( Bacaan Injil Misa
Kudus, Hari Minggu Biasa XXVII – 7 Oktober 2012 )
Lalu datanglah
orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya,
“Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Tetapi jawab-Nya
kepada mereka, “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka, “Musa memberi
izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada
mereka, “Justru karena kekerasan hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini
untuk kamu. Padahal pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu
bertanya lagi kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka, “Siapa
saja yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berzina
terhadap istrinya itu. Jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki
lain, ia berzina.” (Mrk 10:2-12)
Bacaan Pertama: Kej
2:18-24; Mazmur Tanggapan: Mzm 128:1-6; Bacaan Kedua: Ibr 2:9-11
“Apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mrk 10:9).
Kata-kata Yesus
dapat terdengar keras di telinga kita, teristimewa apabila kita telah mengalami
sendiri suatu “perceraian”, atau hidup perkawinan seorang anggota keluarga kita
atau teman dekat kita telah hancur berantakan. Di satu sisi, kita dapat
mengatakan bahwa Yesus mengetahui bahwa apa yang dikatakan-Nya dan yakin akan
kuasa Allah untuk menyembuhkan, bahkan perkawinan yang paling sulit sekali pun.
Namun di sisi lain pengalaman mengatakan kepada kita bahwa perceraian itu
merupakan sebuah realitas yang bersifat traumatis yang dapat meninggalkan
luka-luka mendalam dan tidak dapat sembuh dalam satu-dua hari.
Pikirkanlah sakit
yang dirasakan oleh pasangan yang bercerai itu. Suatu relasi yang dimulai
dengan cita-cita tinggi, penuh kegembiraan dan optimisme telah merosot menjadi
penolakan, rasa tidak percaya, kemarahan dan menyalahkan diri sendiri. Apa yang
sebelumnya “satu daging” telah dirobek-robek, meninggalkan luka-luka mendalam
tidak hanya pada pasangan bersangkutan namun juga pada anggota keluarga
lainnya. Bagaimana mungkin kita membayangkan Yesus duduk di takhta-Nya dan
tanpa belas kasihan menghukum orang-orang itu? Dia tidak menghukum mereka!
Kepada Nikodemus, Yesus mengatakan, “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia
bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia”
(Yoh 3:17). Yesus tidak ingin meremukkan orang-orang dengan berkomunikasi
kepada mereka hanya apabila ada sesuatu yang salah. Ia ingin berjumpa dengan
kita semua di mana saja dalam perjalanan hidup kita dan menawarkan kesembuhan
dan restorasi kepada kita.
Apabila anda adalah
seorang yang telah bercerai, ketahuilah dan yakinilah bahwa Yesus sungguh
mengasihi anda, sama seperti ketika anda masih berstatus istri atau suami.
Yesus ikut ambil bagian dalam rasa sakit anda dan Ia sungguh menderita
bersamamu. Renungkanlah perjumpaannya dengan seorang perempuan Samaria di sumur
Yakub (Yoh 4:1-42). Ia tidak menghukum perempuan itu, walaupun dia telah kawin
lima kali dan pada saat itu sedang “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki yang
bukan suaminya. Sebaliknya, Yesus menggiring perempuan itu kepada suatu
pertobatan, menyembuhkannya, dan mengutus dia kembali ke kampungnya untuk
menceritakan kepada warga sekampungnya tentang Dia.
Apakah dalam status
nikah, bercerai atau hidup selibat, kita semua harus mengetahui tentang penyembuhan
ilahi. Bapa surgawi ingin membalut dan menyembuhkan luka-luka yang diderita
oleh mereka yang telah bercerai. Yesus ingin memperdamaikan kita,
mentransformasikan kita, dan menggunakan kita untuk mewartakan Kerajaan-Nya –
tanpa melihat apa yang telah kita lakukan di masa lampau. Yesus ingin merangkul
kita erat-erat dan memberikan berkat-Nya kepada kita (Mrk 10:16).
DOA: Tuhan Yesus,
tolonglah kami agar mampu mengatasi segala macam perpecahan. Curahkanlah
rahmat-Mu atas setiap keluarga yang telah mengalami perceraian. Sembuhkanlah
mereka, ya Tuhan dan Allah kami, dan pulihkanlah pengharapan mereka. Biarlah
kasih-Mu mengalir ke dalam diri kami semua dan kemudian mengalir ke luar,
sehingga dengan demikian kami dapat menjadi saksi-saksi-Mu yang tangguh. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan