Halaman

"BAPA YANG KEKAL KUPERSEMBAHKAN KEPADA-MU, TUBUH DAN DARAH, JIWA DAN KE-AILAHAN PUTERA-MU YANG TERKASIH TUHAN KAMI YESUS KRISTUS, DEMI PENEBUSAN DOSA-DOSA KAMI DAN DOSA SELURUH DUNIA" - YESUS RAJA KERAHIMAN ILAHI, AKU PERCAYA KEPADA-MU

Isnin, Februari 06, 2012

EKARISTI DAN EVANGELISASI

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS *

Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkhotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia (Imbauan Apostolik EVANGELII NUNTIANDI [MEWARTAKAN INJIL, EN], 14) [1]

Makna evangelisasi jauh lebih luas dan mendalam daripada sekedar khotbah yang berapi-api dari atas mimbar, atau pengajaran berkaitan dengan Injil, atau memberitakan/mewartakan Yesus Kristus secara pribadi lewat proses komunikasi antar-pribadi (dalam hal evangelisasi pribadi). Evangelisasi sesungguhnya berarti membawa kasih Allah sendiri ke dalam kehidupan manusia.

Imbauan Apostolik dari Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, secara singkat menyoroti peranan sakramen-sakramen dalam evangelisasi: “… tidak pernahlah cukup hanya menekankan bahwa evangelisasi tidak hanya terdiri dari khotbah dan mengajarkan suatu doktrin. Karena evangelisasi harus menyentuh kehidupan: kehidupan kodrati, yang diberi suatu arti yang baru, berkat perspektif-perspektif Injil yang diwahyukannya. Hidup adikodrati, bukan merupakan penyangkalan tapi pemurnian dan pengangkatan hidup kodrati.

Hidup adikodrati ini menemukan ungkapannya yang hidup dalam tujuh sakramen dan di dalam pancaran rahmat yang mengagumkan dan kesucian yang dimiliki sakramen-sakramen.

Demikianlah evangelisasi melaksanakan kemampuannya sepenuh-penuhnya bila menghasilkan hubungan yang amat akrab atau lebih baik suatu komunikasi timbal balik dan tetap, antara Sabda dan Sakramen-sakramen” (EN, 47).

Dalam tulisan ini kita akan melihat hubungan antara evangelisasi dan salah satu Sakramen, yaitu Ekaristi.

Evangelisasi boleh dikatakan berhasil, kalau orang yang dievangelisasi tersebut tidak hanya percaya kepada kebenaran-kebenaran Injil, melainkan juga dalam kehidupannya sehari-hari menghayati kebenaran-kebenaran Injil tersebut dalam kasih. Seperti ditulis oleh Santo Paulus: “… dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih” (Ef 4:15).

Kasih yang memberikan-diri-sendiri. Injil adalah kebenaran hidup, oleh karena itu harus dipercayai. Injil adalah kebenaran kasih, oleh sebab itu harus dihayati dalam kasih, yaitu kasih yang memberikan-diri-sendiri. Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita membangun tubuh Kristus (Ef 4:15). Kasih yang memberikan-diri-sendiri itu tidak datang dengan sendirinya, kecuali kalau kita membawanya. Kita harus membawanya ke dalam hidup perkawinan kita; komunitas religius di mana kita adalah anggota, lingkungan, wilayah dan paroki kita; komunitas-komunitas kita lainnya yang bersifat kategorial; tempat kerja kita; kehidupan ekonomi, sosial dan politik kita.

Pada waktu kita membawanya ke dalam dunia kita sehari-hari, maka kasih yang memberikan-diri-sendiri itu sebenarnya merupakan pemberitaan Injil kepada dunia, seperti halnya dengan pemberian-diri-sendiri oleh Tuhan kita di Kalvari dan dalam Ekaristi. Kasih yang memberikan diri sendiri itu akan membawa orang kepada Kristus. Mereka mengamati serta mencermati tindak-tanduk kita, kemudian mulai bertanya-tanya kepada kita sekitar apa dan siapa yang kita imani ……dan akhirnya pembicaraan pun akan sampai kepada Kristus.

Kalau kasih yang memberikan-diri-sendiri oleh seorang manusia akan mampu membawa orang kepada Kristus, sehingga pantas disebut sebagai pemberitaan Injil (evangelisasi), maka terlebih lagi kasih pemberian-diri-sendiri dari Kristus sendiri dalam Ekaristi. Oleh karena itu, seorang imam dominikan, Pater Paul Hinnebusch OP, lebih dari satu dekade lalu menyatakan, bahwa tindakan evangelisasi tertinggi (baca: paling sempurna) adalah Kurban Yesus di kayu salib.[2] Mengapa? Evangelisasi adalah pewartaan Injil, yaitu kabar baik kasih Allah bagi kita. Kenyataan menunjukkan, bahwa pewartaan kasih-yang-menebus ini secara paling sempurna ditunjukkan oleh kematian Tuhan sebagai kurban, ketika memberikan-diri-Nya secara total bagi kita pada kayu salib di Kalvari, jadi dalam Ekaristi juga.


Evangelisasi adalah pemberitaan Injil yang adalah Kabar Baik! Kabar Baik tentang apa dan siapa? Kabar Baik tentang rekonsiliasi atau pendamaian dengan Allah melalui darah Yesus, darah-Nya yang dicurahkan sebagai silih atas dosa-dosa kita. Rekonsiliasi di sini berarti reuni kita dengan Allah dalam kasih, yaitu kasih Allah yang “telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm 5:5), yang dikaruniakan kepada kita dari hati Yesus yangditembus tombak di kayu salib. Jadi evangelisasi adalah pemberitaan tentang kasih Allah yang disampaikan kepada dunia dalam Kristus Yesus, Putera-Nya yang menjadi kurban tebusan dan membawa kita ke dalam kesatuan dengan-Nya dalam kasih. Pewartaan paling mengesankan dari kasih Allah yang menebus dan memperdamaikan adalah kurban Yesus di kayu salib: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Kematian Kristus sebagai kurban di kayu salib merupakan pengungkapan kasih Allah yang paling tinggi.

Ekaristi sebagai Evangelisasi. Hal yang sama kita dapat katakan tentang Kurban Ekaristi. Ekaristi adalah pernyataan kasih Allah paling puncak. Dengan demikian Ekaristi – seperti Kalvari – adalah tindakan evangelisasi paling tinggi. Ekaristi adalah pemberitaan sempurna tentang kabar baik kasih Allah. Ekaristi adalah pemberitaan kasih Allah seperti Kalvari, karena Ekaristi merupakan kurban sama yang identik dengan kurban Kalvari.

Ekaristi adalah pernyataan kasih ilahi kepada kita masing-masing secara individual selagi kita mengambil bagian dalam Kurban Ekaristi, dan Ekaristi adalah pernyataan kasih ilahi ini bagi seluruh umat Allah hari ini, Gereja di sini dan sekarang dalam waktu kita. Mengapa? Karena pewartaan kabar baik mengenai kasih Allah mana lagi yang lebih mengesankan daripada sabda dan tindakan Tuhan kita sendiri di hadapan kita yang hadir, ketika Yesus mengambil roti,
mengucap syukur kepada Bapa surgawi, lalu memecah-memecahkan roti itu dan berkata kepada kita masing-masing secara pribadi dan kepada semua yang hadir sebagai sebuah komunitas, “Terimalah dan makanlah; inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu.” Juga ketika Dia mengambil piala dan berkata, “Terimalah dan minumlah: Inilah piala darah-Ku, darah Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi
pengampunan dosa” (lihat Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25).

Inilah tindakan evangelisasi yang paling sempurna, karena di sini diwartakan dengan kata-kata dan perbuatan, keagungan tanpa batas dari kasih Allah yang penuh kerahiman bagi kita masing-masing sebagai pribadi. Pemberian diri-Nya sendiri bagi kita di kayu salib merupakan perbuatan yang mewartakan kasih ini bagi dunia, namun justru kata-kata dan tindakan-tindakan Tuhan dalam Ekaristi yang menjelaskan makna sesungguhnya dari kurban-Nya di kayu salib. Kristus mati bukan hanya karena seseorang yang membenci-Nya dan menyalibkan-Nya. Kristus mati secara khusus sebagai kurban silih bagi dosa-dosa kita, dosa-dosa saya dan dosa-dosa anda. Kata-kata dan tindakan-tindakan dalam Doa Syukur Agung pada perayaan Ekaristi mewartakan, bahwa Dia menyerahkan tubuh-Nya bagi saya, bagi anda, dan menumpahkan darah-Nya bagi saya dan bagi anda. Oleh karena itu kita dapat mengatakan, bahwa Ekaristi adalah tindakan evangelisasi yang sempurna. Ekaristi mewartakan kabar baik tentang kasih Allah. Itulah sebabnya mengapa Santo Paulus menulis: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang”(1Kor 11:26).

Pernyataan tertinggi dari kabar baik kasih Allah bagi kita adalah pemberian-diri Kristus bagi kita secara total. Demikian pula pernyataan tertinggi dari kasih tersebut bagi masing-masing kita secara individual dan bagi Gereja secara keseluruhan pada zaman sekarang dalam bentuk pemberian-diri Kristus bagi kita, adalah pemberian diri-Nya secara total bagi kita dalam Kurban sebabnya mengapa Santo Paulus menulis: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang”(1Kor 11:26).

Ekaristi, karena Ekaristi mengandung realitas pemberian diri-Nya di kayu salib secara keseluruhan dan lengkap. Setiap Ekaristi adalah penghadiran-kembali kurban Kalvari. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kurban Ekaristi identik dengan kurban Kalvari. Ekaristi adalah kurban yang dibuat sungguh hadir bagi kita, di sini dan sekarang, dan yang mewartakan kasih ilahi bagi kita masing-masing secara pribadi; dan terlebih-lebih kepada kita diberikan kasih dalam bentuk pemberian diri-Nya secara total bagi kita.

Dalam Ekaristi, Yesus menghadirkan diri-Nya kepada kita dalam tindakan kurban tubuh-Nya dan penumpahan darah-Nya. Itulah sebabnya mengapa kita menyebutnya sebagai Kurban Ekaristi. Ekaristi adalah tindakan aktual dari Tuhan yang memberikan diri-Nya sebagai kurban bagi kita semua – umat-Nya – dan kepada masing-masing kita secara pribadi.


Kristus mentransformasikan kita. Pada perayaan Ekaristi, Yesus berkata kepada masing-masing pribadi yang hadir: “Josef Sunarwinto, inilah tubuh-Ku yang diberikan kepadamu; Alex Rudatin, inilah darah-Ku yang ditumpahkan untuk-Mu; Lucie Windoe, inilah tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu; Thomas Wahyono, inilah darah-Ku ……………” Dengan memberikan diri-Nya kepada kita dalam Ekaristi, Yesus bermaksud mengubah kita menjadi diri-Nya sendiri, sehingga kita menjadi tubuh-Nya. Bilamana kita makan makanan biasa, kita mengubah makanan itu menjadi diri kita sendiri. Akan tetapi apabila kita makan tubuh Kristus dalam Ekaristi, Ia justru mengubah kita menjadi diri-Nya, sehingga kita dapat menjadi satu tubuh dengan diri-Nya. Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:16-17). Manakala kita makan Tubuh Ekaristis Tuhan (dalam bentuk hosti kudus), maka kita menjadi Tubuh Mistik-Nya. Maka kita menjadi Tubuh Mistik-Nya. Maka melalui Ekaristi, kita menjadi satu tubuh dengan Kristus, satu tubuh yang dipersembahkan sebagai kurban, kurban yang menggenapi kurban-Nya, menjadi satu dengan Dia dalam pemberian-diri secara total untuk penyelamatan dunia. Menurut Pater Paul Hinnebusch OP, Tubuh Kristus yang dipersembahkan dalam Ekaristi bukanlah sekadar tubuh-Nya yang terbentuk dalam rahim Bunda Maria, dipaku di kayu salib dan bangkit mulia, melainkan juga tubuh yang dibuat lengkap dalam diri kita, Tubuh Mistik-Nya. Inilah yang dipersembahkan kepada Bapa surgawi dalam Kurban Ekaristi. Pemberian-diri Kristus pada kayu salib dibuat lengkap dalam tindakan kasih kita yang penuh penyerahan-diri satu sama lain dengan orang-orang yang kita temui (PH, hal. 16-17).

Manakala kita makan tubuh Tuhan dan minum darah-Nya, maka yang terjadi bukanlah sekadar bahwa Ia dapat mengkomunikasikan hidup ilahi-Nya kepada kita, melainkan juga bahwa dalam kita dan melalui kita, Dia dapat melanjutkan pemberian diri-Nya kepada dunia dan untuk dunia. Pada waktu kita makan tubuh Tuhan kita dan minum darah-Nya, Dia membentuk kasih-penuh-pengorbanan-Nya dalam diri kita. Misi kita dalam hal kasih Kristiani adalah suatu kelanjutan dari pemberian diri-Nya di kayu salib. Maka ketika Yesus berkata, “Terimalah dan makanlah, terimalah dan minumlah,” sebenarnya Dia berkata, “Jadilah satu dengan Aku dalam pemberian diri-Ku, gabungkanlah pemberian-dirimu yang penuh pengorbanan dengan pemberian diri-Ku sebagai kurban. Jadilah satu tubuh dengan Aku, satu dengan Aku dalam hal pemberian-diri, satu persembahan kurban dengan Aku. Dengan kasih pemberian-dirimu bagi umat-Ku, lanjutkanlah kasih pemberian-diriku bagi mereka.” Dengan demikian, orang-orang Kristiani tidak dapat membatasi diri mereka sekadar pada perayaan Ekaristi, mereka juga harus menjadi

Ekaristi bersama Kristus.[3]melalui Ekaristi, kita menjadi satu tubuh dengan Kristus, satu tubuh yang dipersembahkan sebagai kurban, kurban yang menggenapi kurban-Nya, menjadi satu dengan Dia dalam pemberian-diri secara total untuk penyelamatan dunia. Menurut Pater Paul Hinnebusch OP, Tubuh Kristus yang dipersembahkan dalam Ekaristi bukanlah sekadar tubuh-Nya yang terbentuk dalam rahim Bunda Maria, dipaku di kayu salib dan bangkit mulia, melainkan juga tubuh yang dibuat lengkap dalam diri kita, Tubuh Mistik-Nya. Inilah yang dipersembahkan kepada

Bapa surgawi dalam Kurban Ekaristi. Pemberian-diri Kristus pada kayu salib dibuat lengkap dalam tindakan kasih kita yang penuh penyerahan-diri satu sama lain dengan orang-orang yang kita temui (PH, hal. 16-17).

Tubuh dan Darah. Dalam arti alkitabiah kata “tubuh” menunjukkan keseluruhan hidup. Dalam penetapan Ekaristi, Yesus mewariskan kepada kita karunia keseluruhan diri-Nya, sejak saat pertama inkarnasi sampai titik terakhir, termasuk semua yang membuat hidup-Nya: keheningan-Nya dalam kesendirian-Nya, khususnya pada waktu Dia berdoa; keringat atau peluh-Nya karena berjalan di bawah terik matahari yang menyengat; segala kesusahan dan tantangan yang dihadapi-Nya, terutama ketika mewartakan Kerajaan Surga dan menyerukan pertobatan kepada orang-orang yang mengikuti-Nya; hidup doa-Nya, perjuangan-Nya memerangi segala sakit-penyakit dan roh-roh jahat yang membelenggu banyak orang; sukacita-Nya yang tulus; penghinaan dari lawan-lawan-Nya yang harus ditanggung-Nya; dan lain sebagainya. Lalu Yesus berkata: “Inilah darah-Ku”. Apa lagi yang diberikan Yesus kepada kita dengan darah-Nya, kalau Dia sudah memberikan segenap hidup-Nya kepada kita dengan tubuh-Nya? Dia menambahkan kematian! Apabila darah adalah nyawa seperti pemikiran yang berlaku dalam Perjanjian Lama [lihat Kej 9:4], maka penumpahan darah adalah tanda kematian. Dengan demikian, Ekaristi adalah misteri tubuh dan darah Tuhan, artinya hidup dan kematian Tuhan! Sekarang apakah yang kita persembahkan ketika kita mempersembahkan tubuh dan darah bersama Yesus pada perayaan Ekaristi? Dengan kata “tubuh”, berarti kita mempersembahkan waktu kita kesehatan kita, energi kita, kemampuan kita, perasaan-perasaan kita dan lain sebagainya. Dengan kata “darah”, kita mengungkapkan persembahan kematian kita – namun tidak perlu berarti kematian akhir kita. Kematian juga berarti semua hal yang sekarang mempersiapkan dan mengantisipasi kematian kita – penghinaan yang kita tanggung, kegagalan yang kita alami, sakit-penyakit, “terkendala” karena usia atau kesehatan, pokoknya segalanya yang “memalukan” atau “tidak membanggakan” kita, apabila dipandang dari kacamata dunia.

Jadi Yesus ingin agar kita melanjutkan tindakan evangelisasi-Nya yang tertinggi, pewartaan-Nya yang sempurna tentang kasih Allah bagi dunia. Seperti Dia mengungkapkan kasih Allah kepada dunia dalam tindakan pemberian diri-Nya, demikian pula Dia ingin melihat agar kita memanifestasikan kasih itu kepada dunia dalam tindakan pemberian-diri kita dalam kesatuan dengan-Nya. Artinya kita menjadi Ekaristi bersama Kristus.

Saling mengasihi. Sebelum sengsara dan kematian-Nya Yesus memberikan perintah baru kepada para murid-Nya: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34; bdk. 15:12). “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yoh 15:9). Jadi, dengan saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi kita, kita bersama Yesus, menjadi pengungkapan kasih Allah bagi dunia. Kita dapat mewartakan kasih-Nya bagi dunia, dengan mengasihi dunia dengan kasih Bapa dan kasih Kristus.

Jadi saling mengasihi antara kita sebagai para murid seperti Kristus telah mengasihi kita, merupakan fundamental dan tindakan evangelisasi kita yang tertinggi. Yesus mengajarkan hal ini dengan latar belakang perjamuan terakhir, pada saat Ia berdoa: “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku ……dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh 17:21.23). Bukti terbesar perihal kebenaran Injil, tanda yang paling meyakinkan bahwa Allah Bapa mengutus Putera-Nya ke dalam dunia, adalah kesatuan dan persatuan Kristiani dalam kasih. Kita tidak akan pernah mampu untuk saling mengasihi seperti Yesus mengasihi kita, seandainya Dia tidak pernah diutus oleh Bapa-Nya, kalau Dia tidak pernah memberikan diri-Nya bagi kita di kayu salib, dan kalau Dia tidak hidup dalam diri kita. Orang-orang Kristiani dapat menjadi satu dalam kasih hanya karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal (Yoh 3:16), dan sang Putera memberikan diri-Nya sendiri secara total dalam kasih pada kayu salib dalam Ekaristi.

Kita dapat memberikan diri kita dalam kasih yang membuat kita semua satu, hanya dalam kuasa kasih-pemberian-diri Kristus secara total pada kayu salib dan Ekaristi itu. Tindakan saling mengasihi di antara kita para murid-Nya seperti Kristus telah mengasihi kita merupakan tindakan evangelisasi tertinggi, karena kesatuan kita dalam kasih menunjukkan kepada dunia bahwa Allah mengasihi dunia dan mengutus Putera-Nya untuk memberdayakan kita agar dapat saling mengasihi. Dengan demikian ketika Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya dan berkata kepada kita, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku,” maka seakan-akan Dia mengatakan, “Saling mengasihilah di antara kamu seperti Aku telah mengasihi kamu. Lanjutkanlah pemberian total diri-Ku dalam kasih dengan pemberian-dirimu secara total dalam kasih itu. Curahkanlah dirimu dalam pemberian diri-Ku, biarkanlah Aku mencurahkan diri-Ku dalam pemberian-dirimu.” Jadi tindakan evangelisasi Tuhan yang sempurna – pemberian diri-Nya pada kayu salib dan pemberian diri-Nya dalam Ekaristi – dilanjutkan dalam pemberian-diri kita, yang dibentuk-Nya dalam diri kita, dalam Ekaristi.

Konsekuensinya? Dalam menghayati rahmat Ekaristi, kita harus mereproduksi dalam hidup kita sehari-hari tindakan Yesus yang memberikan diri-Nya di kayu salib. Dan pemberian-diri dalam kasih yang kita saling lakukan merupakan tindakan evangelisasi yang bersifat hakiki. Tindakan-tindakan evangelisasi kita lainnya berbuah dan efektif, hanya apabila diberdayakan oleh kasih ilahi pemberian-diri yang ada dalam hati kita. Oleh karena itu kita dapat mengatakan, bahwa semua evangelisasi kita mengalir dari Ekaristi. Artinya, bersumberkan kasih pemberian-diri Tuhan sendiri yang dibentuk dalam hati kita oleh pemberian-diri Tuhan di kayu salib yang dihadirkan kembali setiap hari dalam pemberian diri-Nya dalam Ekaristi.

Seandainya kita sungguh menghargai kasih pemberian-diri Tuhan dalam Ekaristi, mengapa kita sampai gagal sebagai misionaris kasih itu? Mengapa kita gagal dalam upaya memberikan diri kita dengan cara sama yang diberikan-Nya kepada kita? Apakah kegagalan kita untuk melakukan evangelisasi merupakan suatu tanda kegagalan dalam menghargai pemberian-diri Tuhan bagi kita dalam Ekaristi? Yang hakiki dan harus ada dalam evangelisasi kita adalah membawa kasih ilahi ke dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kasih pemberian-diri yang kita ungkapkan dalam hidup kita sebagai seorang Kristiani merupakan yang paling efektif dari semua bentuk evangelisasi: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat 5:16). Kasih pemberian-diri sebagai kurban dalam kehidupan sehari-hari kita harus ada dalam evangelisasi, karena tanpa kasih penuh pengorbanan ini semua kata-kata yang kita gunakan dalam pewartaan Injil – bagaimana pun indahnya – sama saja dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (lihat 1Kor 13:1). Namun yang paling penting adalah bagaimana kita menghayati kasih pemberian-diri Tuhan di kayu salib dan dalam Ekaristi, artinya bagaimana kita hari demi hari menghayati misteri kasih-pengorbanan

Tuhan sebagai bagian hakiki dari evangelisasi kita. Mengapa? Karena dengan demikian kita melanjutkan evangelisasi yang dilakukan Tuhan sendiri, baik di kayu salib maupun dalam Ekaristi.

Catatan Penutup. Karya evangelisasi mengandaikan di dalam diri penginjil ada suatu kasih yang semakin besar terhadap mereka yang diberi pewartaan Injil olehnya (EN, 79). Artinya:siapa saja yang melakukan evangelisasi, siapa saja yang menghayati hidup Ekaristis, menjadi Ekaristi bagi sesama, entah dia seorang uskup, imam, biarawan, biarawati, guru, dokter, perawat, orangtua dan lain sebagainya, haruslah melakukan tugas pelayanannya dalam kasih yang sejati. Hanya kasihlah yang mampu meng-evangelisasikan dunia. Bukankah Allah adalah kasih? (1Yoh 4:8.16). Pelayanan kita yang tanpa-pamrih dan penuh-kasih akan membawa kasih Allah kepada semua orang, dengan demikian sedikit demi sedikit membangun ‘suatu peradaban kasih’. Kasih yang dinamik dalam hidup sehari-hari kita adalah evangelisasi, dalam artian bahwa tanpa hal itu Injil kasih tak akan terintegrasikan ke dalam keseluruhan hidup manusia.

Kalau begitu halnya, mengapa dunia belum juga sepenuhnya menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Apakah karena petugas Gereja yang bertugas untuk berkhotbah tidak melakukan tugas-kewajiban mereka dengan efektif? Ada banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan dengan hal ini. Pater Paul Hinnebusch OP mengatakan, bahwa para pengkhotbah yang sangat dipenuhi Roh Kudus pun akan gagal seandainya orang-orang yang mendengarkan khotbah-khotbah mereka tidak pergi dan menghayati-dalam-kasih segala kebenaran yang mereka terima, dan membawa Injil kepada orang-orang lain. Imam ini kemudian mengemukakan akan perlunya kepemimpinan (catatan saya: teristimewa leadership by example). Katanya: “We need priests and bishops and popes and theologians and teachers who are consecrated to loving. Just as husband and wife are consecrated to loving each other in sacrificial self-giving, so a priest is consecrated to total self-giving to the people of God. He is consecrated to loving Christ’s bride, the Church, with Christ’s own love. Obviously, this living the truth of love by all of God’s people will change the world radically. It will bring God’s own love into all human relationships. The good news of God’s love will be expressed in all of human life. Such love is the direct opposite of the selfishness, the greed, the wallowing in every pleasure, the enjoying of every luxury which so characterize our contemporary world. Only living the truth in love can change the world and replace the violence and hatred which are tearing the world apart” (PH, hal. 20-21).

Kita semua harus menjadi Ekaristi bagi orang-orang yang kita temui, pertama-tama kepada para anggota keluarga kita sendiri, anggota komunitas kita sendiri (para con-frater dsb.), tetangga yang memerlukan bantuan, rekan-kerja, dan lain sebagainya. Kita harus mengasihi mereka dengan tulus-hati, teristimewa mereka yang dinilai tak pantas untuk dikasihi, yang ‘nyebelin’, ‘pain in the neck’. Semua ini berarti pemberitaan kepada dunia suatu kabar baik tentang kasih-yang-menebus dari Kristus melalui tindakan saling-mengasihi antar-manusia, seperti Dia sendiri telah mengasihi kita.

Cilandak, 16 Oktober 2009 (Peringatan Santa Margareta Maria Alacoque, Perawan)

Perbaikan kecil dilakukan pada tanggal 4 Februari 2012.


*) Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.


[1] Imbauan Apostolik Paus Paulus VI EVANGELISASI NUNTIANDI (Mewartakan Injil) tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern, 8 Desember 1975; terjemahan dari teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh J. Hadiwikarta Pr., Seri Dokumen Gerejani no. 6, KWI [EN].

[2] The Eucharist as evangelization, dalam Homiletic & Pastoral Review – January 1995, hal. 15-21. [PH]

[3] Uraian mengenai Tubuh dan Darah ini memanfaatkan sebagian dari tulisan Pater Raniero Cantalamessa OFMCap. dalam sebuah bukunya yang berjudul The Eucharist – Our Sanctification, The Liturgical Press, teristimewa bab 2, hal. 16-26
.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan