(Bacaan Injil Misa
Kudus, Peringatan S. Augustinus, Uskup-Pujangga Gereja – Rabu, 28 Agustus 2013)
Celakalah kamu, hal ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dicat putih, yang sebelah luarnya memang indah tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kelaliman.
Celakalah kamu, hai
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab
kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan
berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut
dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu
bersaksi terhadap diri kamu sendiri bahwa kamu adalah keturunan pembunuh
nabi-nabi itu. Jadi, lengkapilah juga apa yang sudah dilakukan nenek moyangmu!
(Mat 23:27-32)
Bacaan Pertama:
1Tes 2:9-13; Mazmur Tanggapan: Mzm 139:7-12
Kita semua memiliki
pandangan-pandangan atau gambaran-gambaran tertentu tentang seorang “pribadi
yang baik” dan kita cenderung untuk menilai satu sama lain seturut
pandangan-pandangan atau gambaran-gambaran termaksud. Akan tetapi, seringkali
kita tidak berhenti sejenak untuk berpikir tentang dari mana datangnya ide kita
itu: misalnya dari para sahabat, dari acara-acara radio/televisi, dari
keluarga, atau dari guru-guru kita, dlsb. Beberapa pandangan malah
datang/berasal dari bagaimana kita berpikir mengenai diri kita sendiri! Kita
harus bersyukur bahwa Allah memandang kita dan menilai kita dengan kejernihan
hati yang sempurna, dan penilaian-Nya tak akan mampu digoyahkan oleh angin
badai sekali pun.
Nah, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat dipandang sebagai “orang-orang
baik” dan terhormat dalam masyarakat Yahudi. Namun Yesus berulang kali
mengoreksi dan bahkan menegur mereka dengan keras. Memang secara lahiriah
terlihat-mata, mereka adalah orang-orang yang taat kepada Allah, namun secara
batiniah mereka tidak lebih daripada orang-orang yang senantiasa menganggap
diri mereka sendirilah yang paling benar dan orang-orang lain yang “tidak sama”
dengan diri mereka sebagai orang-orang “tidak benar”. Mereka tidak memiliki
cintakasih dan belarasa. Mereka lebih mementingkan bagaimana penampilan diri
mereka di tengah publik. (Pada abad ke-21 ini pun orang-orang seperti ini masih
sangat banyak berkeliaran dalam masyarakat di segenap penjuru dunia). Mereka
munafik, “sama seperti kuburan yang dicat putih, yang sebelah luarnya memang
indah tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan
berbagai jenis kotoran” (Mat 23:27). Ketika Yesus mengkonfrontir mereka,
bukannya mereka menghadapi kebenaran dan bertobat, mereka malah menjadi marah
dan berniat untuk menghancurkan Yesus.
Tentunya kita semua
ingin mempunyai perasaan baik dan nyaman tentang diri kita sendiri. Kita akan
mencari jalan untuk membenarkan pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan kita.
Ketika kita dikonfrontir dengan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa kita, kita
bahkan mencoba mengimbangi hal-hal negatif itu dengan melakukan perbuatan
“baik” atau paling sedikit mencoba untuk tampil “kurang berdosa” atau “lebih
baik sedikit” ketimbang orang-orang berdosa. Dengan perkataan lain, kita
mencoba “membeli” kasih Allah dan respek dari orang-orang lain. Semua itu
memang jauh lebih mudah daripada menghadapi Yesus dengan hati yang bertobat.
Barangkali kita juga merasa takut bahwa kita tidak akan mampu untuk berubah dan
dengan demikian kita kembali menyusut ketika Roh Kudus membongkar aspek-aspek
gelap kehidupan kita.
Hanya karya Allah
dalam diri kitalah yang dapat menolong kita memahami dan menilai
pemikiran-pemikiran dan niat-niat kita. Adalah vital bagi kita untuk memahami
bahwa bilamana Yesus menyatakan motivasi kita yang sesungguhnya, maka Dia juga
menawarkan kepada kita “penyembuhan dan pembebasan”. Kita tidak akan pernah
dapat menentukan sendiri kapan kita sudah pantas – karena upaya-upaya dengan
menggunakan kekuatan kita sendiri – untuk dapat datang menghadap hadirat Allah.
Hanya oleh darah Yesus yang menyelamatkan kita dapat menikmati hidup kekal, dan
hanya oleh kuasa salib-Nya kita dapat dibebaskan dari dosa yang selama ini
membelenggu kita. Dalam kedinaan dan keterbukaan hati, marilah kita berlari
kepada Yesus dan memohon dari Dia agar menyatakan area-area dalam hidup kita
yang membutuhkan sentuhan kasih-Nya. Yesus akan senantiasa menyambut kedatangan
kita dan berurusan dengan kita secara lemah lembut penuh kasih.
DOA: Tuhan Yesus,
aku percaya bahwa Engkau memiliki kuat-kuasa untuk membebaskan diriku dari dosa
dan keterikatan lainnya. Aku menyambut kedatangan Roh Kudus untuk bekerja dalam
diriku dan menilai pikiran-pikiran dan niat-niatku. Bebaskanlah aku dan bawalah
aku ke hadapan takhta Bapa di surga. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan