( Bacaan Injil Misa
Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XVIII – Kamis, 9 Agustus 2012 )
Setelah Yesus tiba
di daerah Kaesarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, “Kata orang,
siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka, “Ada yang mengatakan: Yohanes
Pembaptis, yang lain mengatakan; Elia dan yang lain lagi mengatakan: Yeremia
atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka, “Tetapi
apa katamu, siapakah Aku ini?” Jawab Simon Petrus, “Engkaulah Mesias, Anak
Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya, “Berbahagialah engkau Simon anak Yunus
sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di
surga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya,
kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini
akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di
surga.” Lalu Yesus melarang murid-murid-Nya supaya jangan memberitahukan kepada
siapa pun bahwa Ia Mesias.
Sejak itu Yesus
mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan
menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan
ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga. Tetapi Petrus
menarik Yesus ke samping dan mulai menegur Dia dengan keras, “Tuhan, kiranya
Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Engkau.” Lalu
Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu
sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Mat 16:13-23)
Bacaan Pertama: Yer
31:31-34; Mazmur Tanggapan: Mzm 51:12-15,18-19
Setelah Yesus
mendengar pernyataan Petrus (sebagai wakil para murid) bahwa diri-Nya adalah
“Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat 16:15). Yesus kemudian berjanji untuk
mendirikan Gereja-Nya dengan Petrus sebagai batu karang dan fondasi:
“Berbahagialah engkau Simon anak Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu
kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga. Dan aku berkata kepadamu: Engkau
adalah Petrus dan diatas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam
maut tidak akan menguasainya, kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa
yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di
dunia ini akan terlepas di surga” (Mat 16:17-19). Kemudian Yesus memberitahukan
kepada para murid-Nya bahwa Dia akan menanggung banyak penderitaan dari para
pemuka bangsa dan agama Yahudi, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.
Langsung saja Petrus menanggapi pemberitahuan Yesus itu, bahwa hal sedemikian
tidak harus terjadi. Petrus tidak mengerti! Yesus dengan keras menegurnya dan
mengatakan kepadanya, bahwa Petrus tidak boleh melakukan penilaian sekadar
berdasarkan standar-standar manusia dan bukannya standar-standar Allah (Mat
16:21-23).
Setelah itu Yesus
mulai mengajar tentang syarat seseorang untuk menjadi murid-Nya: SALIB! Salib
telah menjadi sebuah batu sandungan tidak hanya bagi Petrus, melainkan juga
untuk umat manusia secara umum, sampai hari ini. Pertanyaan yang sering
diajukan adalah mengapa orang harus menderita? Mengapa harus salib? Mengapa
Kristus harus mengambil jalan yang begitu menyusahkan dan menyakitkan, agar
supaya kita dapat menjadi anak-anak Allah?
“Penderitaan dan
kematian” tetaplah merupakan sebuah misteri, namun kita dapat melihat terangnya
pada peristiwa-peristiwa dalam alam. Kita melihat di sini adanya
“kebenaran-aneh”, …… “paradoks”, bahwa kematian menghasilkan kehidupan. Sebutir
benih harus mati agar dapat menghasilkan sebatang tetumbuhan baru. Seorang ibu
mengalami sakit bersalin yang luarbiasa untuk dapat membawa kehidupan baru …
bayinya! Demikian pula, kita tidak dapat mencapai hidup-kekal tanpa sebelumnya
mati terhadap hidup ini.
Kematian Kristus
memungkinkan terwujudnya kehidupan-kekal bagi kita. Akan tetapi kita
pertama-tama harus ikut ambil bagian dalam kematian-Nya dengan mati terhadap
diri sendiri. Yesus sangat jelas tentang hal ini: “Jika seseorang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24).
Tidak ada plus-minus di sini, tidak ada tawar-menawar pula! Sabda Yesus di sini
jelas dan penuh empati. Di mana pun dalam Kitab Suci kita dapat membaca bahwa
persatuan kita dengan Kristus dikondisikan oleh konformitas kita dengan
diri-Nya dalam penderitaan-penderitaan-Nya di atas bumi.
Sehubungan dengan
hal ini, Santo Paulus menulis: “Tidak tahukah kamu bahwa kita semua yang telah
dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian,
kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia melalui baptisan dalam kematian,
supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh
kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.Sebab jika
kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga
akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya” (Rm 6:3-5).
Jadi, alasan mengapa kita harus menderita bersama Kristus adalah bahwa dengan
demikian kita dapat dimuliakan bersama-Nya.
Tanpa salib, tidak
ada kemuliaan! Tanpa kematian, tidak ada kebangkitan! Tanpa Hari Jumat Agung,
tidak ada hari Paskah! Demikian pula dengan Paskah kita, yaitu kebangkitan kita
kepada hidup-baru, baik di dunia maupun dalam kehidupan selanjutnya, tergantung
pada bagaimana kita menerima hari Jumat Agung kita selama hidup di dunia.
DOA: Tuhan Yesus,
jika aku harus menderita dan mati bersama-Mu, aku percaya bahwa aku juga akan
hidup bersama-Mu. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan