Dalam suatu katekese yang mengagumkan, Tuhan dan Santa Perawan
Maria mengajarkan kepada kita, pertama-tama, mengenai bagaimana berdoa Rosario
Suci, berdoa dengan hati kita, merenungkan serta menikmati saat-saat perjumpaan
kita dengan Tuhan dan Bunda Maria. Mereka juga mengajarkan kepada kita
bagaimana Mengaku Dosa dengan baik, dan [dalam kesaksian ini], Mereka menunjukkan kepada kita apa yang
terjadi sepanjang Misa Kudus dan bagaimana mengalaminya dengan hati kita.
Inilah kesaksian yang harus dan ingin aku berikan kepada seluruh
dunia, demi Kemuliaan Tuhan yang terlebih lagi dan demi keselamatan mereka
semua yang mau membuka hati bagi Dia. Kesaksian ini diberikan agar begitu
banyak jiwa yang dikonsekrasikan kepada Tuhan dapat mengobarkan kembali api
kasih mereka kepada Kristus; mereka yang mempunyai tangan-tangan yang memiliki
kuasa untuk mendatangkan Kristus ke dunia untuk menjadi santapan kita [jiwa-jiwa para imam] dan mereka yang lainnya [jiwa-jiwa religius] agar mereka terlepas dari kebiasaan menyambut
Dia sebagai suatu “praktek rutinitas” dan menghidupkan kembali kekaguman dari
perjumpaan setiap hari dengan sang Kasih. Kesaksian ini diberikan agar saudara
dan saudariku kaum awam di segenap penjuru dunia dapat mengalami Mukjizat
teragung, perayaan Ekaristi Kudus, dengan hati mereka.
Kala itu vigili Hari Raya Kabar Sukacita dan anggota kelompok kami
dan aku pergi menyambut Sakramen Rekonsiliasi. Sebagian perempuan dari kelompok
doa tidak dapat menyambut sakramen saat itu, dan mereka menunda Tobat mereka
hingga keesokan harinya sebelum Misa Kudus.
Ketika aku tiba di gereja keesokan harinya, sedikit terlambat,
Yang Mulia, Uskup Agung dan para imam telah keluar dari sakristi. Dengan suara
yang lemah lembut dan feminin yang menenangkan jiwa, Santa Perawan Maria
mengatakan:
“Hari ini adalah hari
pelajaran bagimu; dan aku ingin engkau memperhatikan dengan seksama sebab semua
yang engkau saksikan pada hari ini, semua yang engkau alami pada hari ini;
harus engkau bagikan kepada segenap umat manusia.” Aku terpana dan tidak mengerti [arti kata-katanya], tetapi aku berusaha memperhatikan dengan amat
seksama.
Hal pertama yang aku cermati adalah suatu paduan suara yang sangat
indah merdu yang bernyanyi seolah dari kejauhan. Terkadang musik datang
mendekat dan kemudian pergi menjauh, seperti suara angin.
Uskup Agung memulai Misa, dan ketika beliau tiba pada Ritus Tobat, Santa Perawan mengatakan,
“Dari lubuk hatimu,
mohonlah pengampunan Tuhan atas segala kesalahanmu karena telah menyakiti-Nya.
Dengan demikian, engkau akan dapat berpartisipasi dengan pantas dalam hak
istimewa ini, yakni ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.”
Pastilah terlintas dalam benakku: “Tetapi, aku dalam keadaan
rahmat. Aku baru saja pergi mengaku dosa semalam.”
Ia menjawab: “Apakah kau pikir
engkau tidak menyakiti Tuhan sejak tadi malam? Mari aku ingatkan engkau akan
beberapa hal. Ketika engkau berangkat untuk datang kemari, gadis yang
membantumu datang untuk meminta sesuatu, dan karena engkau terlambat, engkau
menjawabnya dengan tergesa dan tidak dengan cara yang terbaik. Kurang belas
kasih dari pihakmu, dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak menyakiti Tuhan…?
Dalam perjalanan
kemari, sebuah bis melintas di jalurmu dan nyaris menabrakmu. Engkau
mengekspresikan diri dengan suatu cara yang tidak pantas terhadap laki-laki
malang itu, dan bukannya mengucapkan doa-doamu dan mempersiapkan diri untuk
Misa. Engkau memperlihatkan kurangnya belas kasih dan engkau kehilangan damai
dan kesabaran. Dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak melukai Tuhan…?
Engkau tiba di
menit-menit terakhir ketika prosesi selebran menuju Altar telah dimulai… dan
engkau akan ikut ambil bagian dalam Misa tanpa persiapan terlebih dahulu….”
“Baiklah, Bunda-ku, jangan katakan lagi padaku,” jawabku. “Engkau
tak perlu mengingatkanku akan lebih banyak hal lagi, sebab aku akan mati karena
sedih dan malu.”
“Mengapakah kalian
semua harus tiba di saat-saat terakhir? Kalian seharusnya tiba lebih awal agar
kalian dapat memanjatkan doa dan memohon Tuhan untuk mengutus Roh KudusNya,
agar Roh Kudus menganugerahi kalian roh damai dan membersihkan kalian dari roh
duniawi, kekhawatiran, masalah dan distraksi agar kalian dapat mengalami saat
yang begitu sakral ini. Tetapi, engkau tiba nyaris ketika perayaan hendak
dimulai, dan engkau ikut ambil bagian dalam Misa seolah Misa adalah suatu
peristiwa biasa, tanpa ada persiapan rohani. Mengapa? Misa adalah Mukjizat
teragung. Engkau akan mengalami saat ketika Allah yang Mahatinggi memberikan
anugerah-Nya yang teragung, dan engkau tidak menghargainya.”
Cukuplah. Aku merasa begitu sedih hingga aku memiliki lebih dari
cukup untuk memohon pengampunan dari Tuhan. Bukan saja untuk
pelanggaran-pelanggaran hari itu, tetapi juga untuk setiap kali ketika, sama
seperti banyak orang lainnya, aku menunggu imam selesai menyampaikan homili
sebelum memasuki gereja. Aku memohon pengampunan untuk setiap kali ketika aku
tidak tahu atau menolak untuk mengerti apa artinya berada di sana, dan untuk
setiap kali mungkin, ketika jiwaku penuh dengan dosa-dosa yang lebih serius,
dan aku berani ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.
Hari itu adalah Hari Raya, dan Gloria didaraskan. Bunda Maria
mengatakan: “Muliakanlah
dan luhurkanlah Tritunggal Mahakudus dengan segenap kasihmu, dalam pengenalan diri
sebagai makhluk ciptaan Tritunggal.”
Betapa berbedanya Gloria itu! Sekonyong-konyong aku melihat diriku
sendiri di suatu tempat nun jauh yang dipenuhi cahaya, di hadapan Hadirat Agung
Tahta Allah. Dengan luapan kasih aku mengucap syukur kepada-Nya, sementara aku
mengulang: “Karena Kemuliaan-Mu yang besar, kami memuji Dikau, kami meluhurkan
Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, kami bersyukur kepada-Mu,
Ya Tuhan Allah, Raja Surgawi, Allah Bapa yang Mahakuasa.” Dan aku terkenang
akan wajah kebapaan Allah Bapa, penuh belas kasihan…. “Ya Tuhan Yesus Kristus,
Putra tunggal Bapa, ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Engkau yang menghapus
dosa dunia….” Dan Yesus ada di hadapanku, dengan wajah penuh kelembutan dan
belas kasihan…. “hanya Engkau-lah kudus, hanya Engkau-lah Tuhan, hanya
Engkau-lah Mahatinggi, ya Yesus Kristus, bersama dengan Roh Kudus…” Allah Kasih
yang menawan. Ia, yang pada saat itu, memenuhi seluruh keberadaanku dengan
sukacita….
Dan aku memohon: “Tuhan, bebaskanlah aku dari segala yang jahat.
Hatiku adalah milik-Mu. Tuhan-ku, berilah aku damai-Mu agar aku beroleh
sebanyak mungkin manfaat dari Ekaristi ini dan agar hidupku boleh menghasilkan
buah-buah terbaik. Roh Kudus Allah, ubahlah aku, bertindaklah dalam aku,
bimbinglah aku. Ya Tuhan, anugerahilah aku karunia-karunia yang aku butuhkan
demi melayani-Mu dengan terlebih baik…!”
Saat Liturgi Sabda tiba, dan Santa Perawan Maria memintaku mengulangi: “Tuhan, pada
hari ini aku hendak mendengarkan Sabda-Mu dan menghasilkan buah melimpah.
Kiranya Roh KudusMu mempersiapkan ladang hatiku agar Sabda-Mu dapat tumbuh dan
berkembang di dalamnya. Tuhan, murnikanlah hatiku agar tertuju pada-Mu.”
Bunda Maria mengatakan: “Aku ingin engkau
mendengarkan dengan seksama bacaan-bacaan dan seluruh homili imam. Ingat bahwa
Kitab Suci mengatakan bahwa Sabda Tuhan tidak akan kembali tanpa menghasilkan
buah. Apabila engkau mendengarkan dengan seksama, sesuatu dari semua yang telah
engkau dengarkan akan tinggal dalammu. Berusahalah untuk mengingat sepanjang hari,
Sabda yang berkesan bagimu. Terkadang, itu dapat berarti dua ayat; terkadang
bacaan dari seluruh Injil, atau mungkin hanya satu kata saja. Resapkanlah Sabda
itu sepanjang hari dan maka ia akan menjadi bagian darimu, sebab demikianlah
caranya untuk mengubah hidup seseorang, dengan membiarkan Sabda Tuhan
mengubahmu.
Dan sekarang, katakan
kepada Tuhan bahwa engkau ada di sini untuk mendengarkan, bahwa engkau rindu Ia
berbicara kepada hatimu pada hari ini.”
Sekali lagi aku mengucap syukur kepada Tuhan sebab telah memberiku
kesempatan untuk mendengarkan Sabda-Nya. Dan aku mohon pada-Nya untuk
mengampuniku karena hatiku yang keras kaku selama bertahun-tahun, dan karena
mengajarkan kepada anak-anakku bahwa mereka harus pergi ke Misa pada hari
Minggu karena demikianlah yang diperintahkan oleh Gereja dan bukan karena
kasih, karena kebutuhan untuk dipenuhi oleh Tuhan….
Karena aku, yang telah menghadiri begitu banyak Perayaan Ekaristi,
terutama demi memenuhi suatu kewajiban, dan dengan demikian percaya bahwa aku
diselamatkan; pikiran untuk mengalami perayaan tidak pernah terlintas dalam
benakku, apalagi memberikan perhatian pada bacaan-bacaan ataupun homili imam!
Betapa kesedihan hebat aku rasakan atas begitu banyak tahun yang
hilang sia-sia akibat keacuhanku!... Betapa dangkal kehadiran kita dalam Misa
apabila kita pergi hanya karena itu adalah Misa perkawinan atau Misa arwah atau
karena kita ingin bermasyarakat! Betapa suatu kebodohan besar mengenai Gereja
kita dan Sakramen-sakramen! Betapa banyak kita membuang-buang waktu dalam
berusaha mendidik diri dan menjadi beradab mengenai hal-hal duniawi, hal-hal
yang dapat lenyap dalam sekejap tanpa meninggalkan suatu apapun bagi kita.
Hal-hal yang, di akhir hidup kita, bahkan tidak dapat berguna untuk menambahkan
barang semenit saja dari masa keberadaan kita!Namun demikian, kita sama
sekali tak tahu menahu mengenai hal-hal yang akan mendatangkan bagi kita suatu
cicipan Surgawi di bumi dan pada akhirnya, kehidupan kekal. Dan kita menyebut
diri sebagai laki-laki dan perempuan beradab…!
Beberapa waktu kemudian tiba saat Persembahan, dan Santa Perawan mengatakan: “Berdoalah
seperti ini: [dan aku mengulanginya] Tuhan, aku persembahkan
segala keberadaanku, segala milikku, segala kemampuanku. Aku letakkan semuanya
ke dalam Tangan-Tangan-Mu. Ubahlah aku, ya Tuhan yang Mahakuasa, melalui
jasa-jasa PutraMu. Aku berdoa bagi keluargaku, bagi para penderma, bagi setiap
anggota Apostolate kami, bagi semua orang yang menentang kami, bagi mereka yang
mempercayakan diri mereka pada doa-doaku yang miskin.... Ajarilah aku untuk
meletakkan hatiku di atas tanah di hadapan mereka, agar jalan mereka dapat
berkurang beratnya…. Demikianlah para kudus berdoa; demikianlah aku menghendaki
kalian semua berdoa.”
Dan demikianlah Yesus meminta kita berdoa, agar kita meletakkan
hati kita di atas tanah agar mereka [bagi siapa kita berdoa] tidak merasakan beratnya, melainkan kita
mendatangkan kelegaan bagi mereka melalui sakit yang diakibatkan kaki mereka
yang menapaki hati kita. Bertahun-tahun kemudian, aku membaca sebuah booklet
doa tulisan seorang kudus yang amat aku kasihi, José Maria Escrivá de Balaguer,
dan dalam booklet itu aku mendapati sebuah doa serupa dengan yang diajarkan
Santa Perawan Maria kepadaku. Mungkin orang kudus ini, kepada siapa aku
mempercayakan diriku, menyenangkan hati Santa Perawan dengan doa-doa tersebut.
Sekonyong-konyong, beberapa figur yang tidak aku lihat sebelumnya,
mulai berdiri. Seolah dari sisi setiap orang yang hadir di Katedral, muncul
seorang lainnya; dan segera saja Katedral dipenuhi oleh makhluk-makhluk muda
yang menawan. Mereka mengenakan jubah yang sangat putih bersih; mereka mulai
bergerak ke lorong tengah gereja, dan lalu menuju Altar.
Bunda Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka
adalah Malaikat Pelindung dari setiap orang yang ada di sini. Inilah saat di
mana para malaikat pelindung kalian menyampaikan persembahan dan doa-doa kalian
di hadapan Altar Tuhan.”
Kala itu, aku sama sekali takjub sebab makhluk-makhluk ini
memiliki wajah yang begitu menawan, begitu bercahaya seperti yang tak pernah
dibayangkan orang. Wajah mereka begitu rupawan, nyaris tampak sebagai wajah
feminin; tetapi, struktur tubuh mereka, tangan dan juga tinggi mereka maskulin.
Kaki mereka yang telanjang tidak menyentuh lantai, melainkan mereka seolah
meluncur. Arak-arakan itu sungguh amat indah.
Sebagian dari mereka membawa sesuatu serupa sebuah mangkok emas
dengan sesuatu [di dalamnya] yang bersinar cemerlang dengan cahaya putih keemasan. Santa
Perawan Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah
para Malaikat Pelindung dari orang-orang, yang mempersembahkan Misa Kudus ini
untuk banyak intensi, mereka yang sadar akan makna dari perayaan ini, mereka
yang mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan kepada Tuhan….
Persembahkanlah diri
kalian pada saat ini…. Persembahkanlah penderitaan, sakit, harapan, kesedihan,
sukacita kalian. Haturkanlah permohonan-permohonan kalian. Ingatlah bahwa Misa
mengandung nilai yang tak terhingga. Sebab itu, bermurah-hatilah dalam
persembahan dan dalam permohonan.”
Di belakang para Malaikat yang pertama, datang malaikat-malaikat
lain tanpa suatupun di tangan mereka; mereka datang dengan tangan kosong. Santa
Perawan mengatakan, “Mereka adalah para Malaikat dari
orang-orang yang, meski ada di sini, tetapi tidak pernah mempersembahkan
apapun. Mereka tidak mempunyai minat untuk mengalami setiap saat liturgis Misa,
dan para malaikat mereka tidak mempunyai persembahan untuk dihaturkan di
hadapan Altar Allah.”
Di akhir prosesi, datang pula malaikat-malaikat lain yang tampak
sedih, dengan tangan mereka terkatup dalam doa, tetapi mata mereka terarah ke
bawah. “Mereka ini adalah para Malaikat
Pelindung dari orang-orang yang ada di sini, namun tidak menghendakinya. Yakni,
orang-orang yang merasa terpaksa datang, yang datang kemari karena kewajiban,
tanpa kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus. Malaikat mereka maju
dengan sedih hati sebab mereka tidak mempunyai suatu apapun untuk dihaturkan di
hadapan Altar, terkecuali doa-doa mereka sendiri.
Janganlah mendukakan
Malaikat Pelindungmu…. Mohonlah banyak-banyak. Memohonlah demi pertobatan
orang-orang berdosa, demi perdamaian dunia, demi sanak saudara, demi sesama,
demi mereka yang mempercayakan diri mereka pada doa-doamu. Mohonlah
banyak-banyak, tidak hanya bagi dirimu sendiri, melainkan juga untuk semua
orang.
Ingatlah bahwa
persembahan yang paling menyenangkan Tuhan adalah ketika kalian mempersembahkan
diri kalian sendiri sebagai korban bakaran agar Yesus, dengan turun-Nya ke
dunia, dapat mengubah kalian melalui jasa-jasa-Nya Sendiri. Apakah yang kalian
miliki dari diri kalian sendiri untuk dipersembahkan kepada Bapa? Ketiadaan dan
dosa; tetapi persembahan diri kalian yang dipersatukan dengan jasa-jasa Yesus,
menyenangkan Bapa.”
Pemandangan itu, prosesi itu begitu indah, hingga sulitlah
membandingkannya dengan yang lain. Segenap makhluk surgawi itu membungkuk
hormat di hadapan Altar, sebagian meninggalkan persembahan mereka di lantai,
sebagian lainnya prostratio dengan kepala nyaris mencium tanah. Dan sesampainya
di Altar, mereka segera lenyap dari pandanganku.
Saat-saat akhir Prefasi telah tiba, dan
sekonyong-komyong, ketika umat mendaraskan, “Kudus, Kudus, Kudus”, segala yang ada di
belakang para selebran lenyap. Di belakang sisi kiri Uskup Agung, tampak
beribu-ribu Malaikat dalam suatu garis diagonal: Malaikat-Malaikat kecil,
Malaikat-Malaikat besar, Malaikat-Malaikat bersayap lebar, Malaikat-Malaikat
bersayap kecil, Malaikat-Malaikat tanpa sayap. Sama seperti Malaikat-Malaikat
sebelumnya, semua mengenakan jubah serupa alba putih para imam atau putera
altar.
Semua berlutut dengan tangan terkatup dalam doa, dan menundukkan
kepala dalam hormat. Terdengar suara musik nan merdu, seolah ada begitu
banyak paduan suara yang berpadu harmoni dalam beragam suara, semuanya
bermadah sesuara dengan umat: Kudus, Kudus, Kudus….
Tibalah saat Konsekrasi, saat yang paling mengagumkan dari segala
Mukjizat …. Di belakang sisi kanan Uskup Agung tampak suatu himpunan besar
orang, juga dalam suatu garis diagional. Mereka mengenakan jubah serupa
dengan jubah para Malaikat Pelindung, tetapi dalam warna-warna lembut: merah
muda, hijau, biru muda, ungu muda, kuning; yakni dalam beraneka warna yang
amat lembut. Wajah mereka juga berbinar-binar, penuh sukacita. Mereka semua
tampak seusia. Kalian dapat melihat (aku tak dapat mengatakan mengapa) bahwa
mereka adalah orang-orang dari berbagai tingkat usia, tetapi wajah mereka
tampak serupa, tanpa kerut, bahagia. Mereka semua berlutut juga, sementara
menyanyi “Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan….”
