(Permenungan atas
bacaan-bacaan Kitab Suci Misa Kudus pada hari HARI MINGGU ADVEN III [Tahun C])
Bacaan Pertama: Zef
3:14-18; Mazmur Tanggapan: Yes 12:2-6; Bacaan Kedua: Flp 4:4-7; Bacaan Injil:
Luk 3:10-18
Bacaan Injil.
Bacaan Injil hari ini kembali menampilkan Yohanes Pembaptis. Sang Bentara
Mesias ini menuntut perbuatan yang nyata sebagai persiapan untuk kedatangan
Yesus, sebagai bukti adanya pertobatan. Yohanes Pembaptis tidak menyuruh orang
banyak yang mendengarkan khotbahnya: “Kamu harus berdoa”, Kamu harus berpuasa”,
atau “Kamu harus menyiapkan acara yang “wah”-meriah untuk menyambut kedatangan
Mesias yang akan datang.” Yohanes Pembaptis menanggapi pertanyaan-pertanyaan
orang banyak, a.l. seperti berikut ini: “Siapa saja yang mempunyai dua helai
baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan siapa saya yang
mempunyai makanan, hendaklah ia berjuga demikian.” (Luk 3:11; lihat juga Luk
3:13,14).
Kembali kepada
masalah “doa” yang disinggung di atas. Memang doa itu penting, namun doa tidak
akan banyak berguna apabila setelah berdoa kita kembali melakukan korupsi,
memperlakukan orang-orang lain dengan tidak adil, misalnya dengan memeras,
menyalahgunakan kekuasaan kita untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri,
dlsb. Doa-doa kita akan menjadi semacam perbuatan menipu Allah jika tidak
disusul dengan perbuatan-perbuatan baik. Tidak ada gunanyalah kiranya doa-doa
kita yang panjang atau berlama-lama berbicara dengan Sang Mahatinggi apabila
sedikit sekali atau bahkan samasekali tidak disertai dengan perbuatan baik
kepada sesama. Tindakan nyata dalam wujud perbuatan baik senantiasa dibutuhkan,
tidak boleh NATO (No Action, Talk Only!). Itulah salah satu pesan Injil pada
hari ini.
Holiday Sorrow.
Masa Adven ini adalah masa pertobatan yang khusus, namun juga masa menantikan
hari untuk mengenang kelahiran Yesus di Betlehem, masa penuh sukacita dalam
menantikan kedatangan sang Raja Damai! Namun demikian, apakah yang terjadi
dengan diri kita? Bukan sukacita yang menguasai diri kita melainkan rasa sedih
dan rasa tertekanlah yang menguasai diri kita. Dan hal ini terjadi justru pada
saat kita “sibuk” beraktivitas dalam rangka menyambut hari kelahiran sang
Penebus, menyiapkan kandal Natal, pohon Natal, menyiapkan hadiah-hadiah Natal,
menyiapkan makanan yang sungguh dapat memuaskan cita-rasa, dlsb. Tidak sedikit
para ahli psikologi berusaha untuk menerangkan sebab musabab dari “holiday
sorrow” ini, misalnya banyak impian yang tak menjadi kenyataan sepanjang
kehidupan seseorang dll. Apapun alasannya, sedikit banyak kita masing-masing
tentunya telah mengalami hal yang serupa.
Kita memiliki
banyak alasan untuk merasa sedih dan tertekan hidup di dunia ini. Kita tertekan
oleh berbagai beban, derita, dan kesulitan yang membuat kita sungguh sedih.
Dunia yang penuh kekerasan, ketidak-adilan, kemiskinan yang terus dialami oleh
mayoritas penduduk dunia, dlsb. Namun sebelum kita pergi jauh ke tanah
Palestina, Myanmar, Somalia dst., marilah kita merenungkan apakah yang terjadi
di negara kita sendiri – Indonesia – yang tercinta ini. Begitu banyak yang
terasa salah di negara kita. Setiap kali kita menonton berita di televisi, yang
kita lihat adalah adegan kekerasan di segala tempat, demonstrasi di jalan raya,
tawuran antara siswa-siswa sekolah, bahkan antara para mahasiswa dalam
universitas yang sama (sebuah absurdity?), rektorat sebuah universitas yang
dirusak oleh mahasiswanya sendiri, anak SD berdemonstrasi menuntut Kepala
Sekolah mereka mundur, berkelahi di lapangan bola yang sudah dianggap lazim,
para pengurus tertinggi persepakbolaan saling berseteru, kebohongan yang satu
disusul dengan kebohongan yang lain terus diucapkan oleh para pejabat
pemerintahan (ketiga-tiga cabangnya), korupsi yang kian menggurita karena
“budaya malu” sudah menghilang dari masyarakat kita …… dan banyak lagi contoh
yang dapat diberikan, yang memang dapat membuat seseorang menjadi sedih dan
tidak sedikit orang yang merasa pesimis serta penuh penyesalan.
Kita memang tidak
perlu dan tidak boleh menutup mata terhadap sisi gelap kehidupan yang kita
hadapi, namun sebagai seorang Kristiani kita masing-masing sebenarnya tidak
boleh tenggelam karena hal-hal buruk yang kita alami. Kita harus mengangkat
kepala dan harus memperhatikan pula pengharapan apa yang sudah disediakan Allah
bagi kita.
Hari Minggu penuh
Sukacita. Pada hari ini Gereja – lewat liturginya – kembali menunjukkan
hikmat-kebijaksanaan yang sudah berabad-abad umurnya, yaitu dengan mengajak
kita untuk merayakan sebuah Hari Minggu penuh Sukacita, hanya beberapa hari
saja menjelang Hari Raya Natal, semua ini baik untuk mengimbangi berbagai rasa
sedih yang dikemukakan di atas tadi. Dalam bacaan pertama, nabi Zefanya
mengajak kita untuk bersukacita: “Bersorak-sorailah, hai puteri Sion,
bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap
hati, hai puteri Yerusalem!” (Zef 3:14). Demikian pula Santo Paulus dalam
bacaan kedua: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!” (Flp: 4:4). Ini adalah kabar baik untuk setiap orang. Dunia
pada umumnya membutuhkan pikiran-pikiran penuh sukacita yang tersedia dalam
masa Adven/Natal ini.
Santo Lukas penulis
Injil memandang Maria sebagai Puteri Sion, wakil umat Allah. Melalui Maria,
Kabar Baik, disampaikan kepada kita: Bersukacitala dan beria-rialah!
Kegembiraan ini juga untuk kamu!
Pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab oleh kita masing-masing. Sekarang, apakah kita sudah siap
menyambut kegembiraan Allah ke dalam hidup kita? Apakah kita bersedia menemukan
sukacita kita yang terbesar dalam Tuhan Yesus Kristus? Apakah kita berani
percaya kepada Kabar Baik ini, padahal kehidupan kita sendiri terancam
dirundung kemurungan dan kedukaan? Kita dapat percaya kepada Kabar Baik ini
apabila dengan tulus-ikhlas kita membuka hati kita masing-masing untuk
menyambut seseorang yang lebih besar dari hati kita. Berikut ini adalah
pertanyaan-pertanyaan yang menentukan dalam masa Adven ini: Apakah kita sedang
menantikan kedatangan seseorang? Apakah kita memiliki kerinduan akan kedatangan
Allah ke dalam hidup kita? Apakah Allah itu jauh, berdiri di pinggiran hidup
kita, serupa khayalan samar-samar, tidak riil, tidak memberikan pengharapan
yang teguh? Ataukah, Dia adalah Allah yang dekat, yang datang menyongsong kita?
Allah yang berdiri di tengah kehidupan kita sehari-hari; di tengah bangungan
cita-cita dan rencana kita, di dalam dunia impian serta dunia kenyataan kita?
Belajar dari Bunda
Maria. Maria – sang Puteri Sion – mengundang kita agar kita tidak
membuang-buang waktu dengan pikiran yang rumit-rumit. Bagi Maria beriman atau
percaya bukanlah berarti menerima ajaran-ajaran tentang kebenaran yang tak
berkaitan dengan kenyataan. Bagi Maria, percaya itu tidak dipersempit menjadi
sekadar kegiatan akalbudi, yang tidak menggerakkan hati, badan dan hidup. Bagi
Maria, percaya adalah mengandung bayi – Putera Allah sendiri – mengasuh-Nya
dengan darahnya sendiri, mendukung-Nya dengan nyawanya sendiri. Maria menerima
sang Sabda itu lebih dahulu dalam hatinya oleh iman, sebelum Sabda itu menjadi
daging dalam rahimnya (Yoh 1:14). …… daging dari dagingnya, darah dari darahnya
sendiri.
Jika kita memandang
Maria, maka kita pun menyadari paradoks yang ada dalam iman kita.
Segala-galanya menjadi konkret, sangat dekat pada kehidupan kita, pahadal
hampir tidak masuk akal kita. Allah yang Mahaagung mau merendahkan diri-Nya
menjadi bayi kecil, anak seorang manusia, putera seorang perempuan muda dari
Nazaret. Ia lahir dan takluk kepada hukum Taurat. Allah – sang Khalik langit
dan bumi – menjadi seorang bayi yang sangat kecil dan mungil, dapat ditatang
dalam tangan, dibelai dengan ciuman mesra. Allah sebagai insan yang sering
tersenyum dan bernapas. Ia dapat dibelai dan Ia sungguh-sungguh hidup.
Belum pernah
dialami dengan begitu jelas dan nyata oleh manusia mana pun bagaimana Allah
mengasihi manusia. Allah menjadi lebih insani; bahkan menjadi manusia.
“Bersorak-sorailah, hai puteri Sion …… Raja Israel, yakni TUHAN, ada di
antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi” (Zef 3: 14,15).
Kegembiraan Maria seyogianya menjadi kegembiraan kita. Kemuliaannya semoga
menjadi kemuliaan umat-Nya. Hartanya yang tak ternilai – Yesus Kristus – semoga
menjadi harta kita juga yang tak ternilai.
Cilandak, 16
Desember 2012 (HARI MINGGU ADVEN III)
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan