( Bacaan Injil Misa
Kudus, Peringatan S. Bernardus, Abas & Pujangga Gereja – Senin, 20 Agustus
2012 )
Ada seorang datang
kepada Yesus, dan berkata, “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus, “Apakah sebabnya engkau
bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau
engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Kata orang
itu kepada-Nya, “Perintah yang mana?” Kata Yesus, “Jangan membunuh, jangan
berzina, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, hormatilah ayahmu dan
ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda
itu itu kepada-Nya, “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?”
Kata Yesus kepadanya, “Jikalau engkau hendak hendak sempurna, pergilah, juallah
segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan
beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Mendengar
perkataan itu, pergilah orang muda itu dengan sedih, sebab banyak hartanya.
(Mat 19:16-22)
Bacaan Pertama: Yeh
24:14-24; Mazmur Tanggapan: Ul 32:18-21
Barangkali cerita
tentang orang muda yang kaya ini adalah tentang sikap kita terhadap uang. Namun
karena ada peristiwa-peristiwa lain yang diceritakan dalam Kitab Suci, misalnya
tentang para perempuan yang menggunakan uang/harta-milik mereka untuk mendukung
Yesus dan karya pelayanan-Nya (lihat Luk 8:1-3), maka lebih tepatlah apabila
kita mengatakan bahwa bacaan Injil hari ini adalah tentang sikap dan disposisi
kita yang tidak hanya berkaitan dengan masalah uang.
Ada sesuatu dalam
sikap orang muda-kaya ini yang tidak benar. Yesus melihatnya dan berupaya untuk
mengangkat masalahnya ke atas permukaan, agar supaya orang muda-kaya ini dapat
bebas menerima kasih-Nya. Yesus melihat bahwa orang muda-kaya ini telah
memperkenankan harta-kekayaannya menjadi berhala, yang mempunyai suatu posisi
yang lebih tinggi daripada Allah sendiri.
Cerita dari Matius
ini dapat menggerakkan kita untuk mengajukan suatu pertanyaan yang serupa.
Apakah ada sikap kita terhadap uang, pengakuan/penghargaan dari orang lain,
kepenuhan-diri, atau kekuasaan – yang menduduki tempat yang lebih tinggi
daripada Allah? Apakah disposisi-disposisi ini begitu berarti bagi kita
sehingga menyebabkan kita meminimalisir atau malah menghilangkan atau melupakan
samasekali cara yang diinginkan Allah bagi kehidupan kita? Apakah semua itu
lebih penting bagi kita daripada relasi kita dengan Yesus?
Bagi Yesus, hidup
kita dengan-Nya bukanlah berdoa pada waktu-waktu tertentu secara teratur,
menghadiri Misa, pekerjaan apa yang kita lakukan, atau cara kita hidup. Memang
benar Tuhan Yesus menginginkan kita hidup dengan cara tertentu – dipenuhi
dengan tindakan-tindakan positif penuh keutamaan. Akan tetapi mungkinlah untuk
melakukan segala hal yang benar dan tetap menjalani kehidupan yang terfokus
kepada (kepentingan)diri kita sendiri dan bukan pemberian kemuliaan dan
kehormatan bagi Allah.
Saudari-saudara
yang dikasihi Kristus, Allah menginginkan hati kita. Dia menginginkan kita
menjadi kurban yang hidup bagi-Nya. Kita perlu jelas bahwa Bapa surga lebih
menyukai umat yang memiliki komitmen penuh pada Putera-Nya – walaupun umat ini
juga bisa saja tidak sempurna, lemah, rentan terhadap godaan dan dosa, dan
tidak setia. Bapa surgawi mempunyai kesulitan yang jauh lebih besar dengan umat
yang mungkin “nyaris-sempurna” namun yang juga berpegang teguh pada
independensi mereka, kemandirian mereka dan pemenuhan-diri. Mereka yang lemah
namun mengasihi Yesus lebih menarik bagi Allah daripada orang-orang hebat yang
lebih mengasihi diri mereka sendiri ketimbang Putera-Nya, Yesus!
DOA: Tuhan Yesus,
aku menyerahkan hatiku kepada-Mu. Anugerahkanlah kepadaku suatu hasrat untuk
menyingkirkan setiap halangan yang merintangi diriku dapat berjalan bersama-Mu.
Aku mengasihi Engkau, ya Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamatku. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan