( Bacaan Injil Misa
Kudus, Hari Minggu Biasa XXVIII – 14 Oktober 2012 )
Pada waktu Yesus
meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seseorang berlari-lari mendapatkan Dia dan
sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus
kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus, “Mengapa kaukatakan
Aku baik?” Tak seorang pun yang baik selain Allah saja. Engkau tentu mengetahui
perintah-perintah ini: Jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan
memberi kesaksian palsu, jangan menipu orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”
Lalu kata orang itu kepada-Nya, “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa
mudaku.” Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata
kepadanya, “Hanya satu lagi kekuranganmu: Pergilah, juallah apa yang kaumiliki
dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Mendengar perkataan itu
mukanya muram, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Lalu Yesus
memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka, “Alangkah
sukarnya orang yang banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus berkata
lagi, “Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih
mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam
Kerajaan Allah.” Mereka makin tercengang dan berkata seorang kepada yang lain,
“Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Yesus memandang mereka dan
berkata, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah.
Sebab segala sesuatu mungkin bagi Allah.” (Mrk 10:17-27)
Bacaan Pertama: Keb
7:7-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 90:12-17; Bacaan Kedua: Ibr 4:12-13
Bacaan Injil hari
ini sebenarnya Mrk 10:17-30 atau Mrk 10:17-27 (versi pendek). Versi pendek
dipilih atas dasar pertimbangan praktis disebabkan keterbatasan ruang untuk
menulis. Kalau kita melihat juga bacaan-bacaan sejajar yang terdapat dalam Mat
19:16-26 dan Luk 18:18-27, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang
yang mendatangi Yesus itu adalah seorang yang kaya (Mrk 10:22; Mat 19:22, Luk
18:24), masih muda-usia (Mat 19:20), memegang kuasa kepemimpinan (Luk 18:18),
dan hidup kerohaniannya juga baik (Mrk 10:20; Mat 19:20; Luk 18:21). Sekilas
lintas, kelihatannya orang itu sudah memiliki segalanya. Namun ia mengajukan
sebuah pertanyaan kepada Yesus yang kiranya sudah lama terpendam dalam hatinya:
“Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
(Mrk 10:17).
Kelihatan di sini,
bahwa upayanya untuk menghayati kehidupan bermoral – bagaimana pun berhasilnya
– tidak mampu memberikan kepadanya kedamaian dan keamanan yang selama itu
dihasratinya. Sambil memandang orang muda-kaya itu dengan penuh kasih Yesus
lalu melangkah melampaui perintah untuk sekadar tidak berdosa. Yesus mengundang
orang itu untuk hidup dekat dengan diri-Nya: “Hanya satu lagi kekuranganmu:
Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang
miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan
ikutlah Aku” (Mrk 10:21). Ternyata, orang itu meninggalkan Dia dengan sedih
hati. Berikut ini adalah catatan paling menyedihkan tentang pemuridan
/kemuridan dalam Injil Markus: “Mendengar perkataan itu mukanya muram, lalu
pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya” (Mrk 10:22). Walaupun Yesus telah
mengucapkan kata-kata yang paling dibutuhkannya, orang itu begitu terlekat pada
harta-bendanya. Orang itu telah membuat pilihannya antara dua alternatif
pilihan: Yesus atau harta-bendanya. Ternyata dia memilih harta bendanya.
Cerita ini dapat
memprovokasi pertanyaan-pertanyaan penting: Apakah sungguh cukup bagi seseorang
untuk sekadar melakukan kebaikan dan tidak berdosa? Ataukah kita masih
merindukan sesuatu yang lebih? Apakah keprihatinan kita akan status sosial atau
prestise profesional, atau kenyamanan atau kepemilikan materiil, menghalangi
diri kita menerima undangan Yesus untuk masuk ke dalam pemuridan/kemuridan yang
lengkap dan total? Pada akhirnya, semua itu akan mengendap menjadi satu
pertanyaan saja: Apa/siapa yang sesungguhnya memerintah atas diri kita?
Beato Charles de
Foucauld pernah menulis, bahwa panggilan di sini “adalah panggilan Allah
sendiri. Oleh karena itu kita tidak ‘memilih panggilan’, melainkan berupaya
untuk menemukan panggilan kita, untuk melakukan segalanya yang dapat kita
lakukan agar dapat mendengar Suara Ilahi yang memanggil-manggil kita, untuk
meyakinkan diri kita apa yang dikatakan-Nya – dan kemudian mentaati-Nya.” Jadi,
masalahnya di sini bukanlah mengikuti formula atau rumusan yang benar.
Masalahnya yang penting adalah mendengar panggilan Allah dan menyerahkan setiap
ketertarikan dan kelekatan yang selama ini menghalangi kita untuk mengenal
diri-Nya secara akrab.
Pada saat kita
mencari Yesus dalam doa atau menyambut-Nya dalam Komuni Kudus, Ia berjumpa
dengan kita dengan pandangan penuh kasih yang sama seperti yang ditunjukkan-Nya
ketika memandang orang muda-kaya itu – suatu pandangan yang menembus hati kita
dan menyatakan kepada kita harta sesungguhnya dari hati kita. Pada hari ini,
marilah kita bersimpuh di bawah pandangan penuh kasih Yesus, dan kita pun akan
mengenal dan mengalami suatu keintiman yang tidak pernah dapat diberikan oleh
hal-hal duniawi.
DOA: Tuhan Yesus,
aku menyerahkan keberadaan diriku sepenuhnya kepada-Mu. Selidikilah hatiku dan
tunjukkanlah kepadaku apa saja yang menghalangi aku untuk menjawab panggilan-Mu
dalam setiap saat hidupku. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan