(Bacaan Injil Misa
Kudus, Peringatan S. Maximilianus Maria Kolbe – Rabu, 14 Agustus 2013)
Fransiskan Conventual: Pesta S. Maximilianus Maria Kolbe,
Martir

Bacaan Pertama: Ul
34:1-12; Mazmur Tanggapan: Mzm 66:1-3,5,8,16-17
Dalam mengajar para
murid-Nya bagaimana memberi tanggapan apabila dicurangi, disakiti, dijahati,
didzolimi (dan sejenisnya) oleh seorang anggota lain dari gereja/jemaat, maka
keprihatinan utama Yesus adalah untuk tidak menghukum, melainkan “mendapatkan
kembali” orang yang berbuat dosa tersebut (Mat 18:15).
Pertama-tama, suatu
upaya untuk rekonsiliasi harus dilakukan secara one-to-one, di bawah empat mata
dahulu. Jika yang bersangkutan tidak mendengarkan, maka bawalah seorang atau
dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu
tidak disangsikan lagi. Lalu, jika orang itu masih tidak mau mendengarkan
mereka, maka perkaranya pun disampaikan kepada jemaat. Dalam setiap tahapan,
belas kasih lah yang harus menonjol, bukan penghakiman. Juga harus disediakan ruangan
bagi pelayanan penyembuhan Tuhan sendiri, “sebab di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).
Kita semua tahu
bahwa ada kuat-kuasa yang besar dalam doa, hikmat-kebijaksanaan yang besar dalam
Kitab Suci, dan perlindungan yang kuat dalam ajaran Gereja. Akan tetapi,
seringkali kita mengambil jalan rekonsiliasi hanya sebagai pilihan paling
akhir. Mengapa harus begitu? Bukankah kita memahami bahwa panggilan Yesus untuk
berbelas kasih juga merupakan suatu panggilan guna menyerahkan hasrat kita
sendiri untuk membalas dendam dan menghakimi dengan keras?

Sebagai manusia
kita memiliki kodrat yang cenderung untuk berdosa, dan kita tidak kebal
terhadap berbagai godaan. Namun Yesus mengingatkan kita untuk menguji cara kita
bereaksi dalam menghadapi situasi-situasi sedemikian. Apakah inklinasi kita
yang pertama adalah untuk mencari hikmat dari Roh Kudus dan nasihat dari
Gereja? Atau, apakah dengan cepat kita “menyerah” terhadap godaan-godaan itu
sambil mempersenjatai diri kita dengan berbagai dalih guna membenarkan tindakan
kita? Apakah kita membuang segala penghiburan dari doa dan Kitab Suci dan
mengandalkan diri sepenuhnya pada trend terakhir dalam psikologi? Kita memang
tidak boleh mengabaikan bantuan dari bidang hukum dan psikologi, namun kita
tidak pernah boleh memandang rendah kuat-kuasa kasih Allah untuk
mentransformasikan tragedi dosa menjadi suatu kesempatan bekerjanya penebusan
ilahi.
DOA: Ya Tuhanku dan
Allahku, setiap kali aku dikepung oleh banyak masalah, jagalah diriku agar
tetap teguh dalam iman selagi aku memandang ke depan pada kepenuhan
penyelamatan-Mu. Amin.
Sdr. F.X.
Indrapradja, OFS
Tiada ulasan:
Catat Ulasan