Lalu Yesus masuk ke
Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada
mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya
sarang penyamun.”
Tiap-tiap hari Ia
mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta
orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi
mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat
kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48)
Bacaan Pertama: Why
10:8-11; Mazmur Tanggapan: Mzm 119:14,24,72,103,111,131
Menjual hewan
kurban dan menukar uang asing merupakan jasa pelayanan yang memang diperlukan
untuk kepentingan para peziarah yang datang ke kota Yerusalem. Pada
kenyataannya, sejumlah “pasar” itu berlokasi di dekat Bait Suci. Namun di bawah
kepengurusan imam besar Kayafas, halaman bagian luar Bait Suci juga menjelma
menjadi pasar yang ramai. Penyusupan tempat berdagang ini ke dalam halaman
bangunan suci ini sungguh tidak berkenan di mata sejumlah orang, namun apa daya
…… karena tempat itu dikelola oleh para petugas Bait Suci……. mereka yang
memegang kekuasaan di bidang keagamaan.
Bayangkanlah betapa
hiruk-pikuknya tempat seperti itu: Domba-domba mengembik keras sambil
mengeluarkan aroma yang tidak sedap, burung-burung dara mengepak-ngepakkan
sayap dan gemerincing uang-uang logam para penukar uang sungguh mengganggu
telinga. Bayangkanlah betapa sulitnya dan tidak nyamannya “orang-orang yang
takut kepada Allah” (mereka adalah non-Yahudi) yang hanya diperbolehkan masuk
sampai batas itu saja, tidak boleh masuk lebih jauh lagi. Oleh karena itu Yesus
mengusir para pedagang karena Dia ingin memelihara Bait Suci sebagai tempat doa
bagi setiap orang. Yesus tentunya juga merasa terganggu dengan para pedagang
yang mendongkrak nilai tukar mata uang atau menjual hewan-hewan kurban dengan
harga “setinggi langit”. Praktek-praktek sedemikianlah yang membuat Yesus
dengan geram menyatakan, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu
menjadikannya sarang penyamun.” (Luk 19:46).
Sebagaimana halnya
dengan para imam di Bait Allah dan para administratur pada zaman Yesus, kita
manusia zaman modern yang adalah para anggota Gereja juga menghadapi banyak
perangkap. Kepentingan diri-sendiri senantiasa ingin menguasai hati dan
tindakan-tindakan kita. Di dunia Barat mereka yang dinamakan “Katolik
konservatif” dan “Katolik Liberal” tergoda untuk saling mengkritisi dengan
keras. Dewan paroki dapat merupakan ajang pertikaian dan konflik, juga arena
clash antara pribadi-pribadi yang duduk di sana, lebih daripada hasrat yang
tulus untuk membangun Gereja. “Ketiadaan doa” setiap saat dapat merampas kita
dari “sukacita dan damai-sejahtera” yang senantiasa harus menjadi “tanda” dari
orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Kalau begitu
halnya, bagaimana kita masih tetap menyatakan, bahwa kita percaya pada Gereja
yang “satu, kudus, katolik dan apostolik”? Jawabnya: Karena Gereja itu sebuah
institusi yang bersifat insani dan pada saat yang sama bersifat ilahi. Dengan
begitu, kekudusan Gereja adalah “riil”, namun juga “tidak sempurna” (lihat
“Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja”, 48). “Gereja itu suci, dan
sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan
dan pembaharuan” (Lumen Gentium, 8).
Masing-masing kita
dapat berpartisipasi dalam pembaharuan Gereja yang berkesinambungan melalui
doa-doa kita, dan lewat upaya yang tulus untuk senantiasa berjalan dalam kasih
Tuhan. Marilah kita bersama-sama bergabung dalam gerakan pembaharuan Gereja,
“supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja” (Lumen
Gentium, 15).
DOA: Tuhan Yesus,
bersihkanlah hati kami dari segala hal yang merusak citra-Mu dalam diri kami.
Tolonglah kami agar dapat mencerminkan kekudusan-Mu dan kebaikan-Mu kepada
setiap orang yang melihat Gereja-Mu. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan