( Bacaan Injil Misa
Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa XXXII – Rabu, 14 November 2012 )
Keluarga Fransiskan: Peringatan S. Nikolaus Tavelic, Imam
dkk. – Martir
Dalam
perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea.
Ketika ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui-Nya. Mereka
berdiri agak jauh dan berteriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia
memandang mereka dan berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada
imam-imam.” Sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi sembuh. Salah
seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil
memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan
mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu orang Samaria. Lalu Yesus berkata,
“Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah sembuh? Di manakah yang sembilan
orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah
selain orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu, “Berdirilah dan
pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:11-19)
Bacaan Pertama: Tit
3:1-7; Mazmur Tanggapan: Mzm 23:1-6
Bacaan Injil hari
ini merupakan sebuah pelajaran tentang pengucapan syukur. Kelihatannya 9 dari
10 orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus tidak mempunyai kebiasaan untuk
berterima kasih kepada orang lain. Dari cerita Injil ini kita melihat 10 orang
kusta itu baru saja menerima satu dari anugerah terbesar yang pernah diterima oleh
mereka masing-masing. Barangkali kita dapat “memaafkan” mereka: “Ah, mereka
begitu excited atas kesembuhan mereka yang begitu luarbiasa ajaib, sehingga apa
yang dapat mereka pikirkan hanyalah melompat-lompat di atas gerobak sapi yang
terdekat sambil ikut pulang ke rumah keluarga masing-masing.”
Reaksi Yesus
sangatlah berbeda, dan Ia samasekali tidak berpikir seperti diuraikan di atas.
Yesus hanya bertanya, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah sembuh? Di
manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali
untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?” (Luk 17:17).
Bagaimana dengan
diri kita sendiri? Apakah hanya kalau kita sedang susah saja maka kita
berpaling kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya? Apakah kata-kata dalam
doa kita kepada-Nya hanya terdiri dari kata-kata permohonan? Lupakah kita bahwa
kasih-Nya bagi kita dalam hal-hal “kecil” yang kita alami setiap hari, seperti
udara segar, cahaya matahari yang menghangatkan, makanan, para teman dan
sahabat, kehidupan itu sendiri?
Kita sebaiknya
menyadari bahwa apa yang “hebat” tentang kehidupan kita bukanlah apa yang kita
lakukan bagi Allah, melainkan apa yang dilakukan Allah bagi kita. Apabila kita
tidak menyadari hal ini, maka tidak mengherankanlah apabila kita luput
menikmati kepenuhan sukacita dari rasa syukur. Sesungguhnya Yesus secara
pribadi tidak membutuhkan ucapan terima kasih dari 9 orang kusta yang
disembuhkan itu. Yesus tetap akan survive tanpa ucapan terima kasih dari
mereka. Jadi, ketika Yesus mengungkapkan kesedihan-Nya atas sikap tidak tahu
berterima kasih 9 orang tersebut, hal itu tidak berarti bahwa Dia bersedih
karena tidak ada orang yang menghargai diri-Nya. Yesus sebenarnya merasa sedih
dan kasihan kepada mereka, karena mereka adalah para pecundang. Sukacita yang
paling besar dari penyembuhan kebutaan mereka sebenarnya adalah terbukanya hati
mereka, semakin dalamnya kasih mereka kepada Allah yang telah menyembuhkan
mereka.
Jadi, mereka luput
memperoleh kesembuhan yang lebih besar dan berkat yang lebih mendalam. Mereka
luput memperoleh kedamaian batiniah dan sukacita dari suatu rasa syukur yang
sejati.
DOA: Aku mau
bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala
perbuatan-Mu yang ajaib; aku mau bersukacita dan bersukaria karena Engkau,
bermazmur bagi nama-Mu, ya Mahatinggi (Mzm 9:2-3). Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan