( Bacaan Injil Misa Kudus, Hari Biasa Khusus Adven, Jumat 23-12-11 )
Kemudian tibalah waktunya bagi Elisabet untuk bersalin dan ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika tetangga-tetangganya serta sanak saudaranya mendengar bahwa Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia. Lalu datanglah mereka pada hari yang ke delapan untuk menyunatkan anak itu dan mereka hendak menamai dia Zakharia menurut nama bapaknya, tetapi ibunya berkata, “Jangan, ia harus dinamai Yohanes.” Kata mereka kepadanya, “Tidak ada di antara sanak saudaramu yang bernama demikian.” Lalu mereka memberi isyarat kepada bapaknya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anaknya itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini, “Namanya adalah Yohanes.” Mereka pun heran semuanya. Seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-kata dan memuji Allah.
Lalu ketakutanlah semua orang yang tinggal di sekitarnya, dan segala peristiwa itu menjadi buah pembicaraan di seluruh pegunungan Yudea. Semua orang yang mendengarnya, merenungkannya dalam hati dan berkata, “Menjadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia. (Luk 1:57-66)
Bacaan pertama: Mal 3:1-4; 4:5-6; Mazmur Tanggapan: Mzm 25:4-5,8-10,14
Para orang tua tentunya mempunyai banyak alasan mengapa mereka memilih sendiri nama anak mereka. Dalam kasus Yohanes Pembaptis, yang menentukan nama sang anak bukanlah orangtuanya, melainkan Allah sendirilah yang menentukan namanya sebagai bagian dari perwahyuan atas makna Natal. Nama “Yohanes” (bahasa Yunani: Iôannès) menunjukkan suatu kebenaran penting tentang kedatangan Tuhan ke dalam dunia. Kata Ibrani-nya dapat diterjemahkan sebagai: “YHWH memberikan karunia”. Ingatlah apa yang dikatakan malaikat Gabriel kepada Maria: “Salam, hai engkau yang dikaruniai” (catatan: dalam doa ‘Salam Maria’ kita mengatakan “penuh rahmat”). Salam malaikat ini mencerminkan perwahyuan yang ada dalam kata “Yohanes”. Salam malaikat agung Gabriel ini mengandung makna, bahwa Maria adalah puteri Allah yang paling terberkati.
Maria dipilih menjadi ibunda Yesus bukan karena usahanya sendiri, melainkan sepenuhnya karena kehendak Allah. Demikian pula halnya dengan kita. Natal adalah pemberian dari Allah bagi kita yang bersifat gratis (catatan: kata bahasa Latin gratia atau grace dalam bahasa Inggris berarti “rahmat”), murni karunia. Tanpa upaya apapun dari pihak manusia, Allah memberikan kepada kita karunia-Nya yang terbesar, yaitu Putera-Nya sendiri.
Pada zaman nabi Maleakhi, orang-orang Yahudi baru pulang kembali ke tanah terjanji setelah hidup dalam pembuangan di Babel. Mereka berjuang melawan kemiskinan yang selama itu telah membelenggu mereka. Mereka mengeluh kepada Allah mengapa hanya orang-orang jahat saja yang hidup makmur. Kendati mereka sendiri juga tidak setia kepada Allah, mereka mau tahu bilamana Allah akan memenuhi janji-Nya untuk menurunkan berkat-berkat kepada mereka.
Pada zaman modern ini pun kita terkadang (atau seringkali?) masih bertanya mengenai kemakmuran dan kenikmatan hidup orang-orang yang kelihatan tidak peduli pada Allah maupun perintah-perintah-Nya, misalnya para pejabat pemerintahan yang korup dan/atau para pengusaha yang tidak pernah mempedulikan etika bisnis. Dalam hal ini kita harus ingat perwahyuan bahwa tidak ada seorang pun yang dikecualikan dari cintakasih Kristus. Mereka yang kaya dan berkuasa juga termasuk, misalnya para majus. Namun orang-orang miskin, bersahaja dan berderajat sosial/ekonomi rendah sungguh menerima karunia-Nya secara istimewa. Yang pertama datang menyambut kedatangan bayi Yesus adalah para gembala. Mereka mewakili “wong cilik”, orang-orang bersahaja yang menggantungkan “nasib” mereka sepenuhnya kepada Allah, bukannya harta kekayaan atau kekuasaan yang dimiliki.
Dalam Magnificat-nya Maria memuji-muji Allah karena “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah” (Luk 1:52). Kita akan menerima berkat-berkat Natal selama kita bersikap rendah hati di hadapan Allah, dan bahwa kita tidak menggantungkan diri pada kekayaan dunia ini, melainkan hanya pada kekayaan belas kasih Allah.
DOA: Bapa surgawi, nama “Yohanes” mengingatkan kami, bahwa Engkau-lah Sang Pemberi karunia kepada umat manusia. Biarlah Roh Kudus-Mu mempersiapkan hati kami agar sungguh siap menerima kedatangan karunia-Mu yang terbesar, Yesus Putera-Mu, pada hari Natal ini. Amin.
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan