahkan diri
kita dan memberikannya kepada setiap orang yang kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari kita. Kita ada di tengah dunia untuk alasan yang indah, yaitu
menjadi kurban yang hidup, menjadi Ekaristi bersama Yesus Kristus. Itulah yang
ditunjukkan dalam kehidupan dan kematian Santo Thomas More dan banyak lagi
saksi Kristus sepanjang masa: masuk gereja/kapel bertemu dengan Kristus dalam
Ekaristi, kemudian ke luar gereja menjadi Ekaristi bersama Kristus!
Jakarta, 22 Juni 2012
Sdr. F.X. Indrapradja. OFS