Bunda Maria mengatakan: “Mereka ini adalah
segenap santa santo dan beata beato di surga, dan di antara mereka terdapat
juga jiwa-jiwa dari sanak saudara dan anggota keluarga kalian yang telah
menikmati Hadirat Tuhan.” Kemudian aku melihat
Bunda Maria. Ia di sana, tepat di sebelah kanan Yang Mulia Uskup Agung…
setapak di belakang selebran. Ia sedikit melayang di atas lantai, berlutut di
atas suatu bantalan yang amat indah, transparan sekaligus bercahaya, serupa
air kristal. Santa Perawan, dengan tangan-tangannya terkatup dalam doa,
memandang dengan penuh perhatian dan hormat kepada selebran. Ia berbicara
kepadaku dari sana, tetapi tanpa suara, langsung ke hatiku, tanpa
memandangku:
“Aneh bagimu
melihatku sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah
seharusnya…. Sekalipun begitu besar kasih PutraKu kepadaku, Ia tidak
memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat
mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang
dilakukan tangan-tangan imamatnya. Karena itulah, aku
merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang
Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.”
Ya Tuhan-ku, betapa martabat, betapa rahmat yang Tuhan limpahkan
atas jiwa-jiwa imamat. Dan kita, bahkan mungkin sebagian dari mereka, tidak
menyadarinya.
Di depan altar, mulai tampak bayangan-bayangan manusia berwarna
abu-abu dengan tangan-tangan terkedang. Santa Perawan mengatakan: “Mereka ini adalah jiwa-jiwa di Api Penyucian yang
menantikan doa-doa kalian agar dilegakan. Janganlah berhenti berdoa bagi
mereka. Mereka berdoa bagi kalian, tetapi mereka tidak dapat berdoa bagi diri
mereka sendiri. Kalianlah yang harus berdoa bagi jiwa-jiwa menderita guna
menolong mereka pergi [dari api penyucian], agar mereka dapat bersama dengan Tuhan dan menikmati-Nya
dalam keabadian.
Sekarang engkau
lihat, aku ada di sini sepanjang waktu. Orang banyak pergi berziarah dan
mencari tempat-tempat di mana aku menampakkan diri. Itu baik, sebab segala
rahmat yang mereka terima di sana. Tetapi, tidak dalam penampakan manapun,
pula tidak di tempat manapun, aku hadir terlebih lama [sepanjang waktu] dari di Misa Kudus.
Kalian akan selalu mendapatiku di kaki Altar di mana Ekaristi dirayakan. Di
kaki Tabernakel, aku tinggal bersama para malaikat sebab aku senantiasa
bersama-Nya.”
Memandang wajah rupawan Bunda kita pada saat “Sanctus” itu,
bersama segenap yang lainnya dengan wajah-wajah mereka yang bercahaya,
tangan-tangan terkatup dalam doa, menantikan mukjizat yang berulang terus-menerus,
adalah berada di surga itu sendiri. Dan memikirkan bahwa ada orang-orang yang,
pada saat itu, dapat beralih perhatiannya dalam pembicaraan. Sungguh
menyedihkan bahwa banyak laki-laki, lebih banyak dari kaum perempuan, yang
berdiri dengan tangan terlipat, seolah memberikan penghormatan kepada Tuhan
yang setara dengan mereka.
Bunda Maria mengatakan: “Katakanlah
kepada semua orang bahwa tidak pernah seorang laki-laki terlebih jantan
daripada saat ia bertekuk lutut di hadapan Tuhan.”
Selebran mendaraskan kata-kata Konsekrasi. Ia adalah seorang
dengan tinggi badan normal, tetapi sekonyong-konyong, ia mulai bertumbuh dan
dipenuhi cahaya. Suatu cahaya adikodrati antara putih dan emas melingkupinya
dan semakin bertanbah kuat dalam cahaya sekeliling wajahnya, begitu rupa
hingga aku tak dapat melihat wajahnya. Ketika ia mengunjukkan Hosti, aku
melihat tangannya. Ada tanda-tanda di punggung kedua tangannya, dari mana
memancar berlimpah cahaya. Itu Yesus!... Dia-lah yang merengkuhkan Tubuh-Nya
sekeliling selebran, seolah Ia dengan penuh kasih membimbing tangan-tangan
Uskup Agung. Pada saat itu, Hosti mulai bertumbuh dan menjadi sangat besar,
dan di atasnya tampak Wajah Yesus yang mengagumkan, memandang kepada
umat-Nya.
Secara naluri, aku hendak menundukkan kepalaku, tetapi Bunda
Maria mengatakan: “Janganlah menunduk.
Tegakkanlah kepalamu untuk memandang dan mengkontemplasikan Dia. Tataplah
mata-Nya dan ulangilah doa Fatima: Tuhan,
aku percaya, aku menyembah, aku berharap, dan aku mengasihi Engkau. Aku mohon
pengampunan bagi mereka yang tidak percaya, yang tidak menyembah, yang tidak
berharap, dan yang tidak mengasihi Engkau. Pengampunan dan Kerahiman…. Sekarang katakan kepada-Nya betapa engkau
mengasihi-Nya dan haturkanlah sembah sujudmu kepada Raja segala Raja.”
Aku mengatakannya kepada-Nya. Tampak seolah aku adalah
satu-satunya yang Ia tatap dari Hosti besar itu. Tetapi aku mengerti bahwa
demikianlah Ia memandang tiap-tiap orang, dengan kasih yang sepenuh-penuhnya.
Kemudian aku menundukkan kepala hingga keningku
menyentuh lantai, seperti yang dilakukan segenap malaikat dan para kudus dari
surga. Mungkin sekejap, aku
terheran-heran bagaimana Yesus mengenakan tubuh selebran dan, pada saat yang
sama, Ia berada dalam Hosti. Dan sementara Uskup Agung menurunkan Hosti,
Hosti kembali ke ukurannya yang normal. Airmata mengalir menuruni kedua
pipiku. Aku tak dapat lepas dari ketakjubanku.
Segera sesudahnya, Monsignor mendaraskan kata-kata konsekrasi
anggur dan, sementara kata-kata didaraskan, kilat muncul di langit dan di
latar belakang. Tiada lagi atap dan dinding-dinding gereja. Semuanya gelap,
terkecuali cahaya cemerlang di Altar.
Sekonyong-konyong, melayang di udara, aku melihat Yesus yang
tersalib. Aku melihat-Nya dari kepala hingga bagian dada sebelah bawah. Palang
Salib ditopang oleh tangan-tangan yang besar dan kuat. Dari dalam cahaya yang
kemilau muncul suatu cahaya gemilang yang jauh lebih kecil, serupa seekor
merpati yang amat kecil dan amat cemerlang. Merpati terbang pesat satu kali
mengelilingi seluruh gereja dan akhirnya bertengger di atas pundak kiri Uskup
Agung, yang terus tampak bagai Yesus sebab aku dapat mengenali rambut-Nya
yang panjang, luka-luka-Nya yang bercahaya, tubuh-Nya yang besar, tetapi aku
tak dapat melihat wajah-Nya.
Di atasnya, Yesus yang tersalib, kepala-Nya terkulai di atas
pundak kanan-Nya. Aku dapat mengkontemplasikan wajah-Nya, tangan-tangan-Nya
yang memar dan daging yang terkoyak. Di sebelah kanan dada-Nya, ada suatu
luka dan darah memancar keluar ke sebelah kiri; dan sesuatu yang tampak
seperti air, tetapi kemilau, [memancar]ke sebelah kanan. Aliran-aliran ini lebih
menyerupai pancaran cahaya yang memancar kepada umat beriman, dan bergerak ke
kanan dan ke kiri. Aku takjub akan banyaknya darah yang tercurah ke dalam
Piala. Aku pikir darah-Nya akan meluap dan membanjiri seluruh Altar, namun
tiada setetes pun yang tumpah.
Pada saat itu, Santa Perawan Maria mengatakan: “Inilah mukjizat dari
segala mukjizat. Telah kukatakan kepadamu sebelumnya bahwa Tuhan tidak
dibatasi waktu dan ruang. Pada saat Konsekrasi, segenap jemaat dibawa ke kaki
Kalvari, pada saat penyaliban Yesus.”
Dapatkah seorang pun membayangkannya? Mata kita tidak dapat
melihatnya, tetapi kita semua ada di sana tepat pada saat Yesus disalibkan.
Dan Ia memohon pengampunan kepada Bapa, tidak hanya bagi mereka yang hendak
membunuh-Nya, melainkan juga bagi setiap dosa kita: “Bapa, ampunilah mereka,
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Sejak hari itu, aku tidak peduli apakah aku dianggap gila,
tetapi aku meminta semua orang untuk berlutut dan untuk berusaha mengalami
hak istimewa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, dengan segenap hati dan
dengan segala perasaan yang mampu ia ungkapkan.
Ketika kami hendak mendaraskan Bapa Kami, Tuhan berbicara
untuk pertama kalinya sepanjang perayaan itu; Ia mengatakan: “Tunggu, Aku menghendaki
kalian mendoakannya dengan sekhidmad mungkin. Pada saat ini, Aku menghendaki
kalian memikirkan seseorang atau orang-orang yang telah melakukan kesalahan
terbesar dalam hidupmu, agar engkau dapat memeluk mereka erat-erat, dan
mengatakan kepada mereka dari lubuk hatimu: `Dalam Nama Yesus, aku mengampunimu dan memberikan damaiku bagimu.
Dalam Nama Yesus, aku mohon pengampunanmu dan mengharapkan damaimu bagiku.'
Jika orang tersebut pantas mendapatkan damai, maka ia akan menerimanya dan
mendapatkan banyak rahmat darinya; jika orang itu tidak dapat membuka hati
bagi damai, maka damai akan kembali ke dalam hatimu. Tetapi Aku tidak
menghendaki kalian menerima atau menawarkan damai kepada yang lain apabila
kalian tidak dapat mengampuni dan merasakan damai itu terlebih dahulu dalam
hatimu.
Berhati-hatilah akan apa yang kalian lakukan,” lanjut Tuhan, “kalian mengulang dalam
doa Bapa Kami: ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang
bersalah kepada kami. Jika kalian dapat mengampuni tetapi tidak melupakan,
seperti dikatakan sebagian orang; kalian menempatkan prasyarat atas
pengampunan Tuhan. Kalian mengatakan: Engkau mengampuniku hanya karena aku
dapat mengampuni, tidak lebih dari itu.”
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kesedihanku, menyadari
betapa mudahnya kita dapat menyakiti Tuhan. Juga betapa mudahnya kita dapat
menyakiti diri kita sendiri dengan menimbun begitu banyak dendam, perasaan
tidak enak dan hal-hal buruk yang terlahir dari prasangka kita sendiri dan
karena kita terlalu mudah tersinggung. Aku mengampuni; aku mengampuni dari
lubuk hatiku, dan memohon pengampunan dari semua orang yang pernah aku
sakiti, agar aku dapat merasakan damai Tuhan.
Selebran mengatakan, “… berilah kami damai-Mu …” dan kemudian, “damai Tuhan sertamu.”
Sekonyong-konyong aku melihat di antara sebagian (tidak semua)
orang yang saling memeluk satu sama lain, suatu cahaya yang amat kuat
menempatkan diri di antara mereka. Aku tahu itu adalah Yesus, dan aku
hampir-hampir melemparkan diriku untuk memeluk orang di sebelahku. Aku
sungguh dapat merasakan pelukan Tuhan dalam cahaya itu. Dia-lah yang
memelukku untuk memberikan damai-Nya bagiku, sebab pada saat itu aku telah
dapat mengampuni dan menghapuskan dari hatiku segala kesedihan yang
diakibatkan orang-orang lain. Itulah yang Yesus kehendaki, ikut ambil bagian
dalam momen sukacita itu, memeluk kita guna memberikan Damai-Nya bagi kita.
Tibalah saat Komuni selebran. Di sana, sekali lagi aku melihat
kehadiran semua imam lain di samping Monsignor. Ketika Monsignor menyambut
Komuni, Santa Perawan Maria mengatakan:
“Inilah saatnya untuk
berdoa bagi selebran dan para imam yang mendampinginya. Ulangilah bersamaku:
`Tuhan, berkatilah mereka, kuduskanlah
mereka, tolonglah mereka, murnikanlah mereka, kasihilah mereka, peliharalah
mereka dan topanglah mereka dengan Kasih-Mu.' Ingatlah akan segenap imam di
seluruh dunia. Berdoalah bagi segenap jiwa-jiwa yang dikonsekrasikan….”
Saudara dan saudari terkasih, inilah saat di mana kita
seharusnya berdoa bagi mereka, sebab mereka adalah Gereja, seperti kita juga,
kaum awam. Begitu banyak kali kita, kaum awam, menuntut banyak dari para
imam, tetapi kita tidak dapat berdoa bagi mereka, mengerti bahwa mereka
adalah manusia, dan memahami serta menghargai kesendirian yang banyak kali
meliputi seorang imam.
Seharusnya kita mengerti bahwa para imam adalah manusia seperti
kita juga, dan bahwa mereka butuh perhatian dan pengertian kita. Mereka
membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kita sebab dalam
mengkonsekrasikan diri mereka sendiri kepada Yesus, mereka memberikan hidup
mereka bagi masing-masing kita, seperti yang Yesus lakukan.
Tuhan menghendaki umat dalam kawanan, yang dipercayakan Tuhan
kepada imam, berdoa bagi imam mereka dan membantu dalam pengudusannya. Suatu
hari, apabila kita telah berada di dunia yang lain, kita akan mengerti betapa
mengagumkan yang telah Tuhan lakukan dengan memberikan bagi kita, imam-imam
untuk membantu kita menyelamatkan jiwa kita.
Orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka untuk menyambut
Komuni. Saat agung perjumpaan dalam Komuni Kudus telah tiba. Tuhan mengatakan
kepadaku:“Sebentar. Aku ingin
engkau mengamati sesuatu….” Suatu dorongan batin membuat aku mengarahkan
mataku kepada seorang yang akan menyambut Komuni di lidah dari tangan imam.
Perlu aku terangkan bahwa ia adalah salah seorang perempuan dari
kelompok kami yang malam sebelumnya tak dapat Mengaku Dosa, tetapi pagi ini
melakukannya sebelum Misa Kudus. Ketika imam menerimakan Hosti Kudus di
lidahnya, sesuatu bagai suatu kilasan cahaya, suatu cahaya yang amat putih
keemasan (yang aku lihat sebelumnya) menembusi pertama-tama punggung orang
ini, dan lalu melingkupi punggungnya, pundaknya, dan kepalanya. Tuhan
mengatakan:
“Begitulah bagaimana Aku
bersukahati memeluk suatu jiwa yang datang dengan hati yang bersih untuk
menyambut-Ku!” Nada suara Yesus
adalah nada suara seorang yang bergembira.
Dengan takjub aku melihat temanku yang kembali ke bangkunya,
dengan dilingkupi cahaya, dipeluk oleh Tuhan. Aku bertanya-tanya betapa
banyak kita kehilangan dalam menyambut Yesus dengan pelanggaran-pelanggaran
kecil ataupun pelanggaran-pelanggaran besar kita, padahal seharusnya itu
adalah suatu pesta.
Kerap kita mengatakan bahwa tidak senantiasa ada imam kepada
siapa kita Mengaku Dosa. Tetapi masalahnya bukan mengenai selalu pergi
Mengaku Dosa. Masalahnya terletak pada mudahnya kita jatuh lagi ke dalam
dosa. Di lain pihak, sama seperti halnya seorang perempuan berupaya mencari
salon kecantikan atau seorang pria mencari salon potong rambut apabila hendak
ke pesta, kita juga berupaya mencari imam apabila kita menghendaki segala
kekotoran itu dihapuskan dari diri kita. Janganlah
kita memiliki keberanian untuk menyambut Yesus setiap saat dengan hati kita
yang kotor.
|
|
Ketika aku pergi menyambut komuni, Yesus mengatakan: “Perjamuan Malam Terakhir adalah saat keakraban
teragung dengan DiriKu Sendiri. Pada jam kasih itu, Aku menetapkan apa yang di
mata umat manusia mungkin dipandang sebagai kegilaan terbesar, yakni menjadikan
DiriKu Sendiri seorang Tawanan Cinta. Aku menetapkan Ekaristi. Aku rindu
tinggal bersama kalian hingga akhir waktu sebab Kasih-Ku tidak sanggup
membiarkan kalian, yang Aku kasihi lebih dari Nyawa-Ku Sendiri, ditinggalkan
sendirian sebagai yatim piatu….”
Aku menyambut Hosti itu yang memiliki rasa yang berbeda. Campuran
darah dan dupa yang sepenuhnya merasukiku. Aku merasakan kasih yang begitu
dahsyat hingga airmata membanjiri kedua pipiku tanpa aku sanggup
menghentikannya.
Ketika aku kembali ke bangkuku dan mulai berlutut, Tuhan
mengatakan: “Dengarkan….” Sesaat kemudian, aku mulai mendengar doa yang
dipanjatkan seorang perempuan yang duduk di depanku dan yang baru saja
menyambut komuni.
Apa yang dikatakannya, tanpa membuka mulutnya, kurang lebih
seperti ini: “Tuhan, ingatlah bahwa kita berada di penghujung bulan, dan aku
tak punya uang untuk membayar sewa, mobil dan sekolah anak-anak. Engkau harus
melakukan sesuatu untuk menolongku…. Mohon, buatlah suamiku berhenti banyak
minum. Aku tak tahan lagi ia begitu sering mabuk, dan putera bungsuku akan
harus mengulang pelajaran lagi tahun ini jika Engkau tidak menolongnya. Minggu
ini dia ujian. Dan jangan lupa bahwa tetangga kami itu harus pindah ke tempat
lain. Buatlah ia pindah dengan segera sebab aku tak tahan lagi terhadapnya…
dst., dst.”
Kemudian Uskup Agung mengatakan: “Marilah berdoa,” dan serentak semua jemaat berdiri untuk doa
penutup. Yesus mengatakan dalam nada sedih: “Adakah engkau perhatikan?
Tak satu kali pun ia mengatakan bahwa ia mengasihi Aku. Tak satu kali pun ia
mengucap syukur atas karunia yang Aku anugerahkan kepadanya dengan merendahkan
ke-Allah-an-Ku ke kemanusiaannya yang malang demi mengangkatnya kepada-Ku. Tak
satu kali pun ia mengatakan: `Terima kasih, Tuhan.' Doanya adalah suatu litani
permohonan… dan hampir semua yang datang untuk menyambut-Ku, seperti itu.
Aku telah wafat demi kasih, dan Aku bangkit
kembali. Demi kasih Aku menanti masing-masing dari kalian, dan demi kasih Aku
tinggal bersama kalian…. Tetapi kalian tidak sadar bahwa Aku membutuhkan kasih
kalian. Ingatlah bahwa Aku seorang Pengemis Cinta dalam jam agung bagi jiwa.”
Adakah kalian semua menyadari bahwa Ia, sang Kasih, mengemis kasih
kita, dan kita tidak memberikannya kepada-Nya? Terlebih lagi, kita menghindarkan
diri dari datang ke perjumpaan dengan Kasih dari segala Kasih, dengan
satu-satunya Kasih yang memberikan DiriNya Sendiri dalam kurban abadi.
Ketika selebran hendak menyampaikan berkat, Santa Perawan mengatakan: “Perhatikanlah,
berhati-hatilah…. [Banyak dari] Kalian
membuat tanda kuno dan bukannya Tanda Salib. Ingatlah bahwa berkat ini dapat
menjadi yang terakhir yang kalian terima dari tangan seorang imam. Kalian tidak
tahu apakah setelah meninggalkan tempat ini, kalian akan meninggal atau tidak.
Kalian tidak tahu apakah kalian beroleh kesempatan untuk menerima berkat dari
imam lain. Tangan-tangan yang telah dikonsekrasikan itu memberi kalian berkat
dalam Nama Tritunggal Mahakudus. Sebab itu, buatlah Tanda Salib dengan hormat,
seolah itulah yang terakhir dalam hidupmu.”
Betapa banyak kita kehilangan dengan ketidakpahaman dan dengan
ketidakikutsertaan kita setiap hari dalam Misa Kudus! Mengapakah kita tidak
berupaya untuk memulai hari setengah jam lebih awal dan bergegas datang ke Misa
Kudus dan menerima segala rahmat yang rindu Tuhan limpahkan atas kita?
Aku sadar bahwa tidak setiap orang dapat ikut ambil bagian setiap
hari dalam Misa karena kesibukan-kesibukan mereka, tetapi setidaknya dua atau
tiga kali dalam seminggu. Walau demikian, begitu banyak orang menjauhkan diri
dari Misa hari Minggu dengan alasan-alasan yang paling remeh: bahwa mereka
mempunyai seorang anak, atau dua, atau sepuluh, dan karenanya mereka tidak
dapat pergi ke Misa. Bagaimanakah orang dapat mengatur apabila mereka mempunyai
komitmen-komitmen lainnya yang penting? Mereka membawa semua anak-anak bersama
mereka, atau mereka pergi bergantian - suami pergi di jam yang satu dan isteri
pada jam yang lain - dengan demikian mereka memenuhi kewajiban mereka terhadap
Tuhan.
Kita punya waktu untuk belajar, untuk bekerja,
untuk bersenang-senang, untuk beristirahat, tetapi KITA TIDAK PUNYA WAKTU,
SETIDAKNYA PADA HARI MINGGU, UNTUK PERGI KE MISA KUDUS.
Yesus memintaku untuk tinggal bersama-Nya sedikit lebih lama
sesudah Misa usai. Ia mengatakan: “Janganlah bergegas pergi
begitu Misa usai; tinggallah beberapa saat bersama-Ku. Nikmatilah dan biarkan
Aku menikmati kebersamaan denganmu….”
Semasa kanak-kanak, aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Tuhan
tinggal bersama kita selama lima atau sepuluh menit sesudah Komuni. Aku
menanyakannya kepada-Nya saat itu: “Tuhan, berapa lamakah sesungguhnya Engkau
tinggal bersama kami sesudah Komuni?”
Aku pikir pastilah Tuhan tertawa atas ketololanku, sebab Ia
menjawab: “Sepanjang
kalian menghendaki Aku bersama kalian. Jika kalian berbicara kepada-Ku
sepanjang hari, mempersembahkan beberapa kata kepada-Ku sementara kalian
melakukan pekerjaan-pekerjaan kalian, Aku akan mendengarkan kalian. Aku
senantiasa bersama kalian semua. Kalianlah yang meninggalkan Aku. Kalian
meninggalkan Misa dan hari kewajibanmu berakhir sudah. Kalian memelihara hari
Tuhan dan sekarang selesailah tugasmu. Kalian tidak berpikir bahwa Aku rindu
ikut ambil bagian dalam kehidupan keluarga kalian bersama kalian, setidaknya
pada hari itu.
Di rumah, kalian mempunyai tempat untuk segala sesuatunya dan ruang
untuk setiap aktivitas: ruang untuk tidur, yang lainnya untuk memasak, yang
lainnya untuk makan, dll, dll, …. Yang manakah tempat yang kalian peruntukkan
bagi-Ku? Tempat itu bukanlah sekedar tempat di mana kalian menggantungkan suatu
lukisan yang berdebu sepanjang waktu, melainkan tempat di mana setidaknya lima menit dalam sehari,
keluarga berkumpul bersama untuk menyampaikan syukur terima kasih atas hari itu
dan atas anugerah hidup, untuk memohon kebutuhan-kebutuhan pada hari itu, untuk
memohon berkat, perlindungan, kesehatan…. Segala sesuatu mempunyai tempat dalam rumah-rumah kalian, terkecuali
Aku.
Manusia merencanakan hari mereka, pekan mereka, semester mereka,
liburan mereka, dst…. Mereka tahu kapan mereka akan beristirahat, kapan mereka
akan pergi menonton film atau ke pesta, atau mengunjungi nenek atau cucu, teman
dan sahabat mereka, anak-anak, atau pergi bersenang-senang. Berapa banyakkah
keluarga yang mengatakan setidaknya sekali dalam sebulan: `Inilah hari giliran
kita untuk pergi dan mengunjungi Yesus dalam Tabernakel,' dan seluruh keluarga
datang untuk bercakap-cakap dengan-Ku? Berapa banyakkah yang duduk di
hadapan-Ku dan berbincang dengan-Ku, menceritakan apa-apa yang terjadi sejak
terakhir berjumpa, menceritakan masalah-masalahnya, kesulitan-kesulitannya,
memohon pada-Ku apa yang mereka butuhkan … mengijinkan-Ku ikut ambil bagian
dalam segala problematika mereka? Berapa kali?
Aku tahu semuanya. Aku membaca bahkan rahasia-rahasia terdalam yang
tersembunyi dalam hati dan pikiran kalian. Tetapi Aku senang kalian
menceritakan kepada-Ku segala hal mengenaimu, mengijinkan-Ku ikut ambil bagian
sebagai seorang anggota keluarga, sebagai sahabat yang paling karib. Betapa
banyak manusia kehilangan rahmat-rahmat dengan tidak memberi-Ku tempat dalam
hidupnya!”
Ketika aku tinggal bersama-Nya pada hari itu dan pada banyak
hari-hari lainnya, Ia terus menyampaikan pengajaran-Nya kepada kita. Pada hari
ini aku hendak berbagi bersama kalian misi ini yang Ia percayakan kepadaku.
Yesus mengatakan:
“Aku rindu menyelamatkan ciptaan-Ku, sebab saat pembukaan pintu
Surga telah diresapi dengan begitu banyak sakit….” “Ingatlah bahwa bahkan tak
seorang ibu pun pernah memberi makan anaknya dengan dagingnya sendiri. Aku
telah melampaui tindakan Kasih yang ekstrim itu demi menganugerahkan
jasa-jasa-Ku kepada kalian semua.”
“Misa Kudus adalah DiriKu Sendiri yang melestarikan hidup-Ku dan
kurban-Ku di salib di antara kalian. Tanpa jasa-jasa hidup-Ku dan darah-Ku,
apakah gerangan yang kalian miliki untuk datang di hadapan Bapa? Ketiadaan,
kemalangan dan dosa….”
“Kalian seharusnya mengungguli para Malaikat dan para Malaikat Agung
dalam keutamaan, sebab mereka tidak menikmati sukacita menyambut-Ku sebagai
santapan seperti kalian. Mereka minum setetes dari mata air, tetapi kalian,
yang mempunyai rahmat untuk menyambut-Ku, ada pada kalian seluruh samudera raya
untuk diminum.”
Hal lain yang dibicarakan Tuhan dengan sedih menyangkut orang-orang yang pergi ke perjumpaan mereka
dengan-Nya karena kebiasaan, jiwa-jiwa yang telah kehilangan keterpesonaan
dalam setiap perjumpaan dengan-Nya. Yesus mengatakan bahwa rutinitas telah
menjadikan sebagian orang begitu suam-suam kuku hingga tidak ada sesuatu yang
baru pada mereka untuk diceritakan kepada-Nya ketika mereka menyambut-Nya. Ia
juga berbicara mengenai tak sedikit jiwa-jiwa yang telah dikonsekrasikan, yang
kehilangan gairah cinta kepada Tuhan, dan menjadikan panggilan mereka sebagai
suatu pekerjaan, suatu profesi di mana mereka memberi tidak lebih dari apa yang
diminta dari mereka, tetapi tanpa perasaan….
Kemudian Tuhan berbicara kepadaku mengenai buah-buah yang harus dihasilkan dari
setiap Komuni yang kita sambut. Sungguh terjadi ada orang-orang yang menyambut Tuhan setiap hari
tetapi hidup mereka tidak berubah. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu
dalam doa dan melakukan banyak karya, dst, dst, tetapi hidup mereka tidak terus
berubah, dan suatu jiwa yang tidak terus berubah tidak dapat menghasilkan
buah-buah sejati bagi Tuhan. Jasa-jasa yang kita terima dalam Ekaristi
seharusnya menghasilkan buah-buah pertobatan dalam diri kita dan buah-buah
belas kasih kepada sesama saudara dan saudari.
Kita, kaum awam, mempunyai peran amat penting dalam Gereja kita. Kita tidak mempunyai hak untuk tinggal diam, sebab Tuhan telah
mengutus kita, semua orang yang dibaptis, untuk pergi dan mewartakan Kabar
Baik. Kita tidak mempunyai hak untuk menyerap segala pengetahuan ini dan
tidak membagikannya kepada yang lain juga, dan membiarkan saudara saudari kita
mati kelaparan sementara ada begitu banyak roti di tangan kita.
Kita tidak dapat melihat Gereja kita hancur sementara kita dengan
nyaman tinggal dalam paroki-paroki dan rumah-rumah kita, menerima dan menerima
begitu banyak dari Tuhan: Sabda-Nya, homili imam, ziarah, Kerahiman Ilahi dalam
Sakramen Rekonsiliasi, persatuan mengagumkan dan santapan rohani dari Komuni
Suci, khotbah para pewarta.
Dengan kata lain, kita menerima demikian banyak dan kita tak
memiliki keberanian untuk meninggalkan zona nyaman kita dan pergi ke penjara,
ke lembaga rehabilitasi dan berbicara kepada mereka yang paling membutuhkan.
Mengatakan kepada mereka untuk tidak menyerah, bahwa mereka dilahirkan Katolik
dan bahwa Gereja membutuhkan mereka di sana, menderita, sebab penderitaan
mereka berguna untuk menebus yang lainnya, sebab kurban itu akan memperolehkan
bagi mereka kehidupan abadi.
Kita tak sanggup mengunjungi rumah-rumah sakit,
pergi kepada mereka yang sakit parah, dan mendaraskan Koronka Kerahiman Ilahi demi menolong mereka
dengan doa-doa kita sepanjang masa pergulatan antara yang baik dan yang jahat,
dan demi membebaskan mereka dari jerat dan pencobaan-pencobaan setan. Setiap
orang yang berada di ambang maut menghadapi ketakutan, dan mereka merasa
terhibur apabila sekedar kita memegang tangan mereka dan berbicara kepada
mereka mengenai kasih Allah dan sukacita yang menanti mereka di Surga, dekat
dengan Yesus dan Maria, dekat dengan orang-orang yang mereka kasihi yang telah
meninggal dunia.
Jam di mana kita sekarang hidup tidak mengijinkan kita untuk acuh
tak acuh. Kita haruslah menjadi perpanjangan tangan para imam kita dan pergi ke
tempat yang tak terjangkau oleh mereka. Tetapi agar kita mendapatkan keberanian
untuk melakukannya, kita harus menyambut Yesus, hidup bersama Yesus, dan
menghidupi diri dengan Yesus.
Kita takut untuk memberikan komitmen sedikit lebih jauh. Ketika
Tuhan bersabda, “Carilah dahulu Kerajaan Allah, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu,” Ia
mengatakan semuanya, saudara dan saudariku. Artinya mencari Kerajaan Allah
dengan segala cara yang mungkin dan melalui segala sarana yang ada, dan…
membuka tangan kita demi menerima SEMUANYA sebagai tambahan! Ini karena Ia
adalah Tuan, yang mengganjari dengan yang terbaik; Ia satu-satunya yang
memberikan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan kalian yang paling remeh sekali
pun.
†
Saudara dan saudari, terima kasih telah mengijinkanku melaksanakan
misi yang dipercayakan kepadaku, yakni bahwa halaman-halaman ini sampai kepada
kalian.
Di kali mendatang kalian ikut ambil bagian dalam Misa Kudus,
alamilah. Aku tahu bahwa Tuhan akan menggenapi bagi kalian janji-Nya bahwa
“Misa kalian tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya,” dan ketika kalian
menyambut-Nya, kasihilah Dia! Nikmatilah kemanisan merasakan diri kalian
sendiri beristirahat dalam luka di lambung-Nya, yang ditembusi bagi kalian demi
meninggalkan Gereja-Nya dan BundaNya bagi kalian; demi membukakan bagi kalian pintu
Rumah BapaNya, agar kalian dapat merasakan sendiri Kasih-Nya yang Maharahim
melalui kesaksian ini, dan berusaha untuk membalas-Nya dengan kasih
kekanak-kanakkan kalian.
Kiranya Tuhan memberkati kalian di Masa Paskah ini.
Saudarimu dalam Yesus yang Hidup,
Catalina
Misionaris Awam dari Hati Ekaristis Yesus
Sumber: “The Testimony of Catalina on the Holy Mass”; The Great
Crusade of Love and Mercy, Inc., P.O. Box 857, Lithonia, Georgia 30058 USA;
www.greatcrusade.org atau www.loveandmercy.org
Dipersilakan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan
mencantumkan: “diterjemahkan
oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan