Dari situ Yesus
berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang Sungai Yordan dan orang banyak
datang lagi berkerumun di sekeliling Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka
lagi. Lalu datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka
bertanya kepada-Nya, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?”
Tetapi jawab-Nya kepada mereka, “Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka,
“Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata
Yesus kepada mereka, “Justru karena kekerasan hatimulah maka Musa menuliskan
perintah ini untuk kamu. Padahal pada awal dunia, Allah menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Ketika mereka sudah
di rumah, murid-murid itu bertanya lagi kepada Yesus tentang hal itu. Lalu
kata-Nya kepada mereka, “Siapa saja yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan
perempuan lain, Ia berzina terhadap istrinya itu. Jika si istri menceraikan
suaminya dan kawin dengan laki-laiki lain, ia berzina.” (Mrk 10:1-12)
Bacaan Pertama: Sir
6:5-17; Mazmur Tanggapan: Mzm 119:12,16,18,27,34-35
“Apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mrk 10:9).
Seperti bacaan
Injil kemarin (Mrk 9:41-50), kata-kata Yesus dalam Injil hari ini juga
terdengar begitu mutlak tanpa kompromi. Kata-kata Yesus ini juga terdengar
sangat keras, teristimewa bagi kita yang telah mengalami serta melalui proses
perceraian, atau apabila seorang anggota keluarga kita dan/atau seorang sahabat
kita menderita karena kegagalan dalam perkawinannya. Di satu sisi, kita dapat
mengatakan bahwa Yesus dapat menyembuhkan bahkan perkawinan yang paling sulit
sekali pun. Di sisi lain, pengalaman mengatakan kepada kita bahwa perceraian
adalah suatu realitas traumatis yang dapat meninggalkan luka mendalam dan
relatif lama untuk sembuh.
Pikirkanlah tentang
luka yang diderita/dirasakan oleh pasangan-pasangan yang bercerai, Suatu relasi
yang diawali dengan cita-cita setinggi langit, sukacita, dan optimisme telah
merosot menjadi ketidakpercayaan satu sama lain, kemarahan, penolakan, dan
self-pity. Yang dahulu “satu daging” telah dirobek-robek. Bagaimana mungkin
Yesus dapat duduk tanpa belas kasih menyaksikan mereka yang mengalami trauma
perceraian? Yesus tidak akan tinggal diam! Allah tidak mengutus Putera-Nya ke
dalam dunia untuk menghakimi/menghukum melainkan untuk menyelamatkan (Yoh
3:17). Yesus tidak ingin menghancurkan orang sekadar dengan menyatakan
kesalahan mereka. Dia ingin bertemu dengan kita semua di mana saja kita berada
dalam perjalanan hidup kita dan menawarkan kepada kita kesembuhan dan
pemulihan.
Jika status kita
(anda dan saya) adalah “bercerai”, maka kita harus menyadari bahwa Yesus tetap
mengasihi diri kita … tidak sedikit pun berkurang dari sebelumnya. Dia bahkan
menderita bersama kita. Renungkanlah perjumpamaan-Nya dengan perempuan Samaria
di sumur Yakub di Sikhar (Yoh 4:1-42). Yesus tidak menghukum atau menuduh
perempuan itu, walaupun ia telah kawin lima kali dan saat itu sedang
“kumpul-kebo” dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sebaliknya, Yesus
menggiringnya ke dalam pertobatan, menyembuhkannya, dan mengutusnya kembali ke
desanya untuk bercerita tentang Yesus kepada orang-orang lain (katakanlah:
melakukan evangelisasi).
Apakah status kita
menikah, bercerai atau bujangan, kita semua perlu mengenal dan mengalami
penyembuhan ilahi. Allah ingin membalut luka-luka dalam setiap perkawinan dan
juga luka-luka dari pribadi-pribadi yang terkena dampak dari perceraian. Ia
ingin mendamaikan kita, mentransformir kita, dan menggunakan kita untuk
memproklamasikan Kerajaan-Nya – apa pun yang telah perbuat di masa lampau.
Marilah kita tanpa rasa takut pergi menghadap Dia, apa pun status kita.
Perkenankanlah Dia memeluk kita dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas kita
Ia memberkati kita (bdk. Mrk 10:16).
DOA: Tuhan Yesus,
curahkanlah rahmat-Mu atas setiap keluarga yang telah mengalami pedihnya
perceraian. Sembuhkanlah mereka dan pulihkanlah pengharapan mereka. Biarlah
kasih-Mu mengalir ke dalam diri kami semua dan kemudian mengalir ke luar dari
diri kami kepada orang-orang yang kami jumpai, sehingga kami benar-benar
menjadi saksi-saksi-Mu bagi orang-orang di sekeliling kami. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan