(Bacaan Injil Misa
Kudus, Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah – Sabtu, 17 Agustus 2013)
Kemudian pergilah orang-orang Farisi dan membuat rencana bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama para pendukung Herodes bertanya kepada-Nya, “Guru, kami tahu, Engkau seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata, “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa satu dinar kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka, “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka, “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:15-21)
Bacaan Pertama: Sir
10:1-8; Mazmur Tanggapan: Mzm 101:1-3,6-7; Bacaan Kedua: 1Ptr 2:13-17
Apabila kita
berbicara tentang Gereja pada abad ke-21 ini maka dapat kita katakan bahwa kita
berada pada zaman umat Kristiani awam, yang dipanggil untuk menjadi saksi-saksi
cemerlang dari nilai-nilai Kristiani di dalam sebuah dunia di mana banyak orang
mencoba membuat Allah menjadi “sesuatu yang berlebihan”, “sesuatu yang
mubazir”, dengan cara memisahkan dunia yang sekular dari dunia yang sakral.
Para lawan Yesus
mengetahui bahwa jikalau politik dan agama saling tumpang tindih, maka campuran
ini berpotensi untuk meledak dan otak yang cerdik dapat mengekspoitir
ketegangan yang ada. Namun Yesus menggunakan peristiwa ini untuk meneguhkan
kekuasaan mutlak Allah di segala bidang kehidupan. Dalam dunia dewasa ini –
teristimewa di negara-negara maju – kekuasaan Allah dibuat menjadi kabur oleh
upaya-upaya yang teratur dari mereka yang menginginkan agar kehidupan yang
sekular berdiri sendiri tanpa harus ada pengakuan terhadap hal-hal yang sakral.
Mereka menginginkan politik tanpa dimensi religius/keagamaan; negara sebagai
sebuah entitas yang secara total terpisah dari Allah.
Sekularisme adalah
sebuah gerakan pemikiran, sikap dan perilaku yang mengusahakan agar Allah
menjadi tidak relevan untuk cara hidup kita sebagai individu-individu atau
dalam masyarakat. Sekularisme ini menelurkan sejenis humanisme yang tidak
sepenuhnya manusiawi karena mengabaikan kehausan jiwa yang menggelisahkan akan
Allah. Sekularisme menempatkan kehidupan manusia sebagai pusat alam ciptaan.
Hal ini merupakan pengulangan kesalahan Adam, yang terperdaya oleh janji si
penggoda terkait otonomi moral dan status ilahi: “Pada waktu kamu memakannya
matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang
baik dan yang jahat” (Kej 3:5).
Pengakuan akan
tempat Allah dalam kehidupan – hal-hal yang sakral – terus diserang dewasa ini.
Barangkali lebih berbahaya apabila serangan itu datang dari propaganda
tersembunyi daripada datang dari konflik terbuka. Budaya sekularistik masuk ke
dalam keluarga-keluarga lewat televisi, surat-kabar, majalah, fiksi, bahkan
dari dunia maya lewat internet, dan mau-tidak-mau akan meng-erosi segala yang
menyangkut kesakralan – apabila dibiarkan terus berkembang tanpa kontrol.
Apakah hal ini
seperti tetesan air yang terlihat lembut tak bertenaga? Benar, tetapi tetesan
air yang secara tetap dan terus menerus jatuh ke tempat yang sama pada batu
yang besar pun – setelah sekian lama – akan mampu membuat retak batu besar itu.
Jika sekularisme secara total mengabaikan dimensi-dimensi kehidupan yang
sakral, maka sekularisme itu dapat dikatakan merupakan sebuah bentuk atheisme
yang masih kasar (belum bersifat sophisticated).
Dimensi sekular dan
dimensi sakral kehidupan memang perlu untuk saling tumpang-tindih karena
masing-masing merupakan bagian dari kehidupan yang satu. Agama yang benar tidak
dapat membatasi diri pada hidup doa tertentu yang terpisah dari apa yang
terjadi dalam kehidupan selebihnya. Roh Kudus sedang memimpin Gereja untuk
mengakui bahwa area konflik dewasa ini adalah dunia sekular dan pasukan Gereja
dalam area ini adalah kaum awam. Pada tanggal 18 November 1965, Konsili Vatikan
II menerbitkan “Dekrit Apostolicam Actuositatem tentang Kerasulan Awam”, sebuah
dokumen ajaran Gereja yang untuk pertama kalinya membahas secara cukup
komprehensif topik berkaitan dengan peranan awam dalam Gereja. Dokumen Konsili
Vatikan II ini beberapa tahun kemudian ditindak-lanjuti oleh Paus Yohanes
Paulus II dengan “Imbauan Apostolik Christi Fideles Laici tentang Panggilan dan
Tugas Kaum Awam” (12 Maret 1989).
Untuk beberapa abad
lamanya area konflik utama yang dihadapi oleh Gereja adalah ketidakcocokan
dalam bidang doktrinal. Sejak Konsili Trente Gereja dilayani dengan baik oleh
kepemimpinan kaum klerus yang kuat dan berpengalaman dalam hal-ikhwal yang
menyangkut doktrin iman. Namun area konflik yang utama sekarang telah bergeser
dan sejak sekitar setengah abad lalu dimasukilah zaman di mana Gereja lebih
bergantung pada kaum awam yang berdedikasi tinggi dalam perziarahannya di
dunia. Terang yang dibutuhkan bagi dunia dewasa ini harus memancar teristimewa
di area-area kehidupan kaum awam. Mereka harus menegakkan suatu nurani
Kristiani dalam bidang politik; memelihara standar-standar moral yang sehat
dalam bidang entertainment; dan melayani kebenaran dalam kasih melalui media.
Kaum awam
ini dipanggil untuk menjadi gambaran dari kasih Allah yang tidak pernah berubah
lewat kesetiaan mereka dalam hidup perkawinan Kristiani. Mereka harus menunjukkan
kesucian hidup dengan memelihara martabat prokreasi yang sungguh sakral. Mereka
harus menggunakan talenta dengan mengembangkan berbagai sumber daya dunia
melalui sains dan teknologi. Mereka harus senantiasa bersikap murah hati dengan
harta milik mereka, dan bilamana dimungkinkan, harus berupaya untuk memberi
kesempatan kerja bagi sesama yang membutuhkan. Mereka harus mencerminkan
keindahan Allah dengan memperkaya dunia melalui seni dan karya yang mampu
menghias dunia.
Imaji-imaji Injil
tentan garam, terang dan ragi berlaku secara khusus pada peran umat awam
Kristiani di tengah-tengah masyarakat yang sekular. Mereka adalah garam yang
mengawetkan apa yang baik dan menambah rasa untuk dikecap berkaitan dengan
tantangan yang dihadapi umat Kristiani dalam masyarakat. Mereka adalah terang
yang membawa ajaran tentang moralitas Kristiani dalam situasi di mana terdapat
kebingungan dalam pengambilan keputusan. Mereka adalah gandum atau ragi yang
memberikan pengharapan dalam situasi yang penuh pesimisme.
“Berikan kepada
Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Kita harus
menjawab tuntutan ini di segala bidang kehidupan …… karena ke mana kita dapat
melarikan diri dari Roh-Nya atau ke mana kita dapat melarikan diri dari
wajah-Nya? Dalam segala hal kita harus mengembalikan kepada Allah dunia yang
adalah milik Allah.
DOA: Bapa surgawi,
Allah yang Mahakuasa, dikuduskanlah nama-Mu! Aku berjanji , ya Bapa, untuk
memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang wajib kuberikan kepada-Mu. Aku
mengakui dan tunduk kepada kekuasaan-Mu yang mutlak atas segala bidang
kehidupanku dan kehidupan manusia pada umumnya. Pada hari raya kemerdekaan R.I.
ini aku mohon agar anak-anak-Mu yang bertugas sebagai para pemimpin dalam
pemerintahan, baik di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
abdi-negara lainnya; juga mereka yang berkiprah di dunia pers/media dan bisnis,
Kau-anugerahi dengan hikmat-Mu. Biarlah mereka semua sungguh berfungsi sebagai
garam bumi dan terang dunia dalam bidang karya masing-masing Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